Minggu, 04 Mei 2008

SUBSIDI BBM : ‘AKAR KEJAHATAN’ KESULITAN EKONOMI

Analisis Media Indonesia: 5 Mei 2008

Sebagaimana pernah disampaikan dalam Media Indonesia Online (10/4) lalu, pemerintah pada awalnya berencana untuk menaikan harga BBM setelah pelaksanaan program smart card dinilai tidak efektif untuk bisa mengurangi konsumsi BBM. Seiring dengan perjalanan waktu, pergerakan harga minyak mentah terus mengalami kenaikan.

Sampai dengan Jumat 2 Mei 2008, posisi harga minyak mentah telah mencapai $116 per barrel. Harga ini diperkirakan akan terus naik hingga mencapai $120 per barrel di akhir minggu kedua Mei 2008.

Kondisi seperti ini jelas menjadi sebuah dilematis bagi pemerintah. Sebab kenaikan harga BBM, dapat dipastikan akan membawa dampak pada lonjakan kenaikan harga, terutama harga-harga kebutuhan pokok. Sementara, tanpa ada kenaikan harga BBM, saat ini inflasi terus terjadi terutama dalam soal bahan makanan.

Situasi ketidakjelasan seperti ini tentu harus segera diselesaikan. Meski disadari bahwa kebijakan tersebut merupakan keputusan yang sangat tidak populer menjelang pemilu tahun depan.

Sebenarnya target penghapusan subsidi BBM sudah direncanakan harus dilakukan mulai 2009, namun hal itu sebelumnya tentu berdasarkan asumsi-asumsi tertentu seperti harga minyak dunia masih US$60. Sehingga dengan pelaksanaan kenaikan yang dilakukan dengan bertahap tidak menimbulkan gejolak dan di sisi lain juga tidak mengganggu APBN. Namun harga minyak dunia terus meroket mengakibatkan subsidi BBM terus membengkak dan mau tidak mau jadwal pengurangan subsidi pun bisa di luar rencana dan dipercepat.

Dalam APBN Perubahan 2008, besaran subsidi yang diberikan ke pada Pertamina mencapai Rp 126,82 trilyun. Jumlah ini merupakan yang terbesar melebihi besaran subsidi untuk sektor non energi yang hanya sebesar Rp 47,3 trilyun.

Dari sisi produksi, besaran lifting juga telah revisi menjadi hanya sebesar 927 ribu barrel per hari, dari sebelumnya 1,034 juta barel. Berdasarkan data dari Departemen ESDM pada tahun 2007 produksi minyak mentah Indonesia sebesar 347,5 juta barrel dengan total konsumsi minyak mentah Indonesia sebesar 321 juta barel .

Masalah subsidi

Sebagai langkah awal, pemerintah sebelumnya bermaksud untuk mengurangi beban subsidi premium dengan membuat aturan baru. Dengan demikian orang-orang yang diperbolehkan membeli bensin bersubdisi tersebut hanya kendaraan umum, sepeda motor dan kendaraan dinas. Sedangkan pengguna mobil pribadi harus membeli bensin beroktan lebih tinggi yang berarti lebih mahal per liternya.

Pembatasan premium bersubsidi akan diterapkan di seluruh Indonesia. Mulai 1 Januari 2008, sejumlah SPBU di kawasan elite Jakarta dan di ruas tol Jabodetabek mulai mengalihkan premium oktan 88 ke premium oktan 90 ([Media Indonesia], 8/12).

Pada 1 Januari 2008, di Jakarta ada 260 SPBU yang berpotensi mengalihkan premium oktan 88 ke premium oktan 90, dengan 30 di antaranya berada di kawasan perumahan elite. Selain itu, terdapat 21 SPBU di ruas tol Jabodetabek.

Adapun pengalihan premium pada SPBU-SPBU di Batam, Bali, dan Banten dilakukan Maret 2008. Pada 2009, target pengalihan berlanjut di seluruh wilayah Surabaya dan Semarang dengan volume 4 juta kl. Pada 2010, pengalihan dilaksanakan di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi dengan volume 7 juta kl.

Sebuah survei yang pernah dilakukan oleh Litbang Media group pada 6 Desember 2007 tentang kebijakan kenaikan terbatas harga BBM pada mobil pribadi menanyakan besaran harga rupiah harga per liter yang dinilai masih terjangkau sesuai kemampuan mereka.

Survei dilakukan dengan wawancara terstruktur dengan kuesioner melalui pesawat telepon kepada masyarakat di enam kota besar di Indonesia. Kota-kota tersebut meliputi Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan Medan.

Survei ini mencakup 480 responden dewasa yang dipilih secara acak dari buku petunjuk telepon residensial di kota-kota tersebut. Hasil survei tidak dimaksudkan mewakili pendapat seluruh masyarakat Indonesia, namun hanya masyarakat pengguna telepon residensial di kota-kota tersebut. Margin of error survei ini plus minus 4,6% pada tingkat kepercayaan 95%.

Dari keseluruhan responden tersebut tercatat bahwa 53% diantaranya menggunakan mobil pribadi. Hasil survei tadi menunjukkan, publik yang diwakili oleh responden survei ini umumnya keberatan jika mereka tidak ikut mendapatkan bensin bersubsidi. Jika mereka harus membeli bensin dengan harga yang lebih tinggi, maksimal harga yang masih terjangkau bagi mereka sebesar 5090 rupiah per liter atau naik sebesar 13% dari harga saat ini yaitu Rp 4500.

Hasil lain yang menarik untuk dicermati lagi dari hasil survei ini adalah adanya sikap pesimis dari sebagian besar responden, bahwa program pembatasan pembelian tersebut akan menimbulkan persoalan penyelewengan. Hasil survei menunjukkan, mayoritas publik 76% merasa tidak yakin kebijakan tersebut bebas dari penyimpangan.

Rendahnya kredibilitas petugas di tingkat implementasi memang merupakan masalah klasik pemerintahan manapun di negeri ini yang belum terselesaikan hingga saat ini. Bisa jadi nanti supir-supir kendaraan umum kerjanya hanya membeli premium dengan harga subsidi dan menjualnya kepada kendaraan pribadi dengan harga di bawah harga non-subsidi.

Berangkat dari hasil seperti ini tentunya adanya rencana program smart card menjadi persoalan yang perlu dipertimbangkan secara lebih matang. Sebab dengan ‘kecerdikan’ orang-orang Indonesia, bukan tidak mungkin penyelewengan tetap menjadi masalah yang terus membayangi setiap kebijakan pengurangan subsidi BBM.

‘Kecerdikan’ seperti ini tentu bukannya muncul tiba-tiba. Karena setelah lebih dari 32 tahun pelaksanaan subsidi BBM ternyata sudah lebih dari cukup membuat masyarakat terbuai dalam kenyamanan yang tidak perlu. Sebagai sebuah kebijakan yang dulu sebenarnya bersifat jangka pendek guna mengendalikan inflasi tinggi di awal Orde Baru terus berlanjut karena pertimbangan populis untuk melanggengkan kekuasaan.

Akibatnya, konsumsi BBM menjadi boros, seakan-akan minyak adalah sumber energi yang tidak pernah habis. Jadi sangat jelas bahwa dikala harga pangan yang juga mahal, pada dasarnya kebijakan subsidi BBM kian terbukti sebagai ‘akar kejahatan’ atas berbagai kesulitan ekonomi yang terus melilit.

Ekspor Minyak

Menyikapi kebijakan subsidi BBM yang besar selama Orde Baru memang bukannya tanpa alasan. Sebab terjadinya kenaikan harga minyak mentah di era 1970-an, justru telah memberikan pendapatan yang besar bagi negara. Sekitar 60-80% pendapatan negara berasal dari sektor ini.

Dalam realisasi APBN tahun 1972/1973 penerimaan bukan pajak dari sumber daya alam minyak dan gas baru mencapai Rp 257,7 miliar. Pada APBN tahun berikutnya jumlahnya naik menjadi Rp 428,3 miliar. Jumlah tersebut terus meningkat hingga pada tahun anggaran 1981/1982 jumlah penerimaan tersebut hampir mencapai Rp 9 triliun.

Meski sempat turun untuk tahun berikutnya. Namun pada APBN 1983/1984 jumlah penerimaan migas telah mencapai 11,9 triliun, untuk kemudian terus naik. Pada APBN-Perubahan tahun 2004 lalu dengan penerimaan dari sumber daya alam (SDA) sebesar Rp 92,4 triliun, minyak bumi menyumbang sebesar Rp 63,9 triliun atau lebih dari 69%. Pada realisasi APBN-P 2007, pendapatan PPh Migas mencapai Rp 44 trilyun. Dalam APBN P 2008 kali ini diharapkan penerimaan tersebut meningkat menjadi Rp 53,69 trilyun. Sedangkan untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor migas diharapkan sebesar Rp 182,95 trilyun.

Seiring dengan ekspor dan penerimaan tersebut, Indonesia juga terus melakukan impor minyak. Total volume impor minyak mentah Indonesia di tahun 2007 mencapai 110,45 juta barel. Apabila dihitung secara kasar dengan asumsi nilai tukar dalam APBN P 2007 sebesar Rp 9050 per $1, maka nilainya telah mencapai Rp 71.434.684.720.318, 40. Sedangkan nilai ekspornya sebesar Rp 1.150.569.867.600,00

Satu hal yang perlu diingat menjelang rencana kenaikan harga BBM ini adalah kurang lebih sampai 5 tahun ke depan, dunia masih berada pada masa transisi energi. Di tengah perubahan iklim yang akan sangat berpengaruh pada produktivitas produk-produk hasil pertanian dan perkebunan, pengembangan BBN di berbagai belahan dunia akan makin banyak lagi membutuhkan berbagai jenis komoditas tanaman pangan. Terutama yang tergolong di dalam tanaman pangan.

Semenjak Suharto turun bulan Mei 1998, laju inflasi tertinggi terjadi bulan September 1998 yang mencapai 82,4%. Sampai bulan September 1998 indeks harga konsumen (IHK) untuk beras dan makan pokok kenaikannya mencapai 152%.

Sebagai perbandingan, laporan inflasi bulan Oktober 2005 setelah dikeluarkannya kebijakan kenaikan harga BBM oleh pemerintah, pada kelompok bahan makanan kenaikan year on year sebesar 17,98% dan 12,46% untuk kelompok makanan jadi. Karenanya, ditengan ketiadan kebijakan pangan dan pertanian jangka panjang, singkronisasi kebijakan energi, pangan dan ekonomi makro menjadi salah satu langkah awal yang harus dilakukan secara lebih hati-hati lagi. (Nugroho Pratomo & Radi Negara/ Litbang Media Group)

Tidak ada komentar: