Selasa, 01 April 2008

PAJAK EKSPOR CPO: MAU UNTUNG MALAH BUNTUNG



(Analisis Media Indonesia; 31 Maret 2008)

Seakan tiada pernah ada habisnya, persoalan mahalnya harga minyak goreng masih menjadi persoalan yang terus membayangi masyarakat saat ini. Sebagaimana disampaikan dalam Media Indonesia online (22/3) pemerintah telah mencairkan dana subsidi tahap pertama minyak goreng sebesar Rp100 miliar dari total anggaran Rp500 miliar.

Dana subsidi tersebut akan disalurkan kepada 19,2 juta keluarga miskin dengan total penyaluran sebanyak 190 juta liter. Data kemiskinan mengacu pada data kemiskinan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Selain itu, pemerintah juga akan mendorong penggunaan minyak goreng kemasan. Sebab pada dasarnya harga minyak goreng curah lebih berfluktuasi ketimbang harga minyak goreng kemasan (MI Online 28/3).

Meski demikian, juga harus disadari bahwa harga minyak goreng kemasan bukannya tidak mungkin mengalami fluktuasi. Sebab para produsen minyak goreng kemasan pada umumnya juga menetapkan harga paling lama untuk 2 minggu. Artinya, setelah jangka waktu tersebut atau bahkan sangat mungkin untuk jangka waktu yang lebih singkat, fluktuasi harga minyak goreng kemasan akan tetap terjadi.

Pola konsumsi

Mencermati fluktuasi harga minyak goreng tersebut, aspek pertama yang harus dipahami terlebih dahulu adalah pola konsumsi masyarakat atas komoditas minyak goreng. Berdasarkan data dari departemen pertanian, di tingkat rumah tangga, total konsumsi untuk minyak kelapa sawit selama tahun 1990-2006 mencapai 19 juta ton. Diperkirakan untuk konsumsi 2007 jumlahnya sebesar 1,6 juta ton dan tahun 2008 diproyeksikan menjadi 1,65 juta ton. Pada produk turunannya berupa minyak goreng sawit selama periode 1990-2006, total konsumsinya mencapai 13 juta ton. Tahun 2007, konsumsinya diperkirakan sebesar 1,2 juta ton dan tahun 2008 diproyeksikan naik menjadi 1,26 juta ton.

Meski telah lama digunakan dalam industri minyak goreng, namun besarnya konsumsi minyak goreng sawit ini pada dasarnya belum begitu lama terjadi. Setidaknya sudah hampir dalam 10 tahun terakhir pola konsumsi minyak goreng masyarakat Indonesia mengalami perubahan dari sebelumnya menggunakan minyak goreng kelapa beralih kepada minyak goreng yang berasal dari minyak sawit.

Salah satu penyebabnya mungkin adalah adanya berbagai pendapat yang menyebutkan mengenai berbagai manfaat yang bisa diperoleh dari mengkonsumsi minyak sawit. Minyak sawit yang biasa digunakan sebagai minyak goreng mengandung beta keroten atau pro-vitamin A serta vitamin E yang dapat berguna untuk menurunkan kolesterol dan menghambat penuaan. Berbagai kelebihan inilah yang kemudian dimanfaatlkan oleh para industri minyak goreng dalam memasarkan berbagai produknya.

Tingkat konsumsi minyak goreng di Indonesia sejak 1998 hingga 2005 juga terus tumbuh. Secara keseluruhan Pada 1998 konsumsi minyak goreng di Indonesia mencapai 3,22 juta ton kemudian meningkat menjadi 6,04 juta ton di tahun 2005 dengan 83,3 % terdiri dari minyak goreng sawit.

Jika dilihat dari perkembangan konsumsi perkapitanya, maka tingkat konsumsi per kapita meningkat dari 10,7 kilogram per kapita di tahun 1998 menjadi 16,5 kilogram per tahun di tahun 2005. Khusus untuk konsumsi perkapita minyak goreng sawit jumlahnya sebesar 12,7 kilogram per tahun untuk tahun 2005.

Namun untuk tahun 2006, konsumsi perkapita minyak goreng sawit tersebut sedikit mengalami penurunan menjadi 5,52 liter per tahun. Meski demikian, tingkat konsumsi ini masih tetap lebih tinggi apabila dibandingkan dengan konsumsi perkapita untuk minyak kelapa atau bahkan dengan margarin yang juga berbahan dasar minyak sawit. Berdasarkan hasil susenas 2007 menunjukan bahwa konsumsi perkapita untuk minyak kelapa adalah 3,16 liter per kapita per tahun. Sementara tingkat konsumsi perkapita untuk margarin hanya sebesar 1,1 kilogram.

Jika diperbandingkan berdasarkan daerahnya, maka secara keseluruhan pola konsumsi antara desa dan kota untuk minyak kelapa dan minyak goreng sawit tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh. Konsumsi perkapita untuk minyak kelapa di perkotaan untuk tahun 2006 adalah sebesar 3,41 kilogram, sementara di desa adalah 3,74 kilogram. Pada minyak goreng sawit, konsumsi perkapita konsumsi masyarakat perkotaan sedikit lebih besar yaitu 5,95 kilogram perkapita, sementara di desa 5,18 kilogram per kapita.

Selain soal harga yang relatif lebih murah, perbedaan pola konsumsi antara desa dan kota untuk minyak goreng sawit dan minyak kelapa ini pada dasarnya lebih disebabkan faktor kebiasaan yang belum dapat diubah. Kebiasaan ini juga terkait dengan kenyataan bahwa minyak kelapa bisa diproduksi sendiri pada tingkat industri rumah tangga. Dengan demikian, harga minyak kelapa bisa jauh lebih murah ketimbang minyak goreng yang berasal dari sawit.

Sedangkan untuk margarin, memang terdapat perbedaan yang agak jauh antara konsumsi di perkotaan maupun di pedesaan. Berdasarkan hasil laporan susenas tersebut, konsumsi margarin di kota mencapai 0,96 kilogram per kapita, sedangkan di pedesaan hanya sebesar 0,14 kilogram per kapita.

Namun nampaknya, pola konsumsi seperti ini diperkirakan tidak akan bisa bertahan pada waktu-waktu berikutnya. Sebab seiring dengan kenaikan harga minyak mentah yang diikuti oleh kenaikan harga CPO, juga terjadi peningkatan terhadap harga minyak kelapa. Berdasarkan data dari Direktorat Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan, harga minyak kelapa curah hingga Januari 2007 masih lebih rendah dibandingkan minyak goreng sawit. Namun menjelang akhir 2007, harga minyak kelapa justru lebih mahal dari ketimbang minyak goreng sawit.Hal ini sekaligus menunjukan bahwa minyak kelapa saat ini juga sudah lagi bukan merupakan komoditas yang diharapkan bisa menjadi substitusi dari minyak sawit. Dalam perjalanannya, minyak kelapa hingga akhir dekade 1970an masih menjadi bahan baku utama dari sebagian besar industri minyak goreng di Indonesia. Namun sebagai akibat produksi kopra yang terus mengalami penurunan mengakibatkan tersendatnya pasokan bagi pabrik minyak goreng. Sejak saat itu, beberapa industri minyak goreng domestik semakin luas mengembangkan minyak goreng dengan berbahan baku minyak sawit.

Tinjauan kebijakan

Persoalan kekurangan pasokan minyak sawit yang berdampak pada mahalnya harga minyak goreng sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Pada tahun 1978, pemerintah melalui surat keputusan bersama (SKB) antara menteri pertanian, perindustrian dan menteri perdagangan, mencoba mengatur soal ekspor minyak kelapa sawit. Termasuk di dalamnya adalah mengatur mengenai pengawasan penyaluran minyak kelapa sawit untuk ke berbagai jenis industri pengolahan lanjutan (Pohan:2008).

Sebagai bagian dari deregulasi dan debirokratisasi yang dilakukan oleh pemerintah sejak pertengahan dekade 1980an, paket kebijakan yang dikeluarkan pada Juni 1991 (Pakjun 1991) menghapus SKB tersebut. Seperti telah banyak diketahui, Pakjun 1991 pada intinya merupakan serangkaian paket deregulasi bidang: investasi, industri, pertanian, perdagangan, dan keuangan.

Dihapuskannya tata niaga minyak sawit tersebut menyebabkan ekspor minyak sawit Indonesia tumbuh dengan pesat. Ekspor CPO Indonesia di tahun 1991 tumbuh 59% dibandingkan tahun 1990. Meskipun di tahun 1992 ekspor CPO Indonesia sempat turun sebesar 10,5%, namun seiring dengan peningkatan kenaikan harga CPO dunia, pada tahun 1993, ekspor CPO meningkat sebesar 26% dibandingkan tahun sebelumnya.

Pengenaan pajak ekspor (PE) sebagai upaya menjaga pasokan domestik di tahun 1994, menyebabkan ekspor CPO turun sebesar 23% di tahun 1995. Pengenaan pajak ekspor ketika itu ditetapkan apabila harga minyak goreng di atas Rp 1250 per kg. Pemerintah saat itu juga mengeluarkan kebijakan tentang buffer stock untuk bisa menjamin pasokan industri minyak goreng domestik.

Sayangnya, kebijakan yang pernah dilakukan pemerintah ketika itu agak sulit untuk kembali diterapkan dalam konteks saat ini. Lemahnya posisi tawar negara terhadap penetrasi modal, menjadikan pemerintah tidak bisa berbuat banyak untuk bisa meningkatkan stok domestik. Celakanya, persoalan ini kemudian ditambah dengan masih lemahnya penegakan hukum yang menyebabkan kebijakan pajak progresif untuk ekspor CPO lebih banyak berakhir pada kasus-kasus penyelundupan. Jadi, bukan tidak mungkin untuk beberapa waktu ke depan, masyarakat masih akan menghadapi harga minyak goreng relatif masih akan tetap tinggi. Sementara pemerintah juga mesti “merelakan” hilangnya potensi pendapatan negara serta berhadapan dengan tuntutan subsidi yang tinggi.
(Nugroho Pratomo/ Peneliti Inrise & Litbang Media Group)



Tidak ada komentar: