Selasa, 27 Mei 2008

‘MENYAMBUT’ RASKIN SETELAH KENAIKAN HARGA BBM

(Analisis Media Indonesia; Senin 26 Mei 2008)

Setelah pemerintah secara resmi menaikan harga jual BBM, maka kini yang tugas tersisa adalah bagaimana penyaluran berbagai bantuan kompensasi bagi kelompok masyarakat miskin. Pemerintah Selain dana bantuan tunai langsung (BLT) yang penyalurannya telah dimulai sehari setelah pengumuman kenaikan harga, kebijakan lain yang juga ditempuh pemerintah adalah melanjutkan program penyediaan beras bagi keluarga miskin (Raskin).

Sebagaimana diberitakan oleh Media Indonesia online (12/5), pemerintah akan meningkatkan kapasitas dan menambah program-program untuk membantu masyarakat berpendapatan rendah yang terkena beban kenaikan harga BBM. Salah satunya adalah dengan menambah jumlah penerima raskin di luar penerima BLT Plus 19,1 juta orang.

Sasaran yang akan mendapat tambahan raskin adalah buruh pabrik, buruh perkebunan, pegawai negeri sipil (PNS), dan TNI/Polri golongan tertentu. Mereka ini adalah buruh dan pegawai dengan gaji di bawah Rp2 juta per bulan.

Pemerintah sendiri sudah alokasikan anggaran tambahan Rp 4,3 triliun. Anggaran tambahan itu diluar alokasi pemberian raskin yang bertambah dari 10 kilogram menjadi 15 kilogram. Anggaran tersebut berasal dari dana penghematan subsidi yang diproyeksikan mencapai Rp30 triliun. Selain itu, pemerintah juga akan menambah stok beras 1,5 juta ton. Kebijakan ini dilakukan dalam kerangka menjaga stabilisasi harga beras.

Namun demikian, pelaksanaan berbagai program kompensasi bagi kelompok miskin ini bukannya tanpa masalah. Seperti banyak dikeluhkan, persoalan akurasi data memang masih menjadi perdebatan panjang yang belum selesai. Padahal hal tersebut merupakan titik awal bagi tercapainya sasaran dan tujuan program-program tersebut.

Garis Kemiskinan Makanan

Data BPS yang dikeluarkan September 2006 menyebutkan bahwa, hingga Maret 2006 jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 39,05 juta orang. Jumlah tersebut adalah 17,75% dari jumlah penduduk. Apabila dibandingkan dengan posisi bulan Februari 2005, maka ada kenaikan sebanyak 4,05 juta orang atau 2,2%.

Pada dasarnya, perhitungan kemiskinan ini memang sangat bergantung dari standar atau garis kemiskinan yang digunakan. Dengan demikian tentunya semakin besar garis kemiskinan yang digunakan, maka jumlah penduduk miskin juga akan bertambah.

Selama Februari 2005 hingga Maret 2006, Garis Kemiskinan naik sebesar 18,39%. Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan.

Meningkatnya peranan GKM terhadap GK ini sebagian besar akibat naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95% selama periode Februari 2005-Maret 2006.

Selain itu, BPS juga menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Melalui pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan. Dengan demikian, kemampuan pemenuhan makanan tidak lagi sekedar diukur dari besaran pengeluaran. Karenanya sebagai salah satu kebutuhan dasar, maka akses terhadap beras menjadi salah satu faktor yang penting dalam soal kemiskinan ini.

Sumber data BPS yang sama juga menyebutkan bahwa pada bulan Maret 2006, persentase pengeluaran beras terhadap total pengeluaran sebulan untuk penduduk miskin sebesar 23,10%. Bahkan untuk daerah pedesaan persentase ini bisa mencapai 26,08%.

Secara umum untuk wilayah pedesaan, sumbangan pengeluaran beras terhadap Garis Kemiskinan mencapai 34,91%. Sedangkan untuk daerah perkotaan sebesar 25,98%. Dengan demikian, tentunya dengan kata lain kenaikan harga beras akan berpengaruh besar kepada penduduk miskin.

Dalam perkembangannya hingga saat ini, data kemiskinan terakhir yang dirilis oleh BPS pada Juli 2007 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) sampai dengan bulan Maret 2007 mencapai 37,17 juta atau 16,58% dari total penduduk Indonesia.

Selama periode Maret 2006-Maret 2007, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,20 juta. Di daerah perkotaan berkurang 0,93 juta orang. Selama kurun waktu setahun terakhir tersebut itu pula, persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2007, sekitar 63,52% penduduk miskin berada di daerah perdesaan.

Dari sisi garis kemiskinan, selama Maret 2006-Maret 2007, Garis Kemiskinan naik sebesar 9,67% yaitu dari Rp 151.997 per kapita per bulan pada Maret 2006 menjadi Rp 166.697 per kapita per bulan untuk Maret 2007.

Dilihat dari komponennya, menunjukan bahwa peranan komoditi masih makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan. Sampai dengan bulan Maret 2007, peranan komponen makanan secara umum sebesar 74,38%. Sedangkan non makanan sebesar 6,04% untuk daerah perdesaan dan 7,82% di perkotaan.

Khusus komoditas beras, sampai dengan bulan Maret 2007, sumbangan pengeluaran beras pada kelompok masyarakat miskin terhadap Garis Kemiskinan sebesar 28,64% di daerah perdesaan dan 18,56% di perkotaan.

Efektivitas Raskin

Berangkat dari data tersebut di atas, maka ketepatan penyaluran raskin menjadi aspek yang sangat penting untuk dicermati. Sebuah laporan penelitian tentang “Efektivitas Pelaksanaan Raskin” yang dipublikasikan oleh Lembaga SMERU pada Februari 2008 menunjukan bahwa masih banyak kelemahan yang terjadi dalam pelakasaan Raskin.

Pada tahap sosialisasi, pelaksanaannya yang mengandalkan penyebaran informasi informal dari aparat desa atau kelurahan dan petugas pembagi merupakan salah satu titik lemah program tersebut. Beberapa kalangan masyarakat dan penerima manfaat bahkan tidak memperoleh informasi program secara menyeluruh. Meski itu bersifat umum, seperti arti Raskin, besaran jatah beras yang seharusnya diterima, harga beras di titik distribusi, serta frekuensi penerimaan per tahun.

Munculnya persoalan ini tentunya menjadi salah satu pemicu mengapa di beberapa daerah kemudian terjadi kekacauan dalam pelaksanaannya. Seperti penyalurannya yang tidak sasaran, kesalahan persepsi aparat pemda bahwa Program Raskin adalah program Pemerintah Pusat sehingga memengaruhi keseriusan mereka dalam mendukung pelaksanaan program hingga berbagai bentuk praktek korupsi.

Laporan SMERU tersebut juga menunjukan bahwa kekacauan dalam pelaksanaan Raskin dapat terlihat dari masih banyaknya rumah tangga miskin tang tidak menerima beras Raskin dan sebaliknya, juga tidak sedikit rumah tangga tidak miskin yang justru menerimanya.

Selain itu, ketepatan target yang bervariasi. Di Sumatra Barat, penargetan relatif tepat. Di wilayah ini, penetapan target menggunakan data BPS dengan melakukan sedikit penyesuaian karena data dinilai kurang akurat.

Di Jawa Timur, penargetan kurang tepat karena beras dibagikan secara merata kepada semua rumah tangga sehingga baik rumah tangga miskin maupun tidak miskin dapat menjadi penerima. Sementara itu, di Sulawesi Tenggara, penargetan ada yang tidak tepat karena dibagi rata atau digilir, dan ada yang tepat karena pagunya hanya dibagikan kepada rumah tangga miskin saja.

Begitu pula dengan alokasi beras untuk setiap rumah tangga mengalami beberapa kali perubahan. Laporan ini meyebutkan bahwa ketika alokasi beras ditetapkan 20 kg, jumlah beras yang diterima oleh rumah tangga penerima bervariasi dan umumnya kurang dari alokasi yang seharusnya, bahkan ada yang hanya 2 liter. Selain itu penerima manfaat tidak selalu menerima beras Raskin setiap bulan, bahkan ada yang hanya satu kali setahun.

Jika ditinjau dari sisi harganya, laporan tersebut juga membuktikan bahwa penerima manfaat membayar harga yang bervariasi dengan kisaran antara Rp1.000 dan Rp2.900 per kg. Harga yang bervariasi antardaerah tersebut pada umumnya karena adanya perbedaan biaya transportasi dari titik distribusi dan kebijakan masing-masing pelaksana lokal. Sebagai contoh, di Sumatra Barat harga beras Raskin per kg adalah Rp1.200–Rp1.300. Sedangkan di Jawa Timur Rp1.000, serta di Sulawesi Tenggara Rp 1.000–Rp1.440.

Sebagai salah satu program yang didanai oleh APBN dan ditambah dengan APBD, secara umum program Raskin masih sangat tidak efisien dan efektif. Laporan yang sama juga menyebutkan bahwa berbagia persoalan seperti adanya kebocoran pada rumah tangga yang tidak berhak, terlalu besarnya biaya operasional hingga selisih harga pengadaan harga jual beras Bulog yang terlalu besar.

Dalam soal praktek korupsi, laporan SMERU juga telah membuktikan bahwa program Raskin memang telah menjadi sumber ‘pendapatan’ baru. Hal ini ditunjukan dari adanya pemberiaan honor terhadap pejabat lokal. Sebagai contoh hal tersebut terjadi di subdivre Bojonegoro yang memberikan honor kepada pejabat lokal Rp 2.060.000 per bulan atau Rp 24.720.000 per tahun. Dana APBD untuk Program Raskin di Kabupaten Agam juga digunakan untuk honor petugas pelaksana di tingkat kecamatan.

Bentuk lain dari koupsi tersebut terjadi di Sumatra Barat. Penerima Raskin dikenakan biaya transportasi Rp200–Rp300 per kg. Padahal biaya angkut riil hanya Rp44–Rp125 per kg. Kelebihan ongkos angkut tersebut kemudian menjadi “hak” petugas pembagi beserta unsur terkait lainnya di tingkat desa.

Belajar dari berbagai kenyataan dan fakta tersebut, tentunya menjadi penting bagi pemerintah untuk lebih mempersiapkan berbagai sarana dan prasarana agar pelaksanaan Raskin dapat berjalan lebih efektif. Program Raskin sendiri dilihat sebagai sebuah kebijakan publik memang sangat rentan terhadap berbagai persoalan dan lebih bersifat jangka pendek.

Padahal dengan jumlah penduduk miskin yang lebih banyak di pedesaan, tentunya pemberdayaan sektor pertanian sebagai bagian utama dari program pengentasan kemiskinan tentu akan lebih baik ketimbang sekedar menyediakan beras dengan harga murah. Dengan demikian, selain bisa memenuhi kebutuhan pokok, ketimpangan pembangunan desa-kota akan bisa dikurangi. (Nugroho Pratomo/Peneliti INRISE & Litbang Media Group)

Senin, 19 Mei 2008

MENUJU PERTUMBUHAN EKONOMI YANG LEBIH BERKUALITAS


Analisis Media Indonesia Senin 19 Mei 2008

Dalam Media Indonesia (16/5) disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh Indonesia saat ini mengindikasikan tidak adanya peningkatan kualitas terutama dari aspek manusianya. Hal ini ditunjukan dari besarnya pekerja sektor informal. Berdasarkan data laporan statistik ketenagakerjaan BPS menunjukan bahwa 69% tenaga kerja yang saat ini terserap bekerja di sektor informal.

Rendahnya penyerapan tenaga kerja di sektor formal secara umum tentunya cukup menghawatirkan. Sebab itu berarti bahwa penambahan lapangan kerja yang tersedia saat ini masih belum cukup untuk menutupi jumlah angkatan kerja yang terus bertambah. Berdasarkan laporan BPS tersebut, hingga Februari 2008, dibandingkan Agustus 2007 angkatan kerja baru bertambah 1,54 juta orang.

Laporan BPS

Pertama tentunya adalah adalah soal pertumbuhan secara keseluruhan. PDB Indonesia pada triwulan I tahun 2008 dibandingkan triwulan yang sama tahun 2007 (y-on-y) mengalami pertumbuhan sebesar 6,3%. Sementara, pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulanan hingga triwulan I 2008 dibandingkan triwulan IV 2007mengalami peningkatan sebesar 2,1% (q-to-q). Pertumbuhan ini terjadi pada sektor pertanian; keuangan, real estat, dan jasa perusahaan; listrik,gas, dan air bersih; pengangkutan dan komunikasi; dan sektor jasa-jasa.

Satu hal yang menjadi catatan dalam laporan BPS kali ini adalah pertumbuhan tertinggi dihasilkan oleh sektor pertanian, yaitu sebesar 18,0%. Hal ini pada dasarnya tidak terlepas dari masa panen raya tanaman padi yang biasanya terjadi pada triwulan I 2008.

Secara rinci, kenaikan sektor pertanian ini disebabkan oleh subsektor tanaman bahan makanan sebesar 62,4% dan subsektor peternakan sebesar 0,6%. Subsektor lainnya mengalami penurunan masing-masing sebesar minus 28,8% untuk subsektor tanaman perkebunan, minus 15,7% untuk subsektor kehutanan dan minus 8,0% untuk subsektor perikanan.

Bila dilihat dari pola panen padi selama ini, puncak panen raya dalam tiga tahun terakhir terjadi pada bulan Maret-April. Dalam laporan BPS yang dikeluarkan pada 3 maret 2008 mengenai angka ramalan produksi padi 2008, menyebutkan bahwa, produksi padi tahun 2008 diperkirakan sebesar 58,27 juta ton GKG. Dibandingkan produksi tahun 2007 (ASEM).

Besaran kenaikannya mencapai 1,22 juta ton atau 2,13%. Kenaikan produksi tersebut terjadi karena naiknya luas panen seluas 174,56 ribu hektar atau sekitar 1,44% serta produktivitas sebesar 0,33 kuintal per hektar atau 0,70%.

Laporan yang sama juga menyebutkan bahwa kenaikan produksi padi sebanyak 1,22 juta ton tersebut diperkirakan terjadi pada subround Januari-April yang mencapai 3,40 juta ton atau naik sebesar 15,22%. Selanjutnya pada subround Mei sampai Agustus dan subround September hingga Desember, produksi padi diperkirakan mengalami penurunan masing-masing sebesar 1,33 juta ton atau 6,02% dan 0,85 juta ton (6,71%) dibandingkan dengan produksi pada subround yang sama tahun tahun 2007 (year on year).

Jika dilihat struktur peranan sektoral secara keseluruhan, maka perekonomian Indonesia sampai triwulan I 2008 memperlihatkan bahwa, sektor ekonomi yang memiliki peranan terbesar adalah sektor industri pengolahan yaitu sebesar 27,1%. Beberapa sektor lainnya seperti sektor perdagangan-hotel-restoran peranannya sebesar 15,1%, pertambangan-penggalian 10,9%. Pada sektor jasa-jasa sebesar 9,7% sementara peranan sektor pertanian sebesar 14,6%.

Secara keseluruhan kelima sektor tersebut mempunyai andil peranan sebesar 77,4% dalam PDB. Sedangkan empat sektor lainnya mempunyai andil masing-masing kurang dari 8%. Sementara itu peranan seluruh sektor ekonomi tanpa migas pada triwulan I tahun 2008 sebesar 89,2%.

Apabila dilihat dari sisi penggunaan atau permintaan, laporan BPS kali ini menunjukan bahwa untuk pengeluaran konsumsi rumah tangga riil mengalami penurunan sebesar minus 0,4%dibandingkan dengan triwulan IV/2007. Penurunan pengeluaran konsumsi rumah tangga tersebut terjadi pada komoditas bukan makanan sebesar minus 0,90%.

Pada komponen Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang sekaligus menunjukan tingkat investasi yang ada menunjukan bahwa, atas dasar harga konstan terjadi penurunan sebesar 0,6% dibandingkan dengan triwulan IV tahun 2007.

Pengangguran

Terkait dengan soal kualitas pembangunan dalam hal ini soal ketenagakerjaan, pertanyaan selanjutnya tentunya adalah bagaimana kaitan pertumbuhan ekonomi yang terjadi bisa menurunkan secara signifikan tingkat pengangguran?

Grafik tingkat pertumbuhan dan pengangguran yang ditampilkan pada analisis kali ini memperlihatkan bahwa pada masa puncak pertumbuhan ekonomi di tahun 1995, tingkat penganggurannya bahkan lebih tinggi dibandingkan pada masa krisis ditahun 1998 dimana tingkat pertumbuhan mencapai minus 13%. Data seperti ini tentu harus dilihat dan dicermati secara lebih hati-hati. Jika tidak maka data seperti ini tentu bisa saja menyesatkan.

Mencermati hubungan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran, selama ini persoalan pengangguran lebih banyak dilihat dari kurangnya lapangan kerja yang tersedia. Kerenanya, dengan cara pandang seperti ini adalah tidak salah apabila kemudian peningkatan investasi dilihat sebagai salah satu solusi yang harus dilakukan. Melihat berbagai kebijakannya, nampaknya hal seperti inilah yang juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia saat ini.

Tapi lebih lanjut lagi apabila kemudian hal ini dikaitkan dengan persoalan akses, maka argumentasi bahwa pengangguran bisa diselesaikan dengan hanya meningkatkan investasi rasanya menjadi perlu untuk dipertanyakan lagi. Pada kenyataanya, salah satu pertimbangan investasi terutama di bidang industri adalah soal peningkatan produktivitas.

Dalam hal ini salah satunya tentu adalah produktivitas atas tenaga kerja yang digunakan. Krisis ekonomi Asia di akhir dekade 1990an sendiri sebenarnya telah menunjukan kepada kita bagaimana produktivitas begitu penting dalam kaitannya dengan daya saing. Sebab pada dasarnya produktivitas adalah dasar dari daya saing itu sendiri.

Mencermati soal produktivitas ini, analisis ini akan berangkat dari apa yang menjadi argumentasi Michael E Porter. Bagi Porter(2006), saat ini keunggulan kompetitif menjadi hal yang sangat penting ketimbang keunggulan komparatif. Jika hal ini diterapkan pada industri, maka masalahnya sekarang adalah bagaimana perusahaan-perusahan tersebut dapat bekerja secara lebih produktif serta efisien. Sehingga diharapkan produk-produk yang dihasilkannya mampu berkompetisi di pasar global.

Dalam konteks inilah pengembangan berbagai jenis teknologi modern menjadi sangat diperlukan. Pada perkembangannya ternyata hal seperti ini berlaku tidak hanya pada sektor industri. Namun lebih dari itu, berbagai sektor lain termasuk pertanian yang sangat mengandalkan tenaga kerja pada akhirnya akan menuntut hal serupa.

Munculnya berbagai tuntutan kemampuan atau spesialisasi seperti inilah yang menyebabkan tidak semua orang memiliki akses yang sama pada setiap jenis pekerjaan. Satu-satunya cara untuk bisa memperluas akses tersebut tersebut tentunya adalah dengan meningkatkan kemampuan atas setiap individu melalui pendidikan yang benar-benar mampu menciptakan sebuah pola pikir mendorong tingkat produktivitas dan keunggulan kompetitif dari masing-masing individu.

Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar terutama di bidang pendidikan menjadi sangat penting dalam mengurangi tingkat pengangguran. Sebab -apalagi jika hendak dihubungkan dengan proses transformasi struktural-, maka kebutuhan peningkatan produktivitas di sektor industri pada akhirnya memerlukan kesimbangan antara perkembangan teknologi dengan kemampuan sumber daya manusia yang ada.

Dengan kondisi anggaran yang sangat terbatas seperti saat ini terjadi, tentunya alokasi anggaran menjadi faktor kunci yang harus menjadi perhatian. Pemberian subsidi secara tidak terarah untuk sektor-sektor di luar kebutuhan dasar jelas seperti BBM adalah sebuah kesalahan besar dalam sebuah program pembangunan manusia. Sebaliknya, dengan melakukan efisiensi anggaran, pemerintah bisa menghindari dari apa yang oleh Sach disebut dengan jebakan fiskal (fiscal trap).

Pada dasarnya hal ini adalah salah satu aspek yang seringkali menjadi penyebab kegagalan pemerintah untuk bisa meningkatkan pelayanan barang dan jasa publik, terutama yang terkait dengan kebutuhan dasar. Jika saat ini pemerintah juga tengah disibukkan dengan berbagai subsidi pangan terutama bagi kalangan masyarakat miskin, maka sudah seharusnya pula pemerintah tidak terjebak pada persoalan kebijakan jangka pendek. Sebaliknya, perencanaan pembangunan jangka panjang untuk mendorong partisipasi angkatan kerja (TPAK) melalui perluasan akses terhadap pengelolaan sumber-sumber ekonomi bagi setiap kalangan adalah salah satu cara untuk bisa meningkatkan kualitas pembangunan ekonomi.

Sebab pada intinya, dalam soal pembangunan ekonomi tingginya tingkat pengangguran tentu menjadi hal yang tidak terpisahkan dari soal kemiskinan. Saat ini kemiskinan tidak bisa lagi dilihat dari kemiskinan material semata. Kegagalan atau yang oleh Amartya Sen dalam Development As Freedom (1999) disebut dengan ketidakbebasan untuk mendapatkan berbagai hak dasar, adalah bukti dari kegagalan sebuah pembangunan.

Esensi pembangunan yang sesungguhnya adalah bagaimana menciptakan sebuah mekanisme yang ada akhirnya mampu menjamin setiap individu untuk memiliki akses terhadap berbagai aspek dasar. Termasuk salah satunya adalah akses terhadap pekerjaan yang layak. (Nugroho Pratomo/ Peneliti IRISE dan Litbang Media Group)

Senin, 12 Mei 2008

ANCAMAN INFLASI : MAHALNYA HARGA SEBUAH INKONSISTENSI KEBIJAKAN



Analisis Media Indonesia 12 Mei 2008

Dapat dipastikan bahwa harga bahan bakar minyak (BBM) tidak lama lagi akan naik. Berbagai perdebatan seperti biasa tentu kembali muncul menyikapi kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah. Ditengah tingginya harga minyak mentah dan bahan pangan dunia, serta semakin rendahnya produksi minyak mentah Indonesia langkah penyelamatan APBN merupakan sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan jika ingin melihat negeri ini tetap ada.

Tapi di tengah kondisi yang semakin sulit ini, segala sesuatunya dilakukan tentu dengan membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan yang pasti dirasakan oleh semua masyarakat terutama bagi kalangan miskin adalah ancaman semakin tingginya harga bahan-bahan kebutuhan pokok, terutama bahan makanan.

Berbagai pilihan program sebagai langkah antisipasi memang tengah dipersiapkan oleh pemerintah. Mulai dari bantuan langsung tunai (BLT), cash for work, pemberian beras untuk keluarga miskin (Raskin) hingga pemberian berbagai subsidi bagi minyak goreng. Begitu pula dengan kelanjutan program bantuan operasional sekolah (BOS) yang diharapkan akan bisa sedikit mambantu beban biaya pendidikan bagi keluarga tidak mampu.

Menyambut berbagai kebijakan tersebut dan berbagai dampak yang ditimbulkan, maka dalam analisis kali ini akan mencoba kembali melihat apa yang pernah terjadi sejak tahun 2001 terkait dengan kebijakan yang menyangkut kenaikan harga BBM.



Subsidi

Dalam perjalanan negeri ini semenjak tahun 2001 hingga 2008, tercatat bahwa harga BBM telah mengalami kenaikan beberapa kali. Selama itu pula, tingkat inflasi terus mengalami fluktuasi. Kenaikan di tahun 2001 diberlakukan mulai tanggal 15 Juni. Ketika itu pemerintah akhirnya memutuskan harga segala jenis bahan bakar minyak (BBM) naik 30%dan tarif dasar listrik (TDL) naik 20%. Selain itu, pemerintah juga menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 12,5% yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2001.

Kebijakan ini terkait dengan revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN P) 2001 yang menetapkan nilai tukar rupiah Rp 9.600 per dolar AS, suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) 15%, dan indeks harga konsumen (inflasi) 9,3%. Defisit APBN 2001 mencapai 6% dari PDB. Dengan kenaikan tersebut, subsidi BBM pada tahun anggaran bisa ditekan menjadi Rp 62,7 trilyun Tanpa adanya kenaikan harga BBM ini, akibat kenaikan kurs subsidi BBM yang ditargetkan Rp 54 triliyun membengkak menjadi Rp 66 trilyun.

Memasuki tahun 2002, pada bulan Januari pemerintah kembali menaikan harga BBM. Ketika itu pemerintah menerapkan sebuah model kenaikan harga yang agak berbeda. Sebuah model kenaikan harga BBM yang diberlakukan secara bertahap.

Kenaikan pertama berlaku sejak 17 Januari 2002 dan kenaikan kedua mulai 1 Maret 2002. Pada kenaikan tahap pertama harga premium naik 6,9% dari Rp 1.450 jadi Rp 1.550 per liter. Sedangkan untuk minyak tanah, harga jual untuk konsumsi rakyat miskin dan industri rumah tangga Rp 600 per liter.

Selanjutnya penetapan harga BBM untuk bulan Maret akan ditentukan berdasar Mid Oil Platt Singapore (MOPS). Pemerintah kemudian juga menetapkan batas harga terendah dan tertinggi. Dengan demikian harga BBM lebih bersifat flaksibel. Sebab secara teknis harga BBM sewaktu-waktu bisa naik dan juga dapat turun. Kebijakan ini berlaku setiap bulan setelah 1 Maret 2002.

Tingkat fluktuasi atau naik-turunnya harga didasarkan rata-rata harga pasar bulan sebelumnya. Dengan harga baru BBM seperti ini, pemerintah memiliki peluang penghematan subsidi sebesar Rp 11,5 triliun dalam APBN 2002. Sebab tanpa adanya pengurangan kenaikan tersebut beban subsidi yang harus ditanggung mencapai Rp 41,9 triliun. Sebagai hasil nyata atas kebijakan tersebut, besaran subsidi BBM dalam anggaran 2002 dapat turun 54% dibandingkan anggaran tahun sebelumnya.

Kebijakan seperti ini terus berlangsung di tahun 2003. Pada realisasi APBN 2003, beban subsidi BBM pada anggaran tinggal sebesar Rp 24 triliyun. Dalam APBN 2004 yang telah disetujui DPR sebelumnya besaran subsidi BBM kembali diturunkan menjadi Rp 14,53 triliyun.

Menjelang pengumuman hasil pemilu presiden pada tanggal 5 Oktober 2004, harga minyak mentah dunia terus menunjukan tren peningkatan. Sebagai sebuah pemerintahan baru, tentu situasi seperti ini menjadi sangat tidak menguntungkan. Sebab hal tersebut mau tidak mau akan memaksa pemerintah unutk menaikan harga jual BBM dalam negeri. Kenaikan ini sendiri sebenarnya sangat terkait pada penurunan kemampuan produksi minyak mentah serta peningkatan konsumsi domestik.

Namun di sinilah sebenarnya inkonsistensi kebijakan penurunan secara bertahap subsidi BBM sebenarnya mulai terlihat, yaitu pada revisi APBNP 2004. Jumlah subsidi kembali melonjak menjadi Rp 59,2 triliyun. Karenanya tidak dapat dihindarkan jika dalam APBN selanjutnya beban tersebut terus naik. Pada APBN-P 2006, besarnya subsidi BBM yang harus ditanggung mencapai Rp 62,7 triliun.

Dengan jumlah tersebut, maka besaran defisit yang harus ditanggung mencapai Rp 37,6 triliun atau minus 1,2% dari PDB. Meski lebih kecil dibandingkan jumlah subsidi yang dialokasikan dalam APBN-P kedua 2005 yang mencapai Rp 89,2 triliun, namun besarnya defisit yang harus ditanggung justru membengkak dari yang sebelumnya hanya sebesar Rp 25 triliun atau minus 0,9% dari PDB.

Soal inflasi

Seperti telah banyak diperkirakan sebelumnya, kebijakan pemerintah untuk menaikan harga jual BBM dalam negeri telah memicu kenaikan tingkat inflasi. Lonjakan inflasi tertinggi terjadi ketika pemerintah menaikan harga BBM pada Oktober 2005. Tingkat inflasi untuk bulan Oktober 2005 melonjak hingga hampir mencapai 18%. Inflasi tersebut memang merupakan rekor tertinggi yang terjadi selama 2 tahun terakhir.

Secara politis kondisi ini jelas mengakibatkan dampak yang besar kepercayaan masyarakat tehadap pemerintahan saat ini. Karenanya, keputusan untuk melakukan resuffle dipandang sebagai sebuah kebijakan yang dalam jangka pendek mampu meredam kekecewaan yang muncul.

Meski demikian, dalam jangka panjang dampak dari lonjakan inflasi tersebut juga berkembang sebagai sebuah masalah yang cukup serius. Harapan untuk terjadinya deflasi pada bulan Desember ternyata tidak terbukti.

Jika dicermati lagi ke belakang, sebenarnya ketika memasuki tahun 2004, kondisi ekonomi makro terus menunjukan ke arah perbaikan. Berdasarkan data BPS, inflasi year on year selama bulan Januari dan Februari terus menunjukan penurunan sebelum kembali naik menjelang pelaksanaan pemilu legislatif. Pada bulan Januari 2004 inflasi year on year mencapai 4,82 % kemudian turun menjadi 4,6 % di bulan Februari 2004.

Ketika masa kampanye pada bulan Maret 2004 inflasi year on year melonjak menjadi 5,11 % dan terus naik hingga menjelang pemilu presiden putaran pertama. Meski demikian kenaikan tingkat inflasi pada periode ini adalah sesuatu yang wajar, mengingat adanya kenaikan kebutuhan selama masa kampanye. Lonjakan inflasi bahkan lebih nampak dari data inflasi bulanan untuk April 2004 yang naik menjadi 0,97% dari bulan Maret 2004 yang hanya sebesar 0,36 %.

Berangkat dari berbagai pengalaman sebelumnya, maka yang kini penting untuk terus dipikirkan adalah skema bantuan yang akan ditujukan bagi kelompok miskin akibat kenaikan harga BBM. Salah satunya adalah program bantuan langsung tunai (BLT).

Sebuah hasil kajian cepat yang dilakukan oleh lembaga SMERU di Jakarta tahun 2006 menunjukan bahwa selama program dilaksanakan masih ditemukan beberapa persoalan terutama yang menyangkut pemerataan penerimaan. Sebab masih ada beberapa keluarga miskin yang tidak mendapatkan BLT.

Padahal mereka telah didata atau selama ini termasuk keluarga/rumah tangga miskin dalam program penanggulangan kemiskinan lainnya, seperti Program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin). Akibatnya banyak dari mereka yang kemudian datang ke berbagai lembaga, mulai dari ketua RT/RW, kantor kelurahan, kecamatan, kotamadya, hingga BPS untuk menanyakan hal tersebut.

Hal tersebut tidak terlepas dari proses pendataan yang masih kacau. Studi ini menunjukan bahwa ada indikasi bahwa tidak semua prosedur pendataan tersebut diikuti. Petugas BPS tidak melaksanakan verifikasi kasat mata secara menyeluruh, melainkan hanya beberapa keluarga/rumah tangga saja. Terdapat pencacah yang tidak menghubungi ketua RT untuk membuat daftar keluarga/rumah tangga miskin awal dan ada juga pencacah yang meminta orang lain melakukan tugasnya.

Pengisian formulir PSE05.RT secara langsung dari rumah ke rumah hanya dilakukan terhadap sebagian kecil rumah tangga. Begitu pula dengan pertanyaan yang diajukan kepada keluarga/rumah tangga juga tidak lengkap. Kebanyakan hanya dua hingga tiga variabel pertanyaan, seperti pekerjaan, status kepemilikan rumah, dan banyaknya anak yang sekolah. Hal ini menguatkan adanya indikasi bahwa BPS telah menetapkan “kuota jumlah penerima” untuk setiap wilayah hingga tingkat RT sebelum pendataan dilaksanakan.

Dalam soal penggunaannya, ketiadaan ketentuan yang mengatur penggunaan dana SLT menyebabkan banyak penerima bantuan menggunakan dana yang didapatkan untuk keperluan yang bersifat konsuntif. Misalnya saja untuk membeli beras dan minyak tanah, membayar listrik dan biaya kontrak rumah, serta melunasi utang.

Selain itu, ada juga yang digunakan untuk membayar biaya kesehatan dan sekolah. Maski demikian hanya sedikit yang memanfaatkan dananya sebagai modal usaha. Karenanya ketika dilakukan penelitian, banyak dari dana tersebut yang telah habis digunakan.

Karenanya, menghadapi rencana kenaikan harga BBM pada akhir Mei ini, maka adalah penting untuk mengevaluasi dan memikirkan kebijakan seperti apa yang tepat agar bisa mengurangi beban ekonomi keluarga miskin yang saat sudah dihadapkan pada mahalnya harga makanan. Sebab bagaimanapun juga, inilah harga sebuah inkonsistensi kebijakan penurunan subsidi BBM yang harus ditanggung pada sebuah kondisi dan situasi pangan global yang juga tidak menguntungkan. Tapi bagaimanapun hal ini harus terus dilakukan. Sebab jika tidak itu sama artinya dengan menumpuk buah inkonsistensi yang akan selalu siap rubuh sewaktu-waktu menimpa ekonomi Indonesia di kemudian hari.

(Nugroho Pratomo/ Peneliti INRISE & Litbang Media Group)



Minggu, 04 Mei 2008

SUBSIDI BBM : ‘AKAR KEJAHATAN’ KESULITAN EKONOMI

Analisis Media Indonesia: 5 Mei 2008

Sebagaimana pernah disampaikan dalam Media Indonesia Online (10/4) lalu, pemerintah pada awalnya berencana untuk menaikan harga BBM setelah pelaksanaan program smart card dinilai tidak efektif untuk bisa mengurangi konsumsi BBM. Seiring dengan perjalanan waktu, pergerakan harga minyak mentah terus mengalami kenaikan.

Sampai dengan Jumat 2 Mei 2008, posisi harga minyak mentah telah mencapai $116 per barrel. Harga ini diperkirakan akan terus naik hingga mencapai $120 per barrel di akhir minggu kedua Mei 2008.

Kondisi seperti ini jelas menjadi sebuah dilematis bagi pemerintah. Sebab kenaikan harga BBM, dapat dipastikan akan membawa dampak pada lonjakan kenaikan harga, terutama harga-harga kebutuhan pokok. Sementara, tanpa ada kenaikan harga BBM, saat ini inflasi terus terjadi terutama dalam soal bahan makanan.

Situasi ketidakjelasan seperti ini tentu harus segera diselesaikan. Meski disadari bahwa kebijakan tersebut merupakan keputusan yang sangat tidak populer menjelang pemilu tahun depan.

Sebenarnya target penghapusan subsidi BBM sudah direncanakan harus dilakukan mulai 2009, namun hal itu sebelumnya tentu berdasarkan asumsi-asumsi tertentu seperti harga minyak dunia masih US$60. Sehingga dengan pelaksanaan kenaikan yang dilakukan dengan bertahap tidak menimbulkan gejolak dan di sisi lain juga tidak mengganggu APBN. Namun harga minyak dunia terus meroket mengakibatkan subsidi BBM terus membengkak dan mau tidak mau jadwal pengurangan subsidi pun bisa di luar rencana dan dipercepat.

Dalam APBN Perubahan 2008, besaran subsidi yang diberikan ke pada Pertamina mencapai Rp 126,82 trilyun. Jumlah ini merupakan yang terbesar melebihi besaran subsidi untuk sektor non energi yang hanya sebesar Rp 47,3 trilyun.

Dari sisi produksi, besaran lifting juga telah revisi menjadi hanya sebesar 927 ribu barrel per hari, dari sebelumnya 1,034 juta barel. Berdasarkan data dari Departemen ESDM pada tahun 2007 produksi minyak mentah Indonesia sebesar 347,5 juta barrel dengan total konsumsi minyak mentah Indonesia sebesar 321 juta barel .

Masalah subsidi

Sebagai langkah awal, pemerintah sebelumnya bermaksud untuk mengurangi beban subsidi premium dengan membuat aturan baru. Dengan demikian orang-orang yang diperbolehkan membeli bensin bersubdisi tersebut hanya kendaraan umum, sepeda motor dan kendaraan dinas. Sedangkan pengguna mobil pribadi harus membeli bensin beroktan lebih tinggi yang berarti lebih mahal per liternya.

Pembatasan premium bersubsidi akan diterapkan di seluruh Indonesia. Mulai 1 Januari 2008, sejumlah SPBU di kawasan elite Jakarta dan di ruas tol Jabodetabek mulai mengalihkan premium oktan 88 ke premium oktan 90 ([Media Indonesia], 8/12).

Pada 1 Januari 2008, di Jakarta ada 260 SPBU yang berpotensi mengalihkan premium oktan 88 ke premium oktan 90, dengan 30 di antaranya berada di kawasan perumahan elite. Selain itu, terdapat 21 SPBU di ruas tol Jabodetabek.

Adapun pengalihan premium pada SPBU-SPBU di Batam, Bali, dan Banten dilakukan Maret 2008. Pada 2009, target pengalihan berlanjut di seluruh wilayah Surabaya dan Semarang dengan volume 4 juta kl. Pada 2010, pengalihan dilaksanakan di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi dengan volume 7 juta kl.

Sebuah survei yang pernah dilakukan oleh Litbang Media group pada 6 Desember 2007 tentang kebijakan kenaikan terbatas harga BBM pada mobil pribadi menanyakan besaran harga rupiah harga per liter yang dinilai masih terjangkau sesuai kemampuan mereka.

Survei dilakukan dengan wawancara terstruktur dengan kuesioner melalui pesawat telepon kepada masyarakat di enam kota besar di Indonesia. Kota-kota tersebut meliputi Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan Medan.

Survei ini mencakup 480 responden dewasa yang dipilih secara acak dari buku petunjuk telepon residensial di kota-kota tersebut. Hasil survei tidak dimaksudkan mewakili pendapat seluruh masyarakat Indonesia, namun hanya masyarakat pengguna telepon residensial di kota-kota tersebut. Margin of error survei ini plus minus 4,6% pada tingkat kepercayaan 95%.

Dari keseluruhan responden tersebut tercatat bahwa 53% diantaranya menggunakan mobil pribadi. Hasil survei tadi menunjukkan, publik yang diwakili oleh responden survei ini umumnya keberatan jika mereka tidak ikut mendapatkan bensin bersubsidi. Jika mereka harus membeli bensin dengan harga yang lebih tinggi, maksimal harga yang masih terjangkau bagi mereka sebesar 5090 rupiah per liter atau naik sebesar 13% dari harga saat ini yaitu Rp 4500.

Hasil lain yang menarik untuk dicermati lagi dari hasil survei ini adalah adanya sikap pesimis dari sebagian besar responden, bahwa program pembatasan pembelian tersebut akan menimbulkan persoalan penyelewengan. Hasil survei menunjukkan, mayoritas publik 76% merasa tidak yakin kebijakan tersebut bebas dari penyimpangan.

Rendahnya kredibilitas petugas di tingkat implementasi memang merupakan masalah klasik pemerintahan manapun di negeri ini yang belum terselesaikan hingga saat ini. Bisa jadi nanti supir-supir kendaraan umum kerjanya hanya membeli premium dengan harga subsidi dan menjualnya kepada kendaraan pribadi dengan harga di bawah harga non-subsidi.

Berangkat dari hasil seperti ini tentunya adanya rencana program smart card menjadi persoalan yang perlu dipertimbangkan secara lebih matang. Sebab dengan ‘kecerdikan’ orang-orang Indonesia, bukan tidak mungkin penyelewengan tetap menjadi masalah yang terus membayangi setiap kebijakan pengurangan subsidi BBM.

‘Kecerdikan’ seperti ini tentu bukannya muncul tiba-tiba. Karena setelah lebih dari 32 tahun pelaksanaan subsidi BBM ternyata sudah lebih dari cukup membuat masyarakat terbuai dalam kenyamanan yang tidak perlu. Sebagai sebuah kebijakan yang dulu sebenarnya bersifat jangka pendek guna mengendalikan inflasi tinggi di awal Orde Baru terus berlanjut karena pertimbangan populis untuk melanggengkan kekuasaan.

Akibatnya, konsumsi BBM menjadi boros, seakan-akan minyak adalah sumber energi yang tidak pernah habis. Jadi sangat jelas bahwa dikala harga pangan yang juga mahal, pada dasarnya kebijakan subsidi BBM kian terbukti sebagai ‘akar kejahatan’ atas berbagai kesulitan ekonomi yang terus melilit.

Ekspor Minyak

Menyikapi kebijakan subsidi BBM yang besar selama Orde Baru memang bukannya tanpa alasan. Sebab terjadinya kenaikan harga minyak mentah di era 1970-an, justru telah memberikan pendapatan yang besar bagi negara. Sekitar 60-80% pendapatan negara berasal dari sektor ini.

Dalam realisasi APBN tahun 1972/1973 penerimaan bukan pajak dari sumber daya alam minyak dan gas baru mencapai Rp 257,7 miliar. Pada APBN tahun berikutnya jumlahnya naik menjadi Rp 428,3 miliar. Jumlah tersebut terus meningkat hingga pada tahun anggaran 1981/1982 jumlah penerimaan tersebut hampir mencapai Rp 9 triliun.

Meski sempat turun untuk tahun berikutnya. Namun pada APBN 1983/1984 jumlah penerimaan migas telah mencapai 11,9 triliun, untuk kemudian terus naik. Pada APBN-Perubahan tahun 2004 lalu dengan penerimaan dari sumber daya alam (SDA) sebesar Rp 92,4 triliun, minyak bumi menyumbang sebesar Rp 63,9 triliun atau lebih dari 69%. Pada realisasi APBN-P 2007, pendapatan PPh Migas mencapai Rp 44 trilyun. Dalam APBN P 2008 kali ini diharapkan penerimaan tersebut meningkat menjadi Rp 53,69 trilyun. Sedangkan untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor migas diharapkan sebesar Rp 182,95 trilyun.

Seiring dengan ekspor dan penerimaan tersebut, Indonesia juga terus melakukan impor minyak. Total volume impor minyak mentah Indonesia di tahun 2007 mencapai 110,45 juta barel. Apabila dihitung secara kasar dengan asumsi nilai tukar dalam APBN P 2007 sebesar Rp 9050 per $1, maka nilainya telah mencapai Rp 71.434.684.720.318, 40. Sedangkan nilai ekspornya sebesar Rp 1.150.569.867.600,00

Satu hal yang perlu diingat menjelang rencana kenaikan harga BBM ini adalah kurang lebih sampai 5 tahun ke depan, dunia masih berada pada masa transisi energi. Di tengah perubahan iklim yang akan sangat berpengaruh pada produktivitas produk-produk hasil pertanian dan perkebunan, pengembangan BBN di berbagai belahan dunia akan makin banyak lagi membutuhkan berbagai jenis komoditas tanaman pangan. Terutama yang tergolong di dalam tanaman pangan.

Semenjak Suharto turun bulan Mei 1998, laju inflasi tertinggi terjadi bulan September 1998 yang mencapai 82,4%. Sampai bulan September 1998 indeks harga konsumen (IHK) untuk beras dan makan pokok kenaikannya mencapai 152%.

Sebagai perbandingan, laporan inflasi bulan Oktober 2005 setelah dikeluarkannya kebijakan kenaikan harga BBM oleh pemerintah, pada kelompok bahan makanan kenaikan year on year sebesar 17,98% dan 12,46% untuk kelompok makanan jadi. Karenanya, ditengan ketiadan kebijakan pangan dan pertanian jangka panjang, singkronisasi kebijakan energi, pangan dan ekonomi makro menjadi salah satu langkah awal yang harus dilakukan secara lebih hati-hati lagi. (Nugroho Pratomo & Radi Negara/ Litbang Media Group)

Kamis, 01 Mei 2008

MOBILITAS MODAL SEKTOR TANAMAN PANGAN

(Analisis Media Indonesia 28 April 2008)

Perdebatan soal hubungan antara harga-harga kebutuhan pangan yang semakin mahal dan kedaulatan negara, kini menjadi salah satu masalah yang semakin mengemuka. Seperti telah berulang kali disampaikan dalam berbagai analisis sebelumnya, pengembangan biofuel atau biodiesel merupakan sumber utama mengapa harga sejumlah bahan pangan dunia semakin mahal.

Pada saat yang bersamaan –dan juga tak bisa dipungkiri- bahwa krisis finansial global sebagai derivasi krisis subprime mortage di Amerika Serikat juga memberikan pengaruh terhadap meningkatnya tindakan aksi spekulasi investasi jangka pendek (short term investment) yang saat ini ditengarai tengah mencari keuntungan besar baru yang bersifat jangka pendek dengan mengalihkan modalnya dari pasar finansial ke bursa komoditi.

Bahkan lebih dari itu, para investor jangka pendek tersebut tidak lagi langsung masuk ke bursa komoditas tapi lebih memilih untuk bernain di pasar indeks komoditas (commodity index market). Pasar indeks komoditas memang mengalami pertumbuhan yang pesat sejak tahun 2005-2006 setelah FAO di tahun 2002 melansir adanya ancaman penggunaan besar-besaran komoditas bahan pangan untuk dikonversi sebagai bahan bakar nabati (BBN).

Pada dasarnya kondisi seperti digambarkan tersebut diatas tidak terlalu mengherankan serta relatif bisa diduga sebelumnya. Seiring dengan makin berkembangnya dari apa yang disebut dengan cara produksi (mode of production) fordism menyebabkan posisi tawar pemilik modal menjadi semakin kuat terhadap negara. Sementara pada saat yang bersamaan, posisi negara semakin melemah akibat lemahnya fundamental material (basic material) yang dimiliki oleh negara.

Akibatnya negara menjadi sangat tergantung pada struktur modal yang ada, sementara pemilik modal menjadikan negara sebagai perpanjangan tangan atas proses akumulasi modal yang terjadi. Pada perspektif inilah bukti bahwa negara sebenarnya telah kehilangan otonomi relatifnya.

Konsep teori otonomi relatif mulai banyak dikembangkan setelah Hamza Alavi dalam artikelnya yang berjudul The State in Post Colonial Societies: Pakistan and Bangladesh" yang dimuat dalam jurnal New Left Review (I/74 July/August 1972) menyampaikan argumentasinya bahwa negara pada masyarakat pasca kolonial mempunyai otonomi relatif terhadap kelas-kelas sosial, karena lemahnya serta kurang berkembangnya kelas-kelas sosial tersebut. Selain itu Alavi juga melihat bahwa ada tiga kelas dominan yang lahir di negara-negara pasca kolonial. Ketiga kelas tersebut adalah borjuasi metropolitan, borjuasi lokal dan kelas pemilik tanah. Karena kepentingan ketiga kelas tersebut tidak berbeda, maka negara dapat dengan mudah memediasi segala kepentingan mereka.

Namun demikian satu hal yang harus digaris bawahi dari argumentasi Alavi adalah kemampuan negara sebagai mediator kepentingan tidak terjadi begitu saja. Lebih lanjut Alavi melihat bahwa di dalam negara-negara yang baru merdeka sebenarnya telah terbentuk tatanan sosial masyarakat yang relatif stabil. Ketika negara-negara tersebut masih berada dibawah kekuasaan pemerintahan kolonial, pemerintahan tersebut memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap kelas-kelas sosial lainnya.

Pemerintahan kolonial yang merupakan perpanjangan tangan dari negara induknya, telah berkuasa sedemikian rupa sehingga birokrasi, tatanan hukum hingga tatana masyarakat dipergunakan semaksimal mungkin untuk mendukung proses akumulasi modal. Sehingga tidak memungkinkan organisasi sosial politik yang bertujuan memperkuat kedaulatan rakyat dapat tumbuh.

Berangkat dari argumentasi yang disampaikan Alavi ini, pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimanakah keterkaitannya dengan cara produksi fordism yang dinilai sebagai penyebab melemahnya posisi tawar negara terhadap mobilitas modal global yang sangat pesat terutama dalam kaitannya dengan komoditas bahan pangan dan finansial?

Pertama-tama yang harus dipahami adalah pengertian dari cara produksi fordism. Sebagaimana dijelaskan dengan sangat baik oleh Ankie Hoogvelt (1997, hal ;92) adalah sebuah mekanisme kerja dimana setiap orang mulai terspesialisasi. Mekanisme kerja seperti ini pertama kali dikembangkan oleh Henry Ford di tahun 1908 dalam pabrik mobilnya. Dengan cara kerja yang dinamakan ‘ban berjalan’, maka setiap orang hanya bertanggung jawab pada pada satu bagian dari produk yang tengah dihasilkan. Dengan demikian produk yang dihasilkan bisa dilakukan dengan secara massal dengan biaya yang tentu lebih murah.

Dengan pengertian tersebut, maka kemudian dapat kita lihat bagaimana sekarang ini negara-negara di dunia terutama negara berkembang berlomba untuk bisa menarik investasi asing ke negaranya. Sebagai akibatnya, di satu sisi mobilitas modal menjadi sangat rentan dan peka terhadap berbagai spekulasi yang dinilai bisa mengganggu proses akumulasi modalnya. Di sisi lain, negara-negara tersebut juga semakin rentan terhadap adanya ancaman pelarian modal yang dipastikan akan menganggu proses pembangunan ekonomianya.

Tingkat kerentanan serta kepekaan inilah yang semakin menjadi terlihat jelas ketika dalam 3-4 tahun terakhir kenaikan harga minyak mentah dunia diikuti oleh fluktuasi harga berbagai bahan pangan. Mahalnya kedua kebutuhan pokok manusia (pangan dan energi) inilah yang juga mendorong beberapa negara kemudian berusaha menjaga stabilitas pemenuhan kebutuhan pangannya. Beberapa negara bahkan tidak lagi dapat dengan mudah melakukan impor bahan pangan. Sementara di dalam bursa indeks komoditas, peningkatan kebutuhan bahan pangan tersebut disambut dengan menciptakan sensitivitas baru yang berdampak pada pergerakan harga bahan pangan.

Indonesia

Bagi Indonesia berbagai hal tersebut diatas tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab dengan apa yang terjadi masyarakat saat ini menunjukan bahwa persoalan besar dalam kebijakan pangan dan pertanian selama ini yang berdampak pada ketidakmampuan sektor pertanian yang ada selama ini untuk secara subsisten memenuhi kebutuhan pangan domestik.

Pada dasarnya ada beberapa persoalan yang saat ini diidentifikasi sebagai penyebab buruknya kondisi sektor pertanian Indonesia dalam beberpaa tahun terakhir. Pertama adalah soal ketidakjelasan penanganan konversi lahan pertanian yang digunakan sebagai pabrik, perumahan atau bahan lahan-lahan perkebunan yang hasilnya dinilai lebih menjanjikan sebagai komoditas ekspor. Kedua, adalah buruknya infrastruktur pertanian. Seperti diketahui, di masa awal Orde Baru salah satu usaha yang dilakukan oleh pemerintah ketika itu adalah perbaikan infrastruktur pertanian terutama irigasi. Dalam pertanian padi sawah, irigasi merupakan aspek terpenting. Karena sifat tanaman padi yang mengkonsumsi air dengan jumlah yang cukup besar. Sayangnya, pasca Orde Baru banyak irigasi di beberapa daerah yang tidak lagi terawat dan tidak lagi dapat berfungsi dengan optimal.

Ketiga, adalah penggunaan teknologi pertanian yang relatif stagnan. Padahal masalah mekanisasi pertanian di Indonesia menjadi persoalan yang sangat penting dan tidak terpisahkan dari upaya peningkatan sektor pertanian. Hal ini terkait dengan dengan semkin terbatasnya lahan pertanian serta orang-orang yang bekerja di dalam sektor terebut. Celakanya, di beberapa daerah stagnasi teknologi pertanian ini masih dapat dengan mudah ditemui. Salah satunya adalah ketika kita datang ke tempat-tempat perontokan padi dimana masih banyak dari para petani yang menggunakan cara manual ketimbang menggunakan mesin perontok. Sementara dari sisi perkembangan teknologinya, saat ini bahkan telah banyak dikembangkan mesin penanam padi yang mampu menyelesaikan penanaman padi seluas 1 hektar dengan hanya memakan waktu 5-6 jam. Sementara jika meggunakan cara manual, hal tersebut bisa diselesaikan paling cepat dalam waktu 48 jam.

Keempat adalah pemberian susbsidi pupuk. Selama ini penyaluran pupuk bersubsidi terbesar adalah pada jenis urea. Sementara beberapa jenis pupuk lain seperti ZA, SP 36 serta NPK jumlahnya jauh lebih kecil. Buruknya sistem distribusi selama ini, termasuk diantaranya adalah tindakan penyelundupan, telah mengakibatkan adanya kenaikan harga di tingkat petani. Akibatnya, harga produksi di tingkat petani menjadi mahal.

Adanya berbagai persoalan inilah yang kemudian maskin menyebabkan tidak banyak investor yang mau menanamkan modalnya di bidang perkebunan pangan (food estate). Padahal, dengan pola produksi yang ada sekarang –dimana negara menjadi sangat tergantung pada investor-, kebutuhan tersebut menjadi sangat penting dalam kerangka revitalisasi sektor pertanian. Akibatnya sektor pertanian tanaman pangan Indonesia selama ini berkembang sekedar sebagai pola subsisten untuk memenuhi kebutuhan pangan (yang pada kenyataannya hal tersebut juga gagal tercapai).

Kondisi ini berbeda dengan Amerika Serikat yang menjadikan beberapa hasil pertaniannya seperti gandum, jagung dan juga sebagian kecil beras sebagai komoditas ekspor. Begitu pula halnya dengan produksi beras Thailand yang selama ini menjadi eksportir terbesar beras dunia. Kondisi ini pula yang menyebabkan produk-produk tanaman pangan Indonesia tidak memiliki insentif bagi investor yang hendak menanamkan modalnya di sektor tanaman pangan.

Karenanya, kalau kemudian pemerintah mau kembali merevitalisasi sektor pertanian dan sekaligus mengembangkan industri BBN, maka satu hal yang perlu segera dilakukan adalah adanya kebijakan sektor pertanian jangka panjang yang mampu mengakomodir segala kepentingan tersebut. Sebab jika tidak persoalan yang sama akan terus berulang di tahun-tahun yang akan datang. (Nugroho Pratomo/ Staf pengajar tidak tetap Departemen Ilmu Politik Fisip UI; Peneliti Inrise & Litbang Media Group)

Tabel Penyaluran Pupuk bersubsidi 2006-2007 (ton)

Jenis Pupuk

Rencana

Realisasi

Rencana

Realisasi

Urea

4,300,000

3,962,404

4,300,000

3,196,176

NPK

400,000

399,970

700,000

477,235

SP 36

700,000

711,081

800,000

642,409

ZA

600,000

600,972

700,000

547,366

Sumber: Departemen Pertanian, Statistik Pertanian 2007