Sabtu, 26 April 2008

RELOKASI INDUSTRI SEPATU KE INDONESIA : HARAPAN BARU INDUSTRI ALAS KAKI DOMESTIK

Analisis Media Indonesia 25 April 2008

Setelah menghadapi berbagai pelarian modal untuk investasi sepatu dan alas kaki, kini harapan untuk kembali mengembangkan industri tersebut kembali terbuka. Hal tersebut terkait dengan adanya rencana dari beberapa industri sepatu dan tekstil yang mencoba menanamkan modalnya di Indonesia dalam waktu dekat ini setelah mereka melakukan relokasi dari pabrik mereka di China dan Vietnam. Adanya rencana penanaman investasi tersebut selain mampu menyerap tenaga kerja, diharapkan pula akan kembali meningkatkan daya saing produk-produk sepatu dan alas kaki Indonesia di pasar dunia.

Seperti juga keadaan beberapa industri dalam negeri lainnya, industri sepatu dan alas kaki Indonesia saat ini juga tengah menghadapi tingkat persaingan yang semakin ketat. Hak tersebut memang tidak bisa dipisahkan dari semakin berkembangnya industri-industri sepatu dan alas kaki beberapa negara lainnya. Karenanya, peningkatan tingkat daya saing (competitiveness) menjadi faktor yang penting dalam setiap setiap kegiatan produksi.

Mencermati industri sepatu dan alas kaki di Indonesia, ternyata harus disadari bahwa kondisinya saat ini tidaklah banyak berbeda dengan industri tekstil atau elektronik. Bersama dengan kedua jenis industri ini, industri sepatu dan alas kaki Indonesia juga harus masih menghadapi berbagai persoalan klasik. Mulai dari persoalan ekonomi biaya tinggi, penyelundupan hingga tingkat produktivitas yang relatif rendah.

Dalam konteks persaingan di pasar global, seperti terjadi pada beberapa komoditas lainnya China saat ini merupakan eksportir terbesar untuk komoditas sepatu dan alas kaki. Berdasarkan data yang dipublikasikan Comtrade, menunjukan bahwa pada tahun 2006 nilai ekspor sepatu dan alas kaki (HS 64) China ke seluruh dunia mencapai lebih US$ 21,8 milyar atau 38% dari keseluruhan nilai ekspor sepatu dan alas kaki dunia yaitu sebesar US$ 57,1 milyar.

Dominasi produk-produk sepatu dan alas kaki China terjadi pada hampir semua jenis turunan produk sepatu dan alas kaki. Meski demikian ekspor terbesar China untuk produk sepatu dan alas kaki serta turunannya adalah sepatu dan alas kaki yang terbuat dari kulit di bagian atas (HS 6403). Nilai ekspornya di tahun 2006 mencapai US$ 8,7 milyar atau 40% dari total ekspor sepatu dan alas kaki China. Sementara nilai ekspor terkecil sepatu dan alas kaki China adalah untuk jenis sepatu dengan tahan air yang terbuat dari karet, plastik atau jenis wellington (HS 6401). Nilai ekspor China untuk produk ini hanya sebesar US$ 219,5 juta atau sekitar 1% dari keseluruhan ekspor sepatu dan alas kaki China di tahun 2006.

Dilihat dari perkembangan nilai ekspor dunia tiap tahunnya sejak 2003-2006, maka jenis sepatu tahan air yang terbuat dari karet, plastik atau jenis wellington ini memang memiliki nilai ekspor yang paling rendah. Sementara, jenis sepatu dan alas kaki yang bagian atasnya terbuat dari kulit, untuk tahun 2006 perkembangan nilai ekspornya mengalami penurunan hampir US$ 4,2 milyar dibandingkan tahun 2005.

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada produk-produk sepatu dan alas kaki dari Indonesia. Mencermati berbagai macam produk alas kaki yang ada, ekspor terbesar produk sepatu dan alas kaki Indonesia adalah jenis produk yang terbuat dari bagian atasnya terbuat kulit atau HS 6403. Dimana di dalamnya termasuk pula produk-produk sepatu/ alas kaki formal. Dilihat dari hasil indeks RCA, maka produk-produk sepatu jenis ini memiliki tingkat daya saing yang paling kompetitif (lihat tabel RCA).

Pada tahun 2006 komposisi ekspornya terhadap keseluruhan ekspor sepatu dan alas kaki Indonesia mencapai 72%, dengan nilai sebesar US$ 1,14 milyar. Nilai tersebut meningkat dibandingkan tahun 2005 yaitu sebesar US$ 910 juta. Tahun 2007 nilai ekspor tersebut naik sedikit menjadi $ 1,15 milyar dengan volume sebanyak 77,1 ribu ton (lihat grafik ekspor-impor sepatu dan alas kaki).

Begitu pula dengan komoditas ekspor yang terkecil. Nilai ekspor produk sepatu dan alas kaki serta turunannya yang terkecil adalah produk alas kaki tahan air dari karet atau plastik. Komposisi ekspornya terhadap keseluruhan ekspor alas kaki pada tahun 2006 tidak lebih dari 0,2% atau senilai US$ 3,3 juta. Nilai ekspor ini bahkan turun dibandingkan tahun 2005 sebesar US$ 4 juta. Pada tahun 2007 nilai ekspor ini turun drastis menjadi $ 2 juta. Selama periode 2004-2007 ekspor komoditas ini terbesar ditujukan ke Singapura dengan nilai ekspor mencapai US$ 1,8 juta atau 13,5% dari total ekspor Indonesia produk ini ke seluruh dunia.

Namun secara keseluruhan, negara tujuan ekspor produk sepatu dan alas kaki terbesar Indonesia masih ditujukan ke Amerika Serikat. Nilai ekspor sepatu dan alas kaki Indonesia tahun 2007 ke negara tersebut mencapai $384 juta dengan impor terbesar dari China yaitu sebesar $ 59 juta.

Industri alas kaki

Mencermati perkembangan industri sepatu dan alas kaki Indonesia, seperti telah diketahui pada tahun 2007 sepatu merek Adidas telah memberikan dan merealisasikan merelokasi 20% kapasitas produksinya dari China ke Indonesia. Hal tersebut tentunya merupakan harapan bagi peningkatan kapasitas produksi sepatu domestik. Dengan demikian secara keseluruhan pada tahun 2007 jumlah produsen sepatu dan alas kaki di Indonesia bertambah dari 18 menjadi 25 perusahaan.

Pada dasarnya, adanya relokasi pabrik sepatu dari China dan Vietnam ke Indonesia tidak terlepas dari lebih perubahan iklim usaha yang dinilai sudah tidak kondusif di kedua negara tersebut. Beberapa industri sepatu dari Taiwan bahkan akan melakukan kerja sama dengan industri sepatu di dalam negeri yang sebelumnya menghentikan produksinya.

Selain itu, terjadinya relokasi industri sepatu tersebut juga disebabkan oleh adanya pengenaan bea masuk anti dumping (BMAD) di negara-negara Uni Eropa pada berbagai produk sepatu dari China serta Vietnam. Sebagai perbandingan, pengenaan bea masuk impor untuk sepatu Vietnam dan China mencapai 24,7%. Sementara produk sepatu serupa yang berasal dari Indonesia, besaran bea masuknya hanya sebesar 14%.

Meski demikian, adanya berbagai hal tersebut bukan berarti bahwa produk-produk sepatu dan alas kaki Indonesia dapat dengan mudah menguasai pasar domestik. Industri alas kaki Indonesia seperti beberapa sektor industri manufaktur lainnya, kondisinya saat ini juga masih dihadapkan pada berbagai persoalan pengembangan. Mulai dari melemahnya daya beli domestik, kenaikan biaya produksi, hingga penyelundupan sepatu dari China maupun Vietnam. Namun demikian khusus bagi industri sepatu, persoalan perburuhan juga masih menjadi kendala utama investasi di bidang ini. Akibatnya, stagnasi produksi menjadi semakin tidak terhindarkan.

Masalah-masalah seperti inilah yang pada akhirnya juga berdampak pada menurunnya kinerja ekspor serta kemampuan daya saing. Padahal pada waktu yang bersamaan, persaingan di pasar internasional juga semakin ketat. Dengan China sendiri, sebenarnya Indonesia untuk jenis sepatu oleh raga (sport shoes) memang sudah kalah bersaing. Meski demikian, harapan untuk mengembangkan industri sepatu di Indonesia masih terbuka untuk jenis sepatu non sports atau sepatu formal. Hal ini disebabkan masih relatif rendahnya modal yang dibutuhkan, banyaknya tenaga kerja serta ketersediaan bahan baku terutama kulit dari dalam negeri.

Selain itu terjadinya penggunaan SKA Indonesia untuk masuk ke pasar AS oleh para pengusaha China tentunya menjadi masalah lain yang ridak boleh terulang lagi. Praktek ini pada dasarnya memang sangat “menguntungkan” bagi kedua belah pengusaha. Bagi pengusaha China hal tersebut tentunya akan mempermudah masuknya barang-barang mereka ke AS. Sementara bagi pengusaha domestik, praktek-praktek semacam ini jelas adalah kesempatan untuk bisa mendapatkan keuntungan lebih tanpa harus bersusah payah bekerja memenuhi pesanan terlebih dahulu.

Apabila kini perusahaan-perusahaan sepatu tersebut mau mengembangkan sepatu serupa dengan merek domestik, maka hal ini sesungguhnya merupakan langkah maju dalam pengembangan industri sepatu dan alas kaki domestik. Sebab, justru keinginan seperti inilah yang seringkali terabaikan ketika sebuah perusahaan telah mendapat pesanan dari merek-merek ternama. Akibatnya, hampir sebagian besar industri manufaktur di Indonesia tidak lebih dari sekedar perusahaan perakitan tanpa mampu menghasilkan sebuah produk yang benar-benar “Made in Indonesia”.

Di sisi lain, konsistensi penyelesaian ekonomi biaya tinggi, pemberantasan penyelundupan serta penyelesaian persoalan perburuhan menjadi aspek penting untuk kembali meningkatkan daya saing produk alas kaki dan sepatu Indonesia. Sebab pada kenyataannya, persaingan di dalam industri sepatu semakin hari akan semakin ketat. Kalaupun industri sepatu seperti Adidas masih berkeinginan untuk menanamkan modalnya di Indonesia tentunya hal tersebut harus pula disikapi secara hati-hati. Sebab bagaimanapun juga, sebagai perusahaan multinasional lainnya, mereka akan selalu mencari tempat yang mampu memberikan jaminan bahwa produksi yang dilakukannya lebih efisien. (Nugroho Pratomo: Peneliti Inrise & Litbang Media Group)

Selasa, 01 April 2008

PAJAK EKSPOR CPO: MAU UNTUNG MALAH BUNTUNG



(Analisis Media Indonesia; 31 Maret 2008)

Seakan tiada pernah ada habisnya, persoalan mahalnya harga minyak goreng masih menjadi persoalan yang terus membayangi masyarakat saat ini. Sebagaimana disampaikan dalam Media Indonesia online (22/3) pemerintah telah mencairkan dana subsidi tahap pertama minyak goreng sebesar Rp100 miliar dari total anggaran Rp500 miliar.

Dana subsidi tersebut akan disalurkan kepada 19,2 juta keluarga miskin dengan total penyaluran sebanyak 190 juta liter. Data kemiskinan mengacu pada data kemiskinan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Selain itu, pemerintah juga akan mendorong penggunaan minyak goreng kemasan. Sebab pada dasarnya harga minyak goreng curah lebih berfluktuasi ketimbang harga minyak goreng kemasan (MI Online 28/3).

Meski demikian, juga harus disadari bahwa harga minyak goreng kemasan bukannya tidak mungkin mengalami fluktuasi. Sebab para produsen minyak goreng kemasan pada umumnya juga menetapkan harga paling lama untuk 2 minggu. Artinya, setelah jangka waktu tersebut atau bahkan sangat mungkin untuk jangka waktu yang lebih singkat, fluktuasi harga minyak goreng kemasan akan tetap terjadi.

Pola konsumsi

Mencermati fluktuasi harga minyak goreng tersebut, aspek pertama yang harus dipahami terlebih dahulu adalah pola konsumsi masyarakat atas komoditas minyak goreng. Berdasarkan data dari departemen pertanian, di tingkat rumah tangga, total konsumsi untuk minyak kelapa sawit selama tahun 1990-2006 mencapai 19 juta ton. Diperkirakan untuk konsumsi 2007 jumlahnya sebesar 1,6 juta ton dan tahun 2008 diproyeksikan menjadi 1,65 juta ton. Pada produk turunannya berupa minyak goreng sawit selama periode 1990-2006, total konsumsinya mencapai 13 juta ton. Tahun 2007, konsumsinya diperkirakan sebesar 1,2 juta ton dan tahun 2008 diproyeksikan naik menjadi 1,26 juta ton.

Meski telah lama digunakan dalam industri minyak goreng, namun besarnya konsumsi minyak goreng sawit ini pada dasarnya belum begitu lama terjadi. Setidaknya sudah hampir dalam 10 tahun terakhir pola konsumsi minyak goreng masyarakat Indonesia mengalami perubahan dari sebelumnya menggunakan minyak goreng kelapa beralih kepada minyak goreng yang berasal dari minyak sawit.

Salah satu penyebabnya mungkin adalah adanya berbagai pendapat yang menyebutkan mengenai berbagai manfaat yang bisa diperoleh dari mengkonsumsi minyak sawit. Minyak sawit yang biasa digunakan sebagai minyak goreng mengandung beta keroten atau pro-vitamin A serta vitamin E yang dapat berguna untuk menurunkan kolesterol dan menghambat penuaan. Berbagai kelebihan inilah yang kemudian dimanfaatlkan oleh para industri minyak goreng dalam memasarkan berbagai produknya.

Tingkat konsumsi minyak goreng di Indonesia sejak 1998 hingga 2005 juga terus tumbuh. Secara keseluruhan Pada 1998 konsumsi minyak goreng di Indonesia mencapai 3,22 juta ton kemudian meningkat menjadi 6,04 juta ton di tahun 2005 dengan 83,3 % terdiri dari minyak goreng sawit.

Jika dilihat dari perkembangan konsumsi perkapitanya, maka tingkat konsumsi per kapita meningkat dari 10,7 kilogram per kapita di tahun 1998 menjadi 16,5 kilogram per tahun di tahun 2005. Khusus untuk konsumsi perkapita minyak goreng sawit jumlahnya sebesar 12,7 kilogram per tahun untuk tahun 2005.

Namun untuk tahun 2006, konsumsi perkapita minyak goreng sawit tersebut sedikit mengalami penurunan menjadi 5,52 liter per tahun. Meski demikian, tingkat konsumsi ini masih tetap lebih tinggi apabila dibandingkan dengan konsumsi perkapita untuk minyak kelapa atau bahkan dengan margarin yang juga berbahan dasar minyak sawit. Berdasarkan hasil susenas 2007 menunjukan bahwa konsumsi perkapita untuk minyak kelapa adalah 3,16 liter per kapita per tahun. Sementara tingkat konsumsi perkapita untuk margarin hanya sebesar 1,1 kilogram.

Jika diperbandingkan berdasarkan daerahnya, maka secara keseluruhan pola konsumsi antara desa dan kota untuk minyak kelapa dan minyak goreng sawit tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh. Konsumsi perkapita untuk minyak kelapa di perkotaan untuk tahun 2006 adalah sebesar 3,41 kilogram, sementara di desa adalah 3,74 kilogram. Pada minyak goreng sawit, konsumsi perkapita konsumsi masyarakat perkotaan sedikit lebih besar yaitu 5,95 kilogram perkapita, sementara di desa 5,18 kilogram per kapita.

Selain soal harga yang relatif lebih murah, perbedaan pola konsumsi antara desa dan kota untuk minyak goreng sawit dan minyak kelapa ini pada dasarnya lebih disebabkan faktor kebiasaan yang belum dapat diubah. Kebiasaan ini juga terkait dengan kenyataan bahwa minyak kelapa bisa diproduksi sendiri pada tingkat industri rumah tangga. Dengan demikian, harga minyak kelapa bisa jauh lebih murah ketimbang minyak goreng yang berasal dari sawit.

Sedangkan untuk margarin, memang terdapat perbedaan yang agak jauh antara konsumsi di perkotaan maupun di pedesaan. Berdasarkan hasil laporan susenas tersebut, konsumsi margarin di kota mencapai 0,96 kilogram per kapita, sedangkan di pedesaan hanya sebesar 0,14 kilogram per kapita.

Namun nampaknya, pola konsumsi seperti ini diperkirakan tidak akan bisa bertahan pada waktu-waktu berikutnya. Sebab seiring dengan kenaikan harga minyak mentah yang diikuti oleh kenaikan harga CPO, juga terjadi peningkatan terhadap harga minyak kelapa. Berdasarkan data dari Direktorat Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan, harga minyak kelapa curah hingga Januari 2007 masih lebih rendah dibandingkan minyak goreng sawit. Namun menjelang akhir 2007, harga minyak kelapa justru lebih mahal dari ketimbang minyak goreng sawit.Hal ini sekaligus menunjukan bahwa minyak kelapa saat ini juga sudah lagi bukan merupakan komoditas yang diharapkan bisa menjadi substitusi dari minyak sawit. Dalam perjalanannya, minyak kelapa hingga akhir dekade 1970an masih menjadi bahan baku utama dari sebagian besar industri minyak goreng di Indonesia. Namun sebagai akibat produksi kopra yang terus mengalami penurunan mengakibatkan tersendatnya pasokan bagi pabrik minyak goreng. Sejak saat itu, beberapa industri minyak goreng domestik semakin luas mengembangkan minyak goreng dengan berbahan baku minyak sawit.

Tinjauan kebijakan

Persoalan kekurangan pasokan minyak sawit yang berdampak pada mahalnya harga minyak goreng sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Pada tahun 1978, pemerintah melalui surat keputusan bersama (SKB) antara menteri pertanian, perindustrian dan menteri perdagangan, mencoba mengatur soal ekspor minyak kelapa sawit. Termasuk di dalamnya adalah mengatur mengenai pengawasan penyaluran minyak kelapa sawit untuk ke berbagai jenis industri pengolahan lanjutan (Pohan:2008).

Sebagai bagian dari deregulasi dan debirokratisasi yang dilakukan oleh pemerintah sejak pertengahan dekade 1980an, paket kebijakan yang dikeluarkan pada Juni 1991 (Pakjun 1991) menghapus SKB tersebut. Seperti telah banyak diketahui, Pakjun 1991 pada intinya merupakan serangkaian paket deregulasi bidang: investasi, industri, pertanian, perdagangan, dan keuangan.

Dihapuskannya tata niaga minyak sawit tersebut menyebabkan ekspor minyak sawit Indonesia tumbuh dengan pesat. Ekspor CPO Indonesia di tahun 1991 tumbuh 59% dibandingkan tahun 1990. Meskipun di tahun 1992 ekspor CPO Indonesia sempat turun sebesar 10,5%, namun seiring dengan peningkatan kenaikan harga CPO dunia, pada tahun 1993, ekspor CPO meningkat sebesar 26% dibandingkan tahun sebelumnya.

Pengenaan pajak ekspor (PE) sebagai upaya menjaga pasokan domestik di tahun 1994, menyebabkan ekspor CPO turun sebesar 23% di tahun 1995. Pengenaan pajak ekspor ketika itu ditetapkan apabila harga minyak goreng di atas Rp 1250 per kg. Pemerintah saat itu juga mengeluarkan kebijakan tentang buffer stock untuk bisa menjamin pasokan industri minyak goreng domestik.

Sayangnya, kebijakan yang pernah dilakukan pemerintah ketika itu agak sulit untuk kembali diterapkan dalam konteks saat ini. Lemahnya posisi tawar negara terhadap penetrasi modal, menjadikan pemerintah tidak bisa berbuat banyak untuk bisa meningkatkan stok domestik. Celakanya, persoalan ini kemudian ditambah dengan masih lemahnya penegakan hukum yang menyebabkan kebijakan pajak progresif untuk ekspor CPO lebih banyak berakhir pada kasus-kasus penyelundupan. Jadi, bukan tidak mungkin untuk beberapa waktu ke depan, masyarakat masih akan menghadapi harga minyak goreng relatif masih akan tetap tinggi. Sementara pemerintah juga mesti “merelakan” hilangnya potensi pendapatan negara serta berhadapan dengan tuntutan subsidi yang tinggi.
(Nugroho Pratomo/ Peneliti Inrise & Litbang Media Group)