Setelah pemerintah secara resmi menaikan harga jual BBM, maka kini yang tugas tersisa adalah bagaimana penyaluran berbagai bantuan kompensasi bagi kelompok masyarakat miskin. Pemerintah Selain dana bantuan tunai langsung (BLT) yang penyalurannya telah dimulai sehari setelah pengumuman kenaikan harga, kebijakan lain yang juga ditempuh pemerintah adalah melanjutkan program penyediaan beras bagi keluarga miskin (Raskin).
Sebagaimana diberitakan oleh Media Indonesia online (12/5), pemerintah akan meningkatkan kapasitas dan menambah program-program untuk membantu masyarakat berpendapatan rendah yang terkena beban kenaikan harga BBM. Salah satunya adalah dengan menambah jumlah penerima raskin di luar penerima BLT Plus 19,1 juta orang.
Sasaran yang akan mendapat tambahan raskin adalah buruh pabrik, buruh perkebunan, pegawai negeri sipil (PNS), dan TNI/Polri golongan tertentu. Mereka ini adalah buruh dan pegawai dengan gaji di bawah Rp2 juta per bulan.
Pemerintah sendiri sudah alokasikan anggaran tambahan Rp 4,3 triliun. Anggaran tambahan itu diluar alokasi pemberian raskin yang bertambah dari 10 kilogram menjadi 15 kilogram. Anggaran tersebut berasal dari dana penghematan subsidi yang diproyeksikan mencapai Rp30 triliun. Selain itu, pemerintah juga akan menambah stok beras 1,5 juta ton. Kebijakan ini dilakukan dalam kerangka menjaga stabilisasi harga beras.
Namun demikian, pelaksanaan berbagai program kompensasi bagi kelompok miskin ini bukannya tanpa masalah. Seperti banyak dikeluhkan, persoalan akurasi data memang masih menjadi perdebatan panjang yang belum selesai. Padahal hal tersebut merupakan titik awal bagi tercapainya sasaran dan tujuan program-program tersebut.
Garis Kemiskinan Makanan
Data BPS yang dikeluarkan September 2006 menyebutkan bahwa, hingga Maret 2006 jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 39,05 juta orang. Jumlah tersebut adalah 17,75% dari jumlah penduduk. Apabila dibandingkan dengan posisi bulan Februari 2005, maka ada kenaikan sebanyak 4,05 juta orang atau 2,2%.
Pada dasarnya, perhitungan kemiskinan ini memang sangat bergantung dari standar atau garis kemiskinan yang digunakan. Dengan demikian tentunya semakin besar garis kemiskinan yang digunakan, maka jumlah penduduk miskin juga akan bertambah.
Selama Februari 2005 hingga Maret 2006, Garis Kemiskinan naik sebesar 18,39%. Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan.
Meningkatnya peranan GKM terhadap GK ini sebagian besar akibat naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95% selama periode Februari 2005-Maret 2006.
Selain itu, BPS juga menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Melalui pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan. Dengan demikian, kemampuan pemenuhan makanan tidak lagi sekedar diukur dari besaran pengeluaran. Karenanya sebagai salah satu kebutuhan dasar, maka akses terhadap beras menjadi salah satu faktor yang penting dalam soal kemiskinan ini.
Sumber data BPS yang sama juga menyebutkan bahwa pada bulan Maret 2006, persentase pengeluaran beras terhadap total pengeluaran sebulan untuk penduduk miskin sebesar 23,10%. Bahkan untuk daerah pedesaan persentase ini bisa mencapai 26,08%.
Secara umum untuk wilayah pedesaan, sumbangan pengeluaran beras terhadap Garis Kemiskinan mencapai 34,91%. Sedangkan untuk daerah perkotaan sebesar 25,98%. Dengan demikian, tentunya dengan kata lain kenaikan harga beras akan berpengaruh besar kepada penduduk miskin.
Dalam perkembangannya hingga saat ini, data kemiskinan terakhir yang dirilis oleh BPS pada Juli 2007 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) sampai dengan bulan Maret 2007 mencapai 37,17 juta atau 16,58% dari total penduduk Indonesia.
Selama periode Maret 2006-Maret 2007, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,20 juta. Di daerah perkotaan berkurang 0,93 juta orang. Selama kurun waktu setahun terakhir tersebut itu pula, persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2007, sekitar 63,52% penduduk miskin berada di daerah perdesaan.
Dari sisi garis kemiskinan, selama Maret 2006-Maret 2007, Garis Kemiskinan naik sebesar 9,67% yaitu dari Rp 151.997 per kapita per bulan pada Maret 2006 menjadi Rp 166.697 per kapita per bulan untuk Maret 2007.
Dilihat dari komponennya, menunjukan bahwa peranan komoditi masih makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan. Sampai dengan bulan Maret 2007, peranan komponen makanan secara umum sebesar 74,38%. Sedangkan non makanan sebesar 6,04% untuk daerah perdesaan dan 7,82% di perkotaan.
Khusus komoditas beras, sampai dengan bulan Maret 2007, sumbangan pengeluaran beras pada kelompok masyarakat miskin terhadap Garis Kemiskinan sebesar 28,64% di daerah perdesaan dan 18,56% di perkotaan.
Efektivitas Raskin
Berangkat dari data tersebut di atas, maka ketepatan penyaluran raskin menjadi aspek yang sangat penting untuk dicermati. Sebuah laporan penelitian tentang “Efektivitas Pelaksanaan Raskin” yang dipublikasikan oleh Lembaga SMERU pada Februari 2008 menunjukan bahwa masih banyak kelemahan yang terjadi dalam pelakasaan Raskin.
Pada tahap sosialisasi, pelaksanaannya yang mengandalkan penyebaran informasi informal dari aparat desa atau kelurahan dan petugas pembagi merupakan salah satu titik lemah program tersebut. Beberapa kalangan masyarakat dan penerima manfaat bahkan tidak memperoleh informasi program secara menyeluruh. Meski itu bersifat umum, seperti arti Raskin, besaran jatah beras yang seharusnya diterima, harga beras di titik distribusi, serta frekuensi penerimaan per tahun.
Munculnya persoalan ini tentunya menjadi salah satu pemicu mengapa di beberapa daerah kemudian terjadi kekacauan dalam pelaksanaannya. Seperti penyalurannya yang tidak sasaran, kesalahan persepsi aparat pemda bahwa Program Raskin adalah program Pemerintah Pusat sehingga memengaruhi keseriusan mereka dalam mendukung pelaksanaan program hingga berbagai bentuk praktek korupsi.
Laporan SMERU tersebut juga menunjukan bahwa kekacauan dalam pelaksanaan Raskin dapat terlihat dari masih banyaknya rumah tangga miskin tang tidak menerima beras Raskin dan sebaliknya, juga tidak sedikit rumah tangga tidak miskin yang justru menerimanya.
Selain itu, ketepatan target yang bervariasi. Di Sumatra Barat, penargetan relatif tepat. Di wilayah ini, penetapan target menggunakan data BPS dengan melakukan sedikit penyesuaian karena data dinilai kurang akurat.
Di Jawa Timur, penargetan kurang tepat karena beras dibagikan secara merata kepada semua rumah tangga sehingga baik rumah tangga miskin maupun tidak miskin dapat menjadi penerima. Sementara itu, di Sulawesi Tenggara, penargetan ada yang tidak tepat karena dibagi rata atau digilir, dan ada yang tepat karena pagunya hanya dibagikan kepada rumah tangga miskin saja.
Begitu pula dengan alokasi beras untuk setiap rumah tangga mengalami beberapa kali perubahan. Laporan ini meyebutkan bahwa ketika alokasi beras ditetapkan 20 kg, jumlah beras yang diterima oleh rumah tangga penerima bervariasi dan umumnya kurang dari alokasi yang seharusnya, bahkan ada yang hanya 2 liter. Selain itu penerima manfaat tidak selalu menerima beras Raskin setiap bulan, bahkan ada yang hanya satu kali setahun.
Jika ditinjau dari sisi harganya, laporan tersebut juga membuktikan bahwa penerima manfaat membayar harga yang bervariasi dengan kisaran antara Rp1.000 dan Rp2.900 per kg. Harga yang bervariasi antardaerah tersebut pada umumnya karena adanya perbedaan biaya transportasi dari titik distribusi dan kebijakan masing-masing pelaksana lokal. Sebagai contoh, di Sumatra Barat harga beras Raskin per kg adalah Rp1.200–Rp1.300. Sedangkan di Jawa Timur Rp1.000, serta di Sulawesi Tenggara Rp 1.000–Rp1.440.
Sebagai salah satu program yang didanai oleh APBN dan ditambah dengan APBD, secara umum program Raskin masih sangat tidak efisien dan efektif. Laporan yang sama juga menyebutkan bahwa berbagia persoalan seperti adanya kebocoran pada rumah tangga yang tidak berhak, terlalu besarnya biaya operasional hingga selisih harga pengadaan harga jual beras Bulog yang terlalu besar.
Dalam soal praktek korupsi, laporan SMERU juga telah membuktikan bahwa program Raskin memang telah menjadi sumber ‘pendapatan’ baru. Hal ini ditunjukan dari adanya pemberiaan honor terhadap pejabat lokal. Sebagai contoh hal tersebut terjadi di subdivre Bojonegoro yang memberikan honor kepada pejabat lokal Rp 2.060.000 per bulan atau Rp 24.720.000 per tahun. Dana APBD untuk Program Raskin di Kabupaten Agam juga digunakan untuk honor petugas pelaksana di tingkat kecamatan.
Bentuk lain dari koupsi tersebut terjadi di Sumatra Barat. Penerima Raskin dikenakan biaya transportasi Rp200–Rp300 per kg. Padahal biaya angkut riil hanya Rp44–Rp125 per kg. Kelebihan ongkos angkut tersebut kemudian menjadi “hak” petugas pembagi beserta unsur terkait lainnya di tingkat desa.
Belajar dari berbagai kenyataan dan fakta tersebut, tentunya menjadi penting bagi pemerintah untuk lebih mempersiapkan berbagai sarana dan prasarana agar pelaksanaan Raskin dapat berjalan lebih efektif. Program Raskin sendiri dilihat sebagai sebuah kebijakan publik memang sangat rentan terhadap berbagai persoalan dan lebih bersifat jangka pendek.
Padahal dengan jumlah penduduk miskin yang lebih banyak di pedesaan, tentunya pemberdayaan sektor pertanian sebagai bagian utama dari program pengentasan kemiskinan tentu akan lebih baik ketimbang sekedar menyediakan beras dengan harga murah. Dengan demikian, selain bisa memenuhi kebutuhan pokok, ketimpangan pembangunan desa-kota akan bisa dikurangi. (Nugroho Pratomo/Peneliti INRISE & Litbang Media Group)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar