Hingga hari ini nampaknya kenaikan berbagai bahan kebutuhan pangan seperti kedelai masih belum akan meunjukan adanya trend ke arah penurunan. Kondisi ini tentu secara umum juga masih akan memberikan dampak yang tidak sedikit bagi masyarakat. Apalagi bahan kebutuhan seperti kedelai merupakan salah satu bahan pangan yang banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan makanan seperti tempe dan tahu.
Sebagaimana telah berulang kali disampaikan dalam analisis Media Indonesia, ketergantungan yang besar terhadap produk kedelai impor merupakan salah satu persoalan utama yang juga menyebabkan kelangkaan dan mahalnya kedelai. Sementara pada saat yang bersamaan, Amerika Serikat sebagai produsen sekaligus eksportir kedelai utama dunia sudah sejak tahun 2005 sedang giat mengembangkan bahan bakar nabati (biofuel) berbahan baku jagung.
Bahkan di beberapa negara bagian, peningkatan produksi jagung ini didukung oleh subsidi hingga milyaran dolar. Sebagai konsekuensinya, banyak dari petani kedelai di AS yang kemudian mengalihkan sebagian lahan kedelainynya untuk ikut menanam jagung. Padahal data Comtrade juga menunjukan bahwa lebih dari 93% impor kedelai Indonesia berasal dari negara ini (lihat grafik).
Studi awal
Berangkat dari berbagai argumentasi yang telah disampaikan tersebut, maka dalam analisis kali ini penulis akan mencoba menyampaikan sejumlah hasil dari studi awal (preliminary studies) atas dugaan keterkaitan antara pengembangan biofuel dari jagung di AS dengan kelangkaan kedelai di Indonesia. Studi ini dilakukan dengan menggunakan data dari neraca bahan pangan BPS, Comtrade dan data dari Departemen Pertanian AS. Sebagai sebuah studi awal, tentu masih banyak kekurangan yang terdapat dari penelitian ini. Karenanya, hasil sementara ini juga masih terus didiskusikan hingga ditemukan hasil yang paling maksimal.
Secara metodologi, studi ini dilakukan dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS), yaitu membangun model-model estimasi persamaan simultan (simultaneous equation) yang dikembangkan dari model analisis dinamis dengan analisis regresi berganda dalam logaritma natural. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk bisa melihat tingkat elastisitas atas tiap-tiap variabel penjelas terhadap variabel terikat.
Model analisis dinamis yang digunakan ini pada dasarnya merupakan model estimasi parsial Nerlove. Model estimasi parsial Nerlove ini merupakan salah satu model estimasi yang juga banyak digunakan terutama untuk melihat kasus-kasus yang terkait dengan permintaan atas produk-produk pertanian, Salah satu keunggulan dari model estimasi ini adalah kemampuannya untuk memperhitungkan kesenjangan (lag) waktu antara saat adanya permintaan dengan ketersediaan produk-produk pertanian tersebut. Hal ini menjadi penting sebab disadari bahwa seringkali peningkatan permintaan tidak terjadi pada waktu yang bersamaan dengan saat panen. Akibatnya, ada dinamika perbedaan antara permintaan jangka pendek (short term) dengan jangka panjang (long term).
Pada dasarnya, model estimasi yang digunakan dalam studi ini juga merupakan pengembangan dari model estimasi serupa juga pernah digunakan oleh Dewi Sahara dan Endang S Gunawati untuk mengestimasi tingkat permintaan kedelai di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Baik studi yang dilakukan oleh keduanya maupun studi ini menggunakan jenis data berupa deret waktu (time series). Dalam studi ini jangka waktu yang digunakan adalah pada periode 1981-2006.
Mengingat jenis data yang digunakan, maka adalah penting untuk menguji validitas model terutama untuk memastikan tidak terjadinya autokorelasi dan multikolinearitas. Dengan demikian diharapkan akan dapat memenuhi syarat adanya Best Liniear Unbiased Estimator (BLUE). Pengujian model ini dilakukan dengan membandingkan hasil uji Durbin-Watson dengan tabel yang ada untuk memastikan tidak adanya autokorelasi. Sementara pengujian multikolineritas atau adanya hubungan antara variabel penjelas dilakukan dengan melihat nilai toleransi (tolerance) yang diharapkan tidak kurang dari 0,1 dan variation inflation factor (VIF) yang nilainya tidak lebih dari 10,0 (Gujarati, Basic Econometric, 2003).
Penjelasan variabel
Berangkat dari berbagai teori ekonomi yang ada, dalam pembangunan model estimasi permintaan kedelai secara umum tingkat permintaan permintaan kedelai akan dipengaruhi oleh tingkat pendapatan dan harga. Mengingat data yang ada menunjukan besarnya ketergantungan terhadap impor, maka variabel penjelas lain yang juga diestimasikan adalah impor kedelai.
Selanjutnya secara simultan juga dilakukan estimasi untuk melihat dinamika perubahan harga terhadap impor kedelai. Harga yang dimaksudkan di sini merujuk pada harga kedelai dalam hal ini adalah harga internasional kedelai serta harga atas komoditas yang menjadi komplemen atau pengganti kedelai. Karenanya, salah satu persamaan yang dibangun adalah untuk melihat pengaruh atas perubahan berbagai harga baik itu harga internasional dari kedelai maupun beberapa komoditas lainnya. Harga komoditas lain yang dicoba untuk diujikan disini adalah harga jagung, minyak sawit mentah (CPO) dan tebu.
Pemilihan atas sejumlah jenis komoditas ini pada dasarnya dengan mempertimbangkan bahwa jenis-jenis komoditas inilah yang saat ini banyak digunakan oleh sejumlah negara dalam pengembangan bahan bakar nabati di negaranya. Termasuk diantaranya adalah AS yang mengembangkan penggunaan jagung dan Brazil yang kini lebih banyak menggunakan tebu. Semantara, seperti telah banyak diketahui, Indonesia sendiri saat ini juga mulai mengembangkan BBN salah satunya dengan berbasiskan pada minyak sawit.
Sebagai negara penghasil dan pengekspor minyak sawit terbesar di dunia, fluktuasi atas harga minyak sawit mentah dunia tentu menjadi aspek yang penting dipertimbangkan. Sebab belajar dari pengalam beberapa waktu lalu, kenaikan harga minyak sawit mentah telah mendorong para pemilik perkebunan sawit di Indonesia untuk lebih cenderung melakukan ekspor tanpa memperhitungkan tingginya kebutuhan domestik.
Terkait dengan kedelai selain fungsinya sebagai salah satu bahan makanan, minyak sawit ini juga banyak dibutuhkan dalam industri pakan ternak. Secara umum, sebagai zat pengikat, penggunaan minyak sawit ini juga bisa digantikan salah satunya oleh minyak kedelai. Meski penggunaannya di Indonesia belum terlalu banyak, namun dengan kenaikan harga mintak sawit yang pada akhirnya mendorong kecenderungan untuk melakukan ekspor sementara di sisi lain kedelai masih menjadi komoditas impor, maka tentunya hal tersebut bisa menjadi salah satu ancaman bagi ketahanan pangan secara lebih luas.
Hasil estimasi
Dari hasil estimasi model yang dilakukan menunjukan bahwa konsumsi kedelai Indonesia sepanjang kurun waktu yang diujikan menunjukan bahwa terdapat 2 variabel penjelas yang memiliki sigfikansi terhadap konsumsi kedelai, yaitu variabel impor dan konsumsi tahun sebelumnya. Keduanya signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Sementara kemampuan model untuk mampu menjelaskan tingkat permintaan kedelai ditandai dengan besar R square sebesar 0,799. Hasil ini menunjukan bahwa model yang dibangun mempu menjelaskan konsumsi kedelai hingga 79,9%.
Variabel impor kedelai menghasilkan nilai koefisien sebesar -0,263. Hasil ini menunjukan bahwa setiap kenaikan 1% impor kedelai justru akan berakibat turunnya konsumsi kedelai sebesar 26,3%. Sementara variabel yang signifikan lainnya yaitu tingkat konsumsi tahun sebelumnya. Nilai koefisien regresi yang dihasilkan adalah 0,325. Hasil ini memperlihatkan bahwa setiap kenaikan 1% konsumsi tahun sebelumnya, akan berakibat pada naiknya konsumsi kedelai sebesar 32,5%.
Hasil ini sebenarnya menunjukan kepada kita setidaknya dalam jangka pendek, bagaimana sebenarnya kerentanan konsumsi kedelai kita pada ketersediaan kedelai di pasar dunia. Karena meski impor kedelai tetap dilakukan atau bahkan ditambah, kemampuan masyarakat untuk mengkonsumsi kedelai justru kian menurun. Hal ini tidak lain karena keterbatasan daya beli yang tidak memungkinkan mereka membeli kedelai yang telah diimpor tanpa adanya bantuan subsidi dari pemerintah sebagaimana dilakukan oleh pemerintah saat ini.
Jadi, melalui hasil estimasi yang telah didapatkan tersebut pada dasarnya juga menunjukan bahwa pada dasarnya hukum mekanisme pasar (supply-demand) dalam permintaan kedelai domestik saat ini sesungguhnya tidak lagi berlaku. Pemenuhan pasokan kedelai domestik melalui mekanisme impor, pada saat ini sebenarnya sangat tidak efektif . Hal ini dengan sangat mudah dibuktikan dari besaran subsidi yang harus kembali dikeluarkan oleh pemerintah melalui APBN P 2008 yang nilainya mencapai Rp 0,5 triliun.
Sebagaimana disampaikan dalam Media Indonesia online (9/2) subsidi tersebut direncanakan akan diberikan kepada para pengerajin tahu dan tempe dimana pada setiap 1 kilogram pemerintah akan memberikan subsidi sebera Rp 1000. Selain yang telah tergabung di dalam induk koperasi pengerajian tahu dan tempe Indonesia (Inkopti), sekitar 115 ribu pengerajin serupa diharapkan juga akan mendapatkan subsidi tersebut. Kalau sudah begini masihkah kita terus mengimpor kedelai di masa depan?(Nugroho Pratomo: Peneliti Inrise & Litbang Media Group)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar