Sebagai kelanjutan atas hasil studi awal mengenai konsumsi kedelai di Indonesia yang juga telah disampaikan dalam analisis Media Indonesia (3/3), analisis kali ini mencoba menyampaikan hasil dari model persamaan simultan yang dibangun dalam kerangka menguji lebih lanjut berbagai argumentasi mengenai keterkaitan antara pengembangan energi alternatif bahan bakar nabati di AS (bioetanol) dari jagung dengan kesulitan masyarakat memperoleh tahu dan tempe.
Sebagai studi awal, sekali lagi masih banyak kekurangan yang terdapat dari penelitian ini. Karenanya, penulis dan beberapa peneliti lainnya juga masih terus mendiskusikannya. Namun, pada saat yang bersamaan dari hasil ini diharapkan setidaknya mampu memberikan sedikit tambahan bekal kepada kita untuk bisa memahami lebih dalam mengenai apa yang tengah terjadi di Indonesia maupun dunia.
Pengembangan kedelai
Usaha pengembangan produksi bahan pangan seperti kedelai, sebenarnya juga telah lama dilakukan. Di masa Orde baru, pengembangan produksi kedelai dilakukan melalui empat program, yaitu kebijakan harga yang berorientasi pada produsen, pengembangan paket teknologi, subsidi sarana produksi serta pengendalian impor dan perdagangan dalam negeri (Roja, 2006). Setelah mencapai produksi tertinggi pada tahun 1992 dengan jumlah produksi mencapai 1,87 juta ton, jumlah produksi kedelai Indonesia terus mengalami penurunan. Data dari departemen pertanian menunjukan bahwa penurunan produksi kedelai hingga dibawah 1 juta ton terjadi semenjak tahun 2001. Pada tahun tersebut, jumlah produksi kedelai Indonesia turun dari 1,02 juta pada tahun 2000 menjadi 827 ribu.
Pasca krisis ekonomi dan seiring pelaksanaan otonomi daerah, sebenarnya pemerintah juga telah meluncurkan sebuah kebijakan yang dinamakan dengan Gerakan Mandiri Padi, Kedelai dan Jagung (Gema Palagung) di tahun 2001. Dalam pelaksanaannya, meski di beberapa daerah gerakan ini mulai menunjukan hasil, namun secara keseluruhan produksi kedelai Indonesia tidak menunjukan peningkatan yang signifikan. Sebaliknya, kemampuan produksi tersebut terus mengalami penurunan. Akibatnya, selama periode tahun 2000-2004 pertumbuhan produksi kedelai Indonesia mengalami -8,7%.
Berbagai argumentasi terkait dengan penurunan produksi kedelai ini kemudian banyak bermunculan. Salah satu argumentasi yang sering disampaikan adalah ketidakmampuan kedelai lokal untuk bersaing dengan kedelai impor yang menawarkan kualitas dan harga yang lebih baik. Masuknya kedelai impor tersebut secara umum tidak terlepas dari adanya kebijakan pemberian kemudahan pembayaran dan fasilitas L/C dari negara asal. Sementara pada saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia sesuai dengan kesepakatan yang tercantum dalam Letter of Intent (LoI) pada 1998 yang mengharuskan pemerintah menurunkan bea masuk secara bertahap mulai 5% hingga maksimal 10% pada tahun 2003. Melalui kesepakatan tersebut, maka bea masuk atas kedelai menjadi 0%, sebelum akhirnya kembali diberlakukan bea masuk sebesar 10% pada tahun 2006.
Studi awal
Sebagai hasil atas model estimasi awal yang dibangun sebelumnya, menunjukan bahwa variabel impor mejadi faktor yang signifikan dalam melihat konsumsi kedelai di Indonesia. Namun, apabila dilihati dari hasil koefisiennya regresinya menunjukan pola hubungan yang negatif. Model yang mencoba melihat perkembangan impor dan konsumsi kedelai tersebut, dalam pengujiannya memang mengasumsikan bahwa kebijakan impor yang dilakukan sebagai “pengganti” ketiadaan supply domestik menggunakan harga internasional sebagai patokan tanpa adanya intervensi kebijakan harga dari pemerintah. Sebagai hasilnya, tidak mengherankan apabila penambahan supply kedelai dengan mekanisme impor, dalam jangka pendek tidak akan membawa banyak perubahan pada peningkatan konsumsi atau daya beli masyarakat atas komoditas kedelai. Sebaliknya, kegagalan pasar (market failure) seperti ini justru akan memperlebar jarak antara permintaan di tingkat masyarakat dengan harga kedelai yang diimpor. Hingga akhirnya sebagaimana diajarkan dalam teori-teori dasar ekonomi, peranan intervensi pemerintah merupakan faktor yang penting dalam mengatasi persoalan ini.
Berangkat dari hasil estimasi tersebut, selanjutnya dalam studi awal ini juga dibangun sebuah persamaan simultan yang mencoba melihat beberapa aspek yang dinilai dapat mempengaruhi impor kedelai Indonesia. Beberapa variabel yang dimasukan dalam model persamaan simultan ini adalah harga internasional atas komoditas kedelai itu sendiri, pendapatan perkapita dengan memperhitungkan kemampuan daya beli (purchasing power parity/PPP) Indonesia, harga komoditas jagung yang dinilai menjadi substitusi kedelai, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, serta kinerja impor tahun sebelumnya. Sebagai tambahan, model ini juga memperhitungkan kesepakatan LoI sebagai variabel boneka (dummy variable) yang diperhitungkan sejak 1998-2006 dimana Indonesia telah keluar secara penuh dari program IMF.
Sebelum menjelaskan mengenai hasil estimasi yang dihasilkan, penulis ingin sedikit kembali mengingatkan mengenai metodologi yang digunakan dalam studi ini. Sebagai sebuah studi yang dilakukan dengan mengembangkan studi serupa yang dilakukan sebelumnya oleh Dewi Sahara dan Endang S Gunawati untuk mengestimasi tingkat permintaan kedelai di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah, studi ini dilakukan dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS), yaitu membangun model-model estimasi persamaan simultan yang dikembangkan dari model analisis dinamis dengan analisis regresi berganda dalam logaritma natural yang berangkat dari model estimasi parsial Nerlove. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk bisa melihat tingkat elastisitas atas tiap-tiap variabel penjelas terhadap variabel terikat. Data yang digunakan dalam studi ini juga merupakan jenis data runtun waktu (time series) antara tahun 1981-2006.
Pengujian validitas model atau asumsi klasik, dilakukan untuk memastikan tidak terjadinya autokorelasi yaitu adanya hubungan antara kesalahan-kesalahan dan multikolinearitas atau adanya hubungan antara variabel penjelas. Dengan demikian diharapkan akan dapat memenuhi syarat adanya Best Liniear Unbiased Estimator (BLUE). Pengujian model ini dilakukan dengan membandingkan hasil uji Durbin-Watson dengan tabel yang ada untuk memastikan tidak adanya autokorelasi. Sementara pengujian multikolineritas dilakukan dengan melihat nilai toleransi (tolerance) yang diharapkan tidak kurang dari 0,1 dan variation inflation factor (VIF) yang nilainya tidak lebih dari 10,0 (Gujarati, Basic Econometric, 2003).
Hasil estimasi
Pada pengujian estimasi awal yang dilakukan menunjukan bahwa model yang dibangun dalam kurun waktu tersebut, menunjukan adanya penyimpangan atas asumsi klasik. Secara teknis, penyimpangan ini juga mengakibatkan diperlukannya waktu jeda (lag time) dalam model estimasi yang dibangun selanjutnya. Karenanya, dibangun model yang estimasi dengan periode waktu masing-masing antara 1981-1990 dan 1991-2006.
Hasil estimasi dari kedua model ini menunjukan bahwa variabel harga internasional komoditas kedelai merupakan aspek penting yang mepengaruhi impor kedelai Indonesia. Dalam model estimasi I (1981-1990) memperlihatkan bahwa koefisien regresi yang dihasilkan atas variabel tersebut sebesar 1,039. Hasil ini memperlihatkan bahwa pada setiap kenaikan 1% harga kedelai di pasar dunia, maka besaran potensi kenaikan impor kedelai mencapai 103,9%. Variabel lain yang penting dalam model ini adalah kinerja impor tahun-tahun sebelumnya. Koefisien yang dihasilkan dari variabel ini mencapai 13,805. Hasil ini memperlihatkan bahwa pada setiap kenaikan 1% impor kedelai pada tahun sebelumnya akan mendorong potensi kenaikan impor kedelai sebesar 1380,5%. Model ini sendiri memiliki kemampuan untuk menjelaskan varibel impor kedelai hingga 84,9%, yaitu dengan melihat besaran R square yang dihasilkannya pada tingkat kepercayaan 95%.
Sebelum menjelaskan hasil dari model estimasi II yaitu untuk periode 1991-2006, satu faktor yang perlu diingatkan penulis adalah terjadinya krisis ekonomi yang pada akhirnya membawa Indonesia kepada kesepakatan dengan IMF. Faktor menyebabkan dimasukannya variabel dummy LoI dalam model estimasi yang dibangun. Namun dari hasil estimasi post-mortem yang dilakukan memperlihatkan terjadinya multikolinearitas. Karenanya studi ini mencoba membuat dua kombinasi model estimasi masing-masing dengan menggunakan variabel harga internasional dan dummy LoI serta kinerja impor dan dummy LoI.
Hasil estimasi model kombinasi pertama menunjukan bahwa koefisien yang dihasilkan untuk variabel harga internasional kedelai adalah -0,045. Sementara nilai koefisien yang dihasilkan untuk dummy LoI sebesar 0,433. Dari hasil ini memperlihatkan bahwa pada setiap kenaikan 1% harga kedelai di pasar internasional akan berakibat turunnya impor kedelai sebesar -4,5%. Sedangkan melalui kesepakatan LoI dengan IMF, akan berdampak pada kenaikan impor kedelai hingga 43,3%. Model estimasi ini sendiri menghasilkan nilai R square sebesar 0,412 pada tingkat kepercayaan masing-masing 90% untuk harga internasional dan 95% untuk dummy LoI.
Rendahnya nilai R square tersebut menunjukan bahwa secara umum kedua variabel ini tidak bisa menjelaskan persoalan impor kedelai selama kurun waktu tersebut. Inilah sebabnya model estimasi kombinasi kedua menjadi penting untuk memahami lebih lanjut persoalan impor kedelai Indonesia. Hasil estimasi pada model ini menunjukan bahwa nilai koefisien untuk kinerja impor tahun sebelumnya sebesar 0,235. Nilai ini memperlihatkan bahwa pada setiap kenaikan 1% impor di tahun sebelumnya akan mengakibatkan kenaikan impor kedelai sebesar 23,5%. Sedangkan untuk dummy LoI nilai koefisien yang dihasilkan sebesar 0,314. Sehingga dapat dikatakan adanya LoI akan berdampak pada naiknya impor kedelai sebesar 31,4%. Model ini memiliki nilai R square sebesar 0,423 pada tingkat kepercayaan 90%.
Berbagai hasil estimasi tersebut di atas, sebenarnya menunjukan kepada kita bahwa setidaknya dalam jangka pendek akan sangat sulit bagi kita untuk terlalu tergantung pada mekanisme impor untuk memenuhi kebutuhan kedelai dometik. Hal ini disebabkan tidak lain karena fluktuasi harga kedelai di pasar dunia yang bahkan di tahun 2007 kenaikannya hampir mencapai 50%. Keluarnya Indonesia dari program IMF sebenarnya merupakan jalan bagi kembalinya otonomi relatif yang dimiliki negara untuk bisa mengatur kebijakan pertanian maupun perdagangannya. Sayangnya itu semua gagal dimanfaatkan secara optimal karena ketidakmampuan pemerintah membaca dan mengantisipasi berbagai perubahan yang cepat ats kondisi energi global, dimana pada akhirnya turut menarik masyarakat dunia pada masalah krisis pangan. (Nugroho Pratomo; Peneliti Inrise & Litbang Media Group)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar