Setelah menghadapi berbagai pelarian modal untuk investasi sepatu dan alas kaki, kini harapan untuk kembali mengembangkan industri tersebut kembali terbuka. Hal tersebut terkait dengan adanya rencana dari beberapa industri sepatu dan tekstil yang mencoba menanamkan modalnya di Indonesia dalam waktu dekat ini setelah mereka melakukan relokasi dari pabrik mereka di China dan Vietnam. Adanya rencana penanaman investasi tersebut selain mampu menyerap tenaga kerja, diharapkan pula akan kembali meningkatkan daya saing produk-produk sepatu dan alas kaki Indonesia di pasar dunia.
Seperti juga keadaan beberapa industri dalam negeri lainnya, industri sepatu dan alas kaki Indonesia saat ini juga tengah menghadapi tingkat persaingan yang semakin ketat. Hak tersebut memang tidak bisa dipisahkan dari semakin berkembangnya industri-industri sepatu dan alas kaki beberapa negara lainnya. Karenanya, peningkatan tingkat daya saing (competitiveness) menjadi faktor yang penting dalam setiap setiap kegiatan produksi.
Mencermati industri sepatu dan alas kaki di Indonesia, ternyata harus disadari bahwa kondisinya saat ini tidaklah banyak berbeda dengan industri tekstil atau elektronik. Bersama dengan kedua jenis industri ini, industri sepatu dan alas kaki Indonesia juga harus masih menghadapi berbagai persoalan klasik. Mulai dari persoalan ekonomi biaya tinggi, penyelundupan hingga tingkat produktivitas yang relatif rendah.
Dalam konteks persaingan di pasar global, seperti terjadi pada beberapa komoditas lainnya China saat ini merupakan eksportir terbesar untuk komoditas sepatu dan alas kaki. Berdasarkan data yang dipublikasikan Comtrade, menunjukan bahwa pada tahun 2006 nilai ekspor sepatu dan alas kaki (HS 64) China ke seluruh dunia mencapai lebih US$ 21,8 milyar atau 38% dari keseluruhan nilai ekspor sepatu dan alas kaki dunia yaitu sebesar US$ 57,1 milyar.
Dominasi produk-produk sepatu dan alas kaki China terjadi pada hampir semua jenis turunan produk sepatu dan alas kaki. Meski demikian ekspor terbesar China untuk produk sepatu dan alas kaki serta turunannya adalah sepatu dan alas kaki yang terbuat dari kulit di bagian atas (HS 6403). Nilai ekspornya di tahun 2006 mencapai US$ 8,7 milyar atau 40% dari total ekspor sepatu dan alas kaki China. Sementara nilai ekspor terkecil sepatu dan alas kaki China adalah untuk jenis sepatu dengan tahan air yang terbuat dari karet, plastik atau jenis wellington (HS 6401). Nilai ekspor China untuk produk ini hanya sebesar US$ 219,5 juta atau sekitar 1% dari keseluruhan ekspor sepatu dan alas kaki China di tahun 2006.
Dilihat dari perkembangan nilai ekspor dunia tiap tahunnya sejak 2003-2006, maka jenis sepatu tahan air yang terbuat dari karet, plastik atau jenis wellington ini memang memiliki nilai ekspor yang paling rendah. Sementara, jenis sepatu dan alas kaki yang bagian atasnya terbuat dari kulit, untuk tahun 2006 perkembangan nilai ekspornya mengalami penurunan hampir US$ 4,2 milyar dibandingkan tahun 2005.
Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada produk-produk sepatu dan alas kaki dari Indonesia. Mencermati berbagai macam produk alas kaki yang ada, ekspor terbesar produk sepatu dan alas kaki Indonesia adalah jenis produk yang terbuat dari bagian atasnya terbuat kulit atau HS 6403. Dimana di dalamnya termasuk pula produk-produk sepatu/ alas kaki formal. Dilihat dari hasil indeks RCA, maka produk-produk sepatu jenis ini memiliki tingkat daya saing yang paling kompetitif (lihat tabel RCA).
Pada tahun 2006 komposisi ekspornya terhadap keseluruhan ekspor sepatu dan alas kaki Indonesia mencapai 72%, dengan nilai sebesar US$ 1,14 milyar. Nilai tersebut meningkat dibandingkan tahun 2005 yaitu sebesar US$ 910 juta. Tahun 2007 nilai ekspor tersebut naik sedikit menjadi $ 1,15 milyar dengan volume sebanyak 77,1 ribu ton (lihat grafik ekspor-impor sepatu dan alas kaki).
Begitu pula dengan komoditas ekspor yang terkecil. Nilai ekspor produk sepatu dan alas kaki serta turunannya yang terkecil adalah produk alas kaki tahan air dari karet atau plastik. Komposisi ekspornya terhadap keseluruhan ekspor alas kaki pada tahun 2006 tidak lebih dari 0,2% atau senilai US$ 3,3 juta. Nilai ekspor ini bahkan turun dibandingkan tahun 2005 sebesar US$ 4 juta. Pada tahun 2007 nilai ekspor ini turun drastis menjadi $ 2 juta. Selama periode 2004-2007 ekspor komoditas ini terbesar ditujukan ke Singapura dengan nilai ekspor mencapai US$ 1,8 juta atau 13,5% dari total ekspor Indonesia produk ini ke seluruh dunia.
Namun secara keseluruhan, negara tujuan ekspor produk sepatu dan alas kaki terbesar Indonesia masih ditujukan ke Amerika Serikat. Nilai ekspor sepatu dan alas kaki Indonesia tahun 2007 ke negara tersebut mencapai $384 juta dengan impor terbesar dari China yaitu sebesar $ 59 juta.
Industri alas kaki
Mencermati perkembangan industri sepatu dan alas kaki Indonesia, seperti telah diketahui pada tahun 2007 sepatu merek Adidas telah memberikan dan merealisasikan merelokasi 20% kapasitas produksinya dari China ke Indonesia. Hal tersebut tentunya merupakan harapan bagi peningkatan kapasitas produksi sepatu domestik. Dengan demikian secara keseluruhan pada tahun 2007 jumlah produsen sepatu dan alas kaki di Indonesia bertambah dari 18 menjadi 25 perusahaan.
Pada dasarnya, adanya relokasi pabrik sepatu dari China dan Vietnam ke Indonesia tidak terlepas dari lebih perubahan iklim usaha yang dinilai sudah tidak kondusif di kedua negara tersebut. Beberapa industri sepatu dari Taiwan bahkan akan melakukan kerja sama dengan industri sepatu di dalam negeri yang sebelumnya menghentikan produksinya.
Selain itu, terjadinya relokasi industri sepatu tersebut juga disebabkan oleh adanya pengenaan bea masuk anti dumping (BMAD) di negara-negara Uni Eropa pada berbagai produk sepatu dari China serta Vietnam. Sebagai perbandingan, pengenaan bea masuk impor untuk sepatu Vietnam dan China mencapai 24,7%. Sementara produk sepatu serupa yang berasal dari Indonesia, besaran bea masuknya hanya sebesar 14%.
Meski demikian, adanya berbagai hal tersebut bukan berarti bahwa produk-produk sepatu dan alas kaki Indonesia dapat dengan mudah menguasai pasar domestik. Industri alas kaki Indonesia seperti beberapa sektor industri manufaktur lainnya, kondisinya saat ini juga masih dihadapkan pada berbagai persoalan pengembangan. Mulai dari melemahnya daya beli domestik, kenaikan biaya produksi, hingga penyelundupan sepatu dari China maupun Vietnam. Namun demikian khusus bagi industri sepatu, persoalan perburuhan juga masih menjadi kendala utama investasi di bidang ini. Akibatnya, stagnasi produksi menjadi semakin tidak terhindarkan.
Masalah-masalah seperti inilah yang pada akhirnya juga berdampak pada menurunnya kinerja ekspor serta kemampuan daya saing. Padahal pada waktu yang bersamaan, persaingan di pasar internasional juga semakin ketat. Dengan China sendiri, sebenarnya Indonesia untuk jenis sepatu oleh raga (sport shoes) memang sudah kalah bersaing. Meski demikian, harapan untuk mengembangkan industri sepatu di Indonesia masih terbuka untuk jenis sepatu non sports atau sepatu formal. Hal ini disebabkan masih relatif rendahnya modal yang dibutuhkan, banyaknya tenaga kerja serta ketersediaan bahan baku terutama kulit dari dalam negeri.
Selain itu terjadinya penggunaan SKA Indonesia untuk masuk ke pasar AS oleh para pengusaha China tentunya menjadi masalah lain yang ridak boleh terulang lagi. Praktek ini pada dasarnya memang sangat “menguntungkan” bagi kedua belah pengusaha. Bagi pengusaha China hal tersebut tentunya akan mempermudah masuknya barang-barang mereka ke AS. Sementara bagi pengusaha domestik, praktek-praktek semacam ini jelas adalah kesempatan untuk bisa mendapatkan keuntungan lebih tanpa harus bersusah payah bekerja memenuhi pesanan terlebih dahulu.
Apabila kini perusahaan-perusahaan sepatu tersebut mau mengembangkan sepatu serupa dengan merek domestik, maka hal ini sesungguhnya merupakan langkah maju dalam pengembangan industri sepatu dan alas kaki domestik. Sebab, justru keinginan seperti inilah yang seringkali terabaikan ketika sebuah perusahaan telah mendapat pesanan dari merek-merek ternama. Akibatnya, hampir sebagian besar industri manufaktur di Indonesia tidak lebih dari sekedar perusahaan perakitan tanpa mampu menghasilkan sebuah produk yang benar-benar “Made in Indonesia”.
Di sisi lain, konsistensi penyelesaian ekonomi biaya tinggi, pemberantasan penyelundupan serta penyelesaian persoalan perburuhan menjadi aspek penting untuk kembali meningkatkan daya saing produk alas kaki dan sepatu Indonesia. Sebab pada kenyataannya, persaingan di dalam industri sepatu semakin hari akan semakin ketat. Kalaupun industri sepatu seperti Adidas masih berkeinginan untuk menanamkan modalnya di Indonesia tentunya hal tersebut harus pula disikapi secara hati-hati. Sebab bagaimanapun juga, sebagai perusahaan multinasional lainnya, mereka akan selalu mencari tempat yang mampu memberikan jaminan bahwa produksi yang dilakukannya lebih efisien. (Nugroho Pratomo: Peneliti Inrise & Litbang Media Group)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar