Senin, 12 Mei 2008

ANCAMAN INFLASI : MAHALNYA HARGA SEBUAH INKONSISTENSI KEBIJAKAN



Analisis Media Indonesia 12 Mei 2008

Dapat dipastikan bahwa harga bahan bakar minyak (BBM) tidak lama lagi akan naik. Berbagai perdebatan seperti biasa tentu kembali muncul menyikapi kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah. Ditengah tingginya harga minyak mentah dan bahan pangan dunia, serta semakin rendahnya produksi minyak mentah Indonesia langkah penyelamatan APBN merupakan sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan jika ingin melihat negeri ini tetap ada.

Tapi di tengah kondisi yang semakin sulit ini, segala sesuatunya dilakukan tentu dengan membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan yang pasti dirasakan oleh semua masyarakat terutama bagi kalangan miskin adalah ancaman semakin tingginya harga bahan-bahan kebutuhan pokok, terutama bahan makanan.

Berbagai pilihan program sebagai langkah antisipasi memang tengah dipersiapkan oleh pemerintah. Mulai dari bantuan langsung tunai (BLT), cash for work, pemberian beras untuk keluarga miskin (Raskin) hingga pemberian berbagai subsidi bagi minyak goreng. Begitu pula dengan kelanjutan program bantuan operasional sekolah (BOS) yang diharapkan akan bisa sedikit mambantu beban biaya pendidikan bagi keluarga tidak mampu.

Menyambut berbagai kebijakan tersebut dan berbagai dampak yang ditimbulkan, maka dalam analisis kali ini akan mencoba kembali melihat apa yang pernah terjadi sejak tahun 2001 terkait dengan kebijakan yang menyangkut kenaikan harga BBM.



Subsidi

Dalam perjalanan negeri ini semenjak tahun 2001 hingga 2008, tercatat bahwa harga BBM telah mengalami kenaikan beberapa kali. Selama itu pula, tingkat inflasi terus mengalami fluktuasi. Kenaikan di tahun 2001 diberlakukan mulai tanggal 15 Juni. Ketika itu pemerintah akhirnya memutuskan harga segala jenis bahan bakar minyak (BBM) naik 30%dan tarif dasar listrik (TDL) naik 20%. Selain itu, pemerintah juga menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 12,5% yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2001.

Kebijakan ini terkait dengan revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN P) 2001 yang menetapkan nilai tukar rupiah Rp 9.600 per dolar AS, suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) 15%, dan indeks harga konsumen (inflasi) 9,3%. Defisit APBN 2001 mencapai 6% dari PDB. Dengan kenaikan tersebut, subsidi BBM pada tahun anggaran bisa ditekan menjadi Rp 62,7 trilyun Tanpa adanya kenaikan harga BBM ini, akibat kenaikan kurs subsidi BBM yang ditargetkan Rp 54 triliyun membengkak menjadi Rp 66 trilyun.

Memasuki tahun 2002, pada bulan Januari pemerintah kembali menaikan harga BBM. Ketika itu pemerintah menerapkan sebuah model kenaikan harga yang agak berbeda. Sebuah model kenaikan harga BBM yang diberlakukan secara bertahap.

Kenaikan pertama berlaku sejak 17 Januari 2002 dan kenaikan kedua mulai 1 Maret 2002. Pada kenaikan tahap pertama harga premium naik 6,9% dari Rp 1.450 jadi Rp 1.550 per liter. Sedangkan untuk minyak tanah, harga jual untuk konsumsi rakyat miskin dan industri rumah tangga Rp 600 per liter.

Selanjutnya penetapan harga BBM untuk bulan Maret akan ditentukan berdasar Mid Oil Platt Singapore (MOPS). Pemerintah kemudian juga menetapkan batas harga terendah dan tertinggi. Dengan demikian harga BBM lebih bersifat flaksibel. Sebab secara teknis harga BBM sewaktu-waktu bisa naik dan juga dapat turun. Kebijakan ini berlaku setiap bulan setelah 1 Maret 2002.

Tingkat fluktuasi atau naik-turunnya harga didasarkan rata-rata harga pasar bulan sebelumnya. Dengan harga baru BBM seperti ini, pemerintah memiliki peluang penghematan subsidi sebesar Rp 11,5 triliun dalam APBN 2002. Sebab tanpa adanya pengurangan kenaikan tersebut beban subsidi yang harus ditanggung mencapai Rp 41,9 triliun. Sebagai hasil nyata atas kebijakan tersebut, besaran subsidi BBM dalam anggaran 2002 dapat turun 54% dibandingkan anggaran tahun sebelumnya.

Kebijakan seperti ini terus berlangsung di tahun 2003. Pada realisasi APBN 2003, beban subsidi BBM pada anggaran tinggal sebesar Rp 24 triliyun. Dalam APBN 2004 yang telah disetujui DPR sebelumnya besaran subsidi BBM kembali diturunkan menjadi Rp 14,53 triliyun.

Menjelang pengumuman hasil pemilu presiden pada tanggal 5 Oktober 2004, harga minyak mentah dunia terus menunjukan tren peningkatan. Sebagai sebuah pemerintahan baru, tentu situasi seperti ini menjadi sangat tidak menguntungkan. Sebab hal tersebut mau tidak mau akan memaksa pemerintah unutk menaikan harga jual BBM dalam negeri. Kenaikan ini sendiri sebenarnya sangat terkait pada penurunan kemampuan produksi minyak mentah serta peningkatan konsumsi domestik.

Namun di sinilah sebenarnya inkonsistensi kebijakan penurunan secara bertahap subsidi BBM sebenarnya mulai terlihat, yaitu pada revisi APBNP 2004. Jumlah subsidi kembali melonjak menjadi Rp 59,2 triliyun. Karenanya tidak dapat dihindarkan jika dalam APBN selanjutnya beban tersebut terus naik. Pada APBN-P 2006, besarnya subsidi BBM yang harus ditanggung mencapai Rp 62,7 triliun.

Dengan jumlah tersebut, maka besaran defisit yang harus ditanggung mencapai Rp 37,6 triliun atau minus 1,2% dari PDB. Meski lebih kecil dibandingkan jumlah subsidi yang dialokasikan dalam APBN-P kedua 2005 yang mencapai Rp 89,2 triliun, namun besarnya defisit yang harus ditanggung justru membengkak dari yang sebelumnya hanya sebesar Rp 25 triliun atau minus 0,9% dari PDB.

Soal inflasi

Seperti telah banyak diperkirakan sebelumnya, kebijakan pemerintah untuk menaikan harga jual BBM dalam negeri telah memicu kenaikan tingkat inflasi. Lonjakan inflasi tertinggi terjadi ketika pemerintah menaikan harga BBM pada Oktober 2005. Tingkat inflasi untuk bulan Oktober 2005 melonjak hingga hampir mencapai 18%. Inflasi tersebut memang merupakan rekor tertinggi yang terjadi selama 2 tahun terakhir.

Secara politis kondisi ini jelas mengakibatkan dampak yang besar kepercayaan masyarakat tehadap pemerintahan saat ini. Karenanya, keputusan untuk melakukan resuffle dipandang sebagai sebuah kebijakan yang dalam jangka pendek mampu meredam kekecewaan yang muncul.

Meski demikian, dalam jangka panjang dampak dari lonjakan inflasi tersebut juga berkembang sebagai sebuah masalah yang cukup serius. Harapan untuk terjadinya deflasi pada bulan Desember ternyata tidak terbukti.

Jika dicermati lagi ke belakang, sebenarnya ketika memasuki tahun 2004, kondisi ekonomi makro terus menunjukan ke arah perbaikan. Berdasarkan data BPS, inflasi year on year selama bulan Januari dan Februari terus menunjukan penurunan sebelum kembali naik menjelang pelaksanaan pemilu legislatif. Pada bulan Januari 2004 inflasi year on year mencapai 4,82 % kemudian turun menjadi 4,6 % di bulan Februari 2004.

Ketika masa kampanye pada bulan Maret 2004 inflasi year on year melonjak menjadi 5,11 % dan terus naik hingga menjelang pemilu presiden putaran pertama. Meski demikian kenaikan tingkat inflasi pada periode ini adalah sesuatu yang wajar, mengingat adanya kenaikan kebutuhan selama masa kampanye. Lonjakan inflasi bahkan lebih nampak dari data inflasi bulanan untuk April 2004 yang naik menjadi 0,97% dari bulan Maret 2004 yang hanya sebesar 0,36 %.

Berangkat dari berbagai pengalaman sebelumnya, maka yang kini penting untuk terus dipikirkan adalah skema bantuan yang akan ditujukan bagi kelompok miskin akibat kenaikan harga BBM. Salah satunya adalah program bantuan langsung tunai (BLT).

Sebuah hasil kajian cepat yang dilakukan oleh lembaga SMERU di Jakarta tahun 2006 menunjukan bahwa selama program dilaksanakan masih ditemukan beberapa persoalan terutama yang menyangkut pemerataan penerimaan. Sebab masih ada beberapa keluarga miskin yang tidak mendapatkan BLT.

Padahal mereka telah didata atau selama ini termasuk keluarga/rumah tangga miskin dalam program penanggulangan kemiskinan lainnya, seperti Program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin). Akibatnya banyak dari mereka yang kemudian datang ke berbagai lembaga, mulai dari ketua RT/RW, kantor kelurahan, kecamatan, kotamadya, hingga BPS untuk menanyakan hal tersebut.

Hal tersebut tidak terlepas dari proses pendataan yang masih kacau. Studi ini menunjukan bahwa ada indikasi bahwa tidak semua prosedur pendataan tersebut diikuti. Petugas BPS tidak melaksanakan verifikasi kasat mata secara menyeluruh, melainkan hanya beberapa keluarga/rumah tangga saja. Terdapat pencacah yang tidak menghubungi ketua RT untuk membuat daftar keluarga/rumah tangga miskin awal dan ada juga pencacah yang meminta orang lain melakukan tugasnya.

Pengisian formulir PSE05.RT secara langsung dari rumah ke rumah hanya dilakukan terhadap sebagian kecil rumah tangga. Begitu pula dengan pertanyaan yang diajukan kepada keluarga/rumah tangga juga tidak lengkap. Kebanyakan hanya dua hingga tiga variabel pertanyaan, seperti pekerjaan, status kepemilikan rumah, dan banyaknya anak yang sekolah. Hal ini menguatkan adanya indikasi bahwa BPS telah menetapkan “kuota jumlah penerima” untuk setiap wilayah hingga tingkat RT sebelum pendataan dilaksanakan.

Dalam soal penggunaannya, ketiadaan ketentuan yang mengatur penggunaan dana SLT menyebabkan banyak penerima bantuan menggunakan dana yang didapatkan untuk keperluan yang bersifat konsuntif. Misalnya saja untuk membeli beras dan minyak tanah, membayar listrik dan biaya kontrak rumah, serta melunasi utang.

Selain itu, ada juga yang digunakan untuk membayar biaya kesehatan dan sekolah. Maski demikian hanya sedikit yang memanfaatkan dananya sebagai modal usaha. Karenanya ketika dilakukan penelitian, banyak dari dana tersebut yang telah habis digunakan.

Karenanya, menghadapi rencana kenaikan harga BBM pada akhir Mei ini, maka adalah penting untuk mengevaluasi dan memikirkan kebijakan seperti apa yang tepat agar bisa mengurangi beban ekonomi keluarga miskin yang saat sudah dihadapkan pada mahalnya harga makanan. Sebab bagaimanapun juga, inilah harga sebuah inkonsistensi kebijakan penurunan subsidi BBM yang harus ditanggung pada sebuah kondisi dan situasi pangan global yang juga tidak menguntungkan. Tapi bagaimanapun hal ini harus terus dilakukan. Sebab jika tidak itu sama artinya dengan menumpuk buah inkonsistensi yang akan selalu siap rubuh sewaktu-waktu menimpa ekonomi Indonesia di kemudian hari.

(Nugroho Pratomo/ Peneliti INRISE & Litbang Media Group)



Tidak ada komentar: