Senin, 19 Mei 2008

MENUJU PERTUMBUHAN EKONOMI YANG LEBIH BERKUALITAS


Analisis Media Indonesia Senin 19 Mei 2008

Dalam Media Indonesia (16/5) disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh Indonesia saat ini mengindikasikan tidak adanya peningkatan kualitas terutama dari aspek manusianya. Hal ini ditunjukan dari besarnya pekerja sektor informal. Berdasarkan data laporan statistik ketenagakerjaan BPS menunjukan bahwa 69% tenaga kerja yang saat ini terserap bekerja di sektor informal.

Rendahnya penyerapan tenaga kerja di sektor formal secara umum tentunya cukup menghawatirkan. Sebab itu berarti bahwa penambahan lapangan kerja yang tersedia saat ini masih belum cukup untuk menutupi jumlah angkatan kerja yang terus bertambah. Berdasarkan laporan BPS tersebut, hingga Februari 2008, dibandingkan Agustus 2007 angkatan kerja baru bertambah 1,54 juta orang.

Laporan BPS

Pertama tentunya adalah adalah soal pertumbuhan secara keseluruhan. PDB Indonesia pada triwulan I tahun 2008 dibandingkan triwulan yang sama tahun 2007 (y-on-y) mengalami pertumbuhan sebesar 6,3%. Sementara, pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulanan hingga triwulan I 2008 dibandingkan triwulan IV 2007mengalami peningkatan sebesar 2,1% (q-to-q). Pertumbuhan ini terjadi pada sektor pertanian; keuangan, real estat, dan jasa perusahaan; listrik,gas, dan air bersih; pengangkutan dan komunikasi; dan sektor jasa-jasa.

Satu hal yang menjadi catatan dalam laporan BPS kali ini adalah pertumbuhan tertinggi dihasilkan oleh sektor pertanian, yaitu sebesar 18,0%. Hal ini pada dasarnya tidak terlepas dari masa panen raya tanaman padi yang biasanya terjadi pada triwulan I 2008.

Secara rinci, kenaikan sektor pertanian ini disebabkan oleh subsektor tanaman bahan makanan sebesar 62,4% dan subsektor peternakan sebesar 0,6%. Subsektor lainnya mengalami penurunan masing-masing sebesar minus 28,8% untuk subsektor tanaman perkebunan, minus 15,7% untuk subsektor kehutanan dan minus 8,0% untuk subsektor perikanan.

Bila dilihat dari pola panen padi selama ini, puncak panen raya dalam tiga tahun terakhir terjadi pada bulan Maret-April. Dalam laporan BPS yang dikeluarkan pada 3 maret 2008 mengenai angka ramalan produksi padi 2008, menyebutkan bahwa, produksi padi tahun 2008 diperkirakan sebesar 58,27 juta ton GKG. Dibandingkan produksi tahun 2007 (ASEM).

Besaran kenaikannya mencapai 1,22 juta ton atau 2,13%. Kenaikan produksi tersebut terjadi karena naiknya luas panen seluas 174,56 ribu hektar atau sekitar 1,44% serta produktivitas sebesar 0,33 kuintal per hektar atau 0,70%.

Laporan yang sama juga menyebutkan bahwa kenaikan produksi padi sebanyak 1,22 juta ton tersebut diperkirakan terjadi pada subround Januari-April yang mencapai 3,40 juta ton atau naik sebesar 15,22%. Selanjutnya pada subround Mei sampai Agustus dan subround September hingga Desember, produksi padi diperkirakan mengalami penurunan masing-masing sebesar 1,33 juta ton atau 6,02% dan 0,85 juta ton (6,71%) dibandingkan dengan produksi pada subround yang sama tahun tahun 2007 (year on year).

Jika dilihat struktur peranan sektoral secara keseluruhan, maka perekonomian Indonesia sampai triwulan I 2008 memperlihatkan bahwa, sektor ekonomi yang memiliki peranan terbesar adalah sektor industri pengolahan yaitu sebesar 27,1%. Beberapa sektor lainnya seperti sektor perdagangan-hotel-restoran peranannya sebesar 15,1%, pertambangan-penggalian 10,9%. Pada sektor jasa-jasa sebesar 9,7% sementara peranan sektor pertanian sebesar 14,6%.

Secara keseluruhan kelima sektor tersebut mempunyai andil peranan sebesar 77,4% dalam PDB. Sedangkan empat sektor lainnya mempunyai andil masing-masing kurang dari 8%. Sementara itu peranan seluruh sektor ekonomi tanpa migas pada triwulan I tahun 2008 sebesar 89,2%.

Apabila dilihat dari sisi penggunaan atau permintaan, laporan BPS kali ini menunjukan bahwa untuk pengeluaran konsumsi rumah tangga riil mengalami penurunan sebesar minus 0,4%dibandingkan dengan triwulan IV/2007. Penurunan pengeluaran konsumsi rumah tangga tersebut terjadi pada komoditas bukan makanan sebesar minus 0,90%.

Pada komponen Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang sekaligus menunjukan tingkat investasi yang ada menunjukan bahwa, atas dasar harga konstan terjadi penurunan sebesar 0,6% dibandingkan dengan triwulan IV tahun 2007.

Pengangguran

Terkait dengan soal kualitas pembangunan dalam hal ini soal ketenagakerjaan, pertanyaan selanjutnya tentunya adalah bagaimana kaitan pertumbuhan ekonomi yang terjadi bisa menurunkan secara signifikan tingkat pengangguran?

Grafik tingkat pertumbuhan dan pengangguran yang ditampilkan pada analisis kali ini memperlihatkan bahwa pada masa puncak pertumbuhan ekonomi di tahun 1995, tingkat penganggurannya bahkan lebih tinggi dibandingkan pada masa krisis ditahun 1998 dimana tingkat pertumbuhan mencapai minus 13%. Data seperti ini tentu harus dilihat dan dicermati secara lebih hati-hati. Jika tidak maka data seperti ini tentu bisa saja menyesatkan.

Mencermati hubungan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran, selama ini persoalan pengangguran lebih banyak dilihat dari kurangnya lapangan kerja yang tersedia. Kerenanya, dengan cara pandang seperti ini adalah tidak salah apabila kemudian peningkatan investasi dilihat sebagai salah satu solusi yang harus dilakukan. Melihat berbagai kebijakannya, nampaknya hal seperti inilah yang juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia saat ini.

Tapi lebih lanjut lagi apabila kemudian hal ini dikaitkan dengan persoalan akses, maka argumentasi bahwa pengangguran bisa diselesaikan dengan hanya meningkatkan investasi rasanya menjadi perlu untuk dipertanyakan lagi. Pada kenyataanya, salah satu pertimbangan investasi terutama di bidang industri adalah soal peningkatan produktivitas.

Dalam hal ini salah satunya tentu adalah produktivitas atas tenaga kerja yang digunakan. Krisis ekonomi Asia di akhir dekade 1990an sendiri sebenarnya telah menunjukan kepada kita bagaimana produktivitas begitu penting dalam kaitannya dengan daya saing. Sebab pada dasarnya produktivitas adalah dasar dari daya saing itu sendiri.

Mencermati soal produktivitas ini, analisis ini akan berangkat dari apa yang menjadi argumentasi Michael E Porter. Bagi Porter(2006), saat ini keunggulan kompetitif menjadi hal yang sangat penting ketimbang keunggulan komparatif. Jika hal ini diterapkan pada industri, maka masalahnya sekarang adalah bagaimana perusahaan-perusahan tersebut dapat bekerja secara lebih produktif serta efisien. Sehingga diharapkan produk-produk yang dihasilkannya mampu berkompetisi di pasar global.

Dalam konteks inilah pengembangan berbagai jenis teknologi modern menjadi sangat diperlukan. Pada perkembangannya ternyata hal seperti ini berlaku tidak hanya pada sektor industri. Namun lebih dari itu, berbagai sektor lain termasuk pertanian yang sangat mengandalkan tenaga kerja pada akhirnya akan menuntut hal serupa.

Munculnya berbagai tuntutan kemampuan atau spesialisasi seperti inilah yang menyebabkan tidak semua orang memiliki akses yang sama pada setiap jenis pekerjaan. Satu-satunya cara untuk bisa memperluas akses tersebut tersebut tentunya adalah dengan meningkatkan kemampuan atas setiap individu melalui pendidikan yang benar-benar mampu menciptakan sebuah pola pikir mendorong tingkat produktivitas dan keunggulan kompetitif dari masing-masing individu.

Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar terutama di bidang pendidikan menjadi sangat penting dalam mengurangi tingkat pengangguran. Sebab -apalagi jika hendak dihubungkan dengan proses transformasi struktural-, maka kebutuhan peningkatan produktivitas di sektor industri pada akhirnya memerlukan kesimbangan antara perkembangan teknologi dengan kemampuan sumber daya manusia yang ada.

Dengan kondisi anggaran yang sangat terbatas seperti saat ini terjadi, tentunya alokasi anggaran menjadi faktor kunci yang harus menjadi perhatian. Pemberian subsidi secara tidak terarah untuk sektor-sektor di luar kebutuhan dasar jelas seperti BBM adalah sebuah kesalahan besar dalam sebuah program pembangunan manusia. Sebaliknya, dengan melakukan efisiensi anggaran, pemerintah bisa menghindari dari apa yang oleh Sach disebut dengan jebakan fiskal (fiscal trap).

Pada dasarnya hal ini adalah salah satu aspek yang seringkali menjadi penyebab kegagalan pemerintah untuk bisa meningkatkan pelayanan barang dan jasa publik, terutama yang terkait dengan kebutuhan dasar. Jika saat ini pemerintah juga tengah disibukkan dengan berbagai subsidi pangan terutama bagi kalangan masyarakat miskin, maka sudah seharusnya pula pemerintah tidak terjebak pada persoalan kebijakan jangka pendek. Sebaliknya, perencanaan pembangunan jangka panjang untuk mendorong partisipasi angkatan kerja (TPAK) melalui perluasan akses terhadap pengelolaan sumber-sumber ekonomi bagi setiap kalangan adalah salah satu cara untuk bisa meningkatkan kualitas pembangunan ekonomi.

Sebab pada intinya, dalam soal pembangunan ekonomi tingginya tingkat pengangguran tentu menjadi hal yang tidak terpisahkan dari soal kemiskinan. Saat ini kemiskinan tidak bisa lagi dilihat dari kemiskinan material semata. Kegagalan atau yang oleh Amartya Sen dalam Development As Freedom (1999) disebut dengan ketidakbebasan untuk mendapatkan berbagai hak dasar, adalah bukti dari kegagalan sebuah pembangunan.

Esensi pembangunan yang sesungguhnya adalah bagaimana menciptakan sebuah mekanisme yang ada akhirnya mampu menjamin setiap individu untuk memiliki akses terhadap berbagai aspek dasar. Termasuk salah satunya adalah akses terhadap pekerjaan yang layak. (Nugroho Pratomo/ Peneliti IRISE dan Litbang Media Group)

Tidak ada komentar: