Perdebatan soal hubungan antara harga-harga kebutuhan pangan yang semakin mahal dan kedaulatan negara, kini menjadi salah satu masalah yang semakin mengemuka. Seperti telah berulang kali disampaikan dalam berbagai analisis sebelumnya, pengembangan biofuel atau biodiesel merupakan sumber utama mengapa harga sejumlah bahan pangan dunia semakin mahal.
Pada saat yang bersamaan –dan juga tak bisa dipungkiri- bahwa krisis finansial global sebagai derivasi krisis subprime mortage di Amerika Serikat juga memberikan pengaruh terhadap meningkatnya tindakan aksi spekulasi investasi jangka pendek (short term investment) yang saat ini ditengarai tengah mencari keuntungan besar baru yang bersifat jangka pendek dengan mengalihkan modalnya dari pasar finansial ke bursa komoditi.
Bahkan lebih dari itu, para investor jangka pendek tersebut tidak lagi langsung masuk ke bursa komoditas tapi lebih memilih untuk bernain di pasar indeks komoditas (commodity index market). Pasar indeks komoditas memang mengalami pertumbuhan yang pesat sejak tahun 2005-2006 setelah FAO di tahun 2002 melansir adanya ancaman penggunaan besar-besaran komoditas bahan pangan untuk dikonversi sebagai bahan bakar nabati (BBN).
Pada dasarnya kondisi seperti digambarkan tersebut diatas tidak terlalu mengherankan serta relatif bisa diduga sebelumnya. Seiring dengan makin berkembangnya dari apa yang disebut dengan cara produksi (mode of production) fordism menyebabkan posisi tawar pemilik modal menjadi semakin kuat terhadap negara. Sementara pada saat yang bersamaan, posisi negara semakin melemah akibat lemahnya fundamental material (basic material) yang dimiliki oleh negara.
Akibatnya negara menjadi sangat tergantung pada struktur modal yang ada, sementara pemilik modal menjadikan negara sebagai perpanjangan tangan atas proses akumulasi modal yang terjadi. Pada perspektif inilah bukti bahwa negara sebenarnya telah kehilangan otonomi relatifnya.
Konsep teori otonomi relatif mulai banyak dikembangkan setelah Hamza Alavi dalam artikelnya yang berjudul The State in Post Colonial Societies: Pakistan and Bangladesh" yang dimuat dalam jurnal New Left Review (I/74 July/August 1972) menyampaikan argumentasinya bahwa negara pada masyarakat pasca kolonial mempunyai otonomi relatif terhadap kelas-kelas sosial, karena lemahnya serta kurang berkembangnya kelas-kelas sosial tersebut. Selain itu Alavi juga melihat bahwa ada tiga kelas dominan yang lahir di negara-negara pasca kolonial. Ketiga kelas tersebut adalah borjuasi metropolitan, borjuasi lokal dan kelas pemilik tanah. Karena kepentingan ketiga kelas tersebut tidak berbeda, maka negara dapat dengan mudah memediasi segala kepentingan mereka.
Namun demikian satu hal yang harus digaris bawahi dari argumentasi Alavi adalah kemampuan negara sebagai mediator kepentingan tidak terjadi begitu saja. Lebih lanjut Alavi melihat bahwa di dalam negara-negara yang baru merdeka sebenarnya telah terbentuk tatanan sosial masyarakat yang relatif stabil. Ketika negara-negara tersebut masih berada dibawah kekuasaan pemerintahan kolonial, pemerintahan tersebut memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap kelas-kelas sosial lainnya.
Pemerintahan kolonial yang merupakan perpanjangan tangan dari negara induknya, telah berkuasa sedemikian rupa sehingga birokrasi, tatanan hukum hingga tatana masyarakat dipergunakan semaksimal mungkin untuk mendukung proses akumulasi modal. Sehingga tidak memungkinkan organisasi sosial politik yang bertujuan memperkuat kedaulatan rakyat dapat tumbuh.
Berangkat dari argumentasi yang disampaikan Alavi ini, pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimanakah keterkaitannya dengan cara produksi fordism yang dinilai sebagai penyebab melemahnya posisi tawar negara terhadap mobilitas modal global yang sangat pesat terutama dalam kaitannya dengan komoditas bahan pangan dan finansial?
Pertama-tama yang harus dipahami adalah pengertian dari cara produksi fordism. Sebagaimana dijelaskan dengan sangat baik oleh Ankie Hoogvelt (1997, hal ;92) adalah sebuah mekanisme kerja dimana setiap orang mulai terspesialisasi. Mekanisme kerja seperti ini pertama kali dikembangkan oleh Henry Ford di tahun 1908 dalam pabrik mobilnya. Dengan cara kerja yang dinamakan ‘ban berjalan’, maka setiap orang hanya bertanggung jawab pada pada satu bagian dari produk yang tengah dihasilkan. Dengan demikian produk yang dihasilkan bisa dilakukan dengan secara massal dengan biaya yang tentu lebih murah.
Dengan pengertian tersebut, maka kemudian dapat kita lihat bagaimana sekarang ini negara-negara di dunia terutama negara berkembang berlomba untuk bisa menarik investasi asing ke negaranya. Sebagai akibatnya, di satu sisi mobilitas modal menjadi sangat rentan dan peka terhadap berbagai spekulasi yang dinilai bisa mengganggu proses akumulasi modalnya. Di sisi lain, negara-negara tersebut juga semakin rentan terhadap adanya ancaman pelarian modal yang dipastikan akan menganggu proses pembangunan ekonomianya.
Tingkat kerentanan serta kepekaan inilah yang semakin menjadi terlihat jelas ketika dalam 3-4 tahun terakhir kenaikan harga minyak mentah dunia diikuti oleh fluktuasi harga berbagai bahan pangan. Mahalnya kedua kebutuhan pokok manusia (pangan dan energi) inilah yang juga mendorong beberapa negara kemudian berusaha menjaga stabilitas pemenuhan kebutuhan pangannya. Beberapa negara bahkan tidak lagi dapat dengan mudah melakukan impor bahan pangan. Sementara di dalam bursa indeks komoditas, peningkatan kebutuhan bahan pangan tersebut disambut dengan menciptakan sensitivitas baru yang berdampak pada pergerakan harga bahan pangan.
Indonesia
Bagi Indonesia berbagai hal tersebut diatas tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab dengan apa yang terjadi masyarakat saat ini menunjukan bahwa persoalan besar dalam kebijakan pangan dan pertanian selama ini yang berdampak pada ketidakmampuan sektor pertanian yang ada selama ini untuk secara subsisten memenuhi kebutuhan pangan domestik.
Pada dasarnya ada beberapa persoalan yang saat ini diidentifikasi sebagai penyebab buruknya kondisi sektor pertanian Indonesia dalam beberpaa tahun terakhir. Pertama adalah soal ketidakjelasan penanganan konversi lahan pertanian yang digunakan sebagai pabrik, perumahan atau bahan lahan-lahan perkebunan yang hasilnya dinilai lebih menjanjikan sebagai komoditas ekspor. Kedua, adalah buruknya infrastruktur pertanian. Seperti diketahui, di masa awal Orde Baru salah satu usaha yang dilakukan oleh pemerintah ketika itu adalah perbaikan infrastruktur pertanian terutama irigasi. Dalam pertanian padi sawah, irigasi merupakan aspek terpenting. Karena sifat tanaman padi yang mengkonsumsi air dengan jumlah yang cukup besar. Sayangnya, pasca Orde Baru banyak irigasi di beberapa daerah yang tidak lagi terawat dan tidak lagi dapat berfungsi dengan optimal.
Ketiga, adalah penggunaan teknologi pertanian yang relatif stagnan. Padahal masalah mekanisasi pertanian di Indonesia menjadi persoalan yang sangat penting dan tidak terpisahkan dari upaya peningkatan sektor pertanian. Hal ini terkait dengan dengan semkin terbatasnya lahan pertanian serta orang-orang yang bekerja di dalam sektor terebut. Celakanya, di beberapa daerah stagnasi teknologi pertanian ini masih dapat dengan mudah ditemui. Salah satunya adalah ketika kita datang ke tempat-tempat perontokan padi dimana masih banyak dari para petani yang menggunakan cara manual ketimbang menggunakan mesin perontok. Sementara dari sisi perkembangan teknologinya, saat ini bahkan telah banyak dikembangkan mesin penanam padi yang mampu menyelesaikan penanaman padi seluas 1 hektar dengan hanya memakan waktu 5-6 jam. Sementara jika meggunakan cara manual, hal tersebut bisa diselesaikan paling cepat dalam waktu 48 jam.
Keempat adalah pemberian susbsidi pupuk. Selama ini penyaluran pupuk bersubsidi terbesar adalah pada jenis urea. Sementara beberapa jenis pupuk lain seperti ZA, SP 36 serta NPK jumlahnya jauh lebih kecil. Buruknya sistem distribusi selama ini, termasuk diantaranya adalah tindakan penyelundupan, telah mengakibatkan adanya kenaikan harga di tingkat petani. Akibatnya, harga produksi di tingkat petani menjadi mahal.
Adanya berbagai persoalan inilah yang kemudian maskin menyebabkan tidak banyak investor yang mau menanamkan modalnya di bidang perkebunan pangan (food estate). Padahal, dengan pola produksi yang ada sekarang –dimana negara menjadi sangat tergantung pada investor-, kebutuhan tersebut menjadi sangat penting dalam kerangka revitalisasi sektor pertanian. Akibatnya sektor pertanian tanaman pangan Indonesia selama ini berkembang sekedar sebagai pola subsisten untuk memenuhi kebutuhan pangan (yang pada kenyataannya hal tersebut juga gagal tercapai).
Kondisi ini berbeda dengan Amerika Serikat yang menjadikan beberapa hasil pertaniannya seperti gandum, jagung dan juga sebagian kecil beras sebagai komoditas ekspor. Begitu pula halnya dengan produksi beras Thailand yang selama ini menjadi eksportir terbesar beras dunia. Kondisi ini pula yang menyebabkan produk-produk tanaman pangan Indonesia tidak memiliki insentif bagi investor yang hendak menanamkan modalnya di sektor tanaman pangan.
Karenanya, kalau kemudian pemerintah mau kembali merevitalisasi sektor pertanian dan sekaligus mengembangkan industri BBN, maka satu hal yang perlu segera dilakukan adalah adanya kebijakan sektor pertanian jangka panjang yang mampu mengakomodir segala kepentingan tersebut. Sebab jika tidak persoalan yang sama akan terus berulang di tahun-tahun yang akan datang. (Nugroho Pratomo/ Staf pengajar tidak tetap Departemen Ilmu Politik Fisip UI; Peneliti Inrise & Litbang Media Group)
Tabel Penyaluran Pupuk bersubsidi 2006-2007 (ton)
Jenis Pupuk | Rencana | Realisasi | Rencana | Realisasi |
Urea | 4,300,000 | 3,962,404 | 4,300,000 | 3,196,176 |
NPK | 400,000 | 399,970 | 700,000 | 477,235 |
SP 36 | 700,000 | 711,081 | 800,000 | 642,409 |
ZA | 600,000 | 600,972 | 700,000 | 547,366 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar