Senin, 10 Maret 2008

LAPORAN STUDI AWAL KONSUMSI KEDELAI (Bag. II) : KEGAGALAN OTONOMI RELATIF NEGARA

Analisis Media Indonesia: 10 Maret 2008

Sebagai kelanjutan atas hasil studi awal mengenai konsumsi kedelai di Indonesia yang juga telah disampaikan dalam analisis Media Indonesia (3/3), analisis kali ini mencoba menyampaikan hasil dari model persamaan simultan yang dibangun dalam kerangka menguji lebih lanjut berbagai argumentasi mengenai keterkaitan antara pengembangan energi alternatif bahan bakar nabati di AS (bioetanol) dari jagung dengan kesulitan masyarakat memperoleh tahu dan tempe.

Sebagai studi awal, sekali lagi masih banyak kekurangan yang terdapat dari penelitian ini. Karenanya, penulis dan beberapa peneliti lainnya juga masih terus mendiskusikannya. Namun, pada saat yang bersamaan dari hasil ini diharapkan setidaknya mampu memberikan sedikit tambahan bekal kepada kita untuk bisa memahami lebih dalam mengenai apa yang tengah terjadi di Indonesia maupun dunia.

Pengembangan kedelai

Usaha pengembangan produksi bahan pangan seperti kedelai, sebenarnya juga telah lama dilakukan. Di masa Orde baru, pengembangan produksi kedelai dilakukan melalui empat program, yaitu kebijakan harga yang berorientasi pada produsen, pengembangan paket teknologi, subsidi sarana produksi serta pengendalian impor dan perdagangan dalam negeri (Roja, 2006). Setelah mencapai produksi tertinggi pada tahun 1992 dengan jumlah produksi mencapai 1,87 juta ton, jumlah produksi kedelai Indonesia terus mengalami penurunan. Data dari departemen pertanian menunjukan bahwa penurunan produksi kedelai hingga dibawah 1 juta ton terjadi semenjak tahun 2001. Pada tahun tersebut, jumlah produksi kedelai Indonesia turun dari 1,02 juta pada tahun 2000 menjadi 827 ribu.

Pasca krisis ekonomi dan seiring pelaksanaan otonomi daerah, sebenarnya pemerintah juga telah meluncurkan sebuah kebijakan yang dinamakan dengan Gerakan Mandiri Padi, Kedelai dan Jagung (Gema Palagung) di tahun 2001. Dalam pelaksanaannya, meski di beberapa daerah gerakan ini mulai menunjukan hasil, namun secara keseluruhan produksi kedelai Indonesia tidak menunjukan peningkatan yang signifikan. Sebaliknya, kemampuan produksi tersebut terus mengalami penurunan. Akibatnya, selama periode tahun 2000-2004 pertumbuhan produksi kedelai Indonesia mengalami -8,7%.

Berbagai argumentasi terkait dengan penurunan produksi kedelai ini kemudian banyak bermunculan. Salah satu argumentasi yang sering disampaikan adalah ketidakmampuan kedelai lokal untuk bersaing dengan kedelai impor yang menawarkan kualitas dan harga yang lebih baik. Masuknya kedelai impor tersebut secara umum tidak terlepas dari adanya kebijakan pemberian kemudahan pembayaran dan fasilitas L/C dari negara asal. Sementara pada saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia sesuai dengan kesepakatan yang tercantum dalam Letter of Intent (LoI) pada 1998 yang mengharuskan pemerintah menurunkan bea masuk secara bertahap mulai 5% hingga maksimal 10% pada tahun 2003. Melalui kesepakatan tersebut, maka bea masuk atas kedelai menjadi 0%, sebelum akhirnya kembali diberlakukan bea masuk sebesar 10% pada tahun 2006.

Studi awal

Sebagai hasil atas model estimasi awal yang dibangun sebelumnya, menunjukan bahwa variabel impor mejadi faktor yang signifikan dalam melihat konsumsi kedelai di Indonesia. Namun, apabila dilihati dari hasil koefisiennya regresinya menunjukan pola hubungan yang negatif. Model yang mencoba melihat perkembangan impor dan konsumsi kedelai tersebut, dalam pengujiannya memang mengasumsikan bahwa kebijakan impor yang dilakukan sebagai “pengganti” ketiadaan supply domestik menggunakan harga internasional sebagai patokan tanpa adanya intervensi kebijakan harga dari pemerintah. Sebagai hasilnya, tidak mengherankan apabila penambahan supply kedelai dengan mekanisme impor, dalam jangka pendek tidak akan membawa banyak perubahan pada peningkatan konsumsi atau daya beli masyarakat atas komoditas kedelai. Sebaliknya, kegagalan pasar (market failure) seperti ini justru akan memperlebar jarak antara permintaan di tingkat masyarakat dengan harga kedelai yang diimpor. Hingga akhirnya sebagaimana diajarkan dalam teori-teori dasar ekonomi, peranan intervensi pemerintah merupakan faktor yang penting dalam mengatasi persoalan ini.

Berangkat dari hasil estimasi tersebut, selanjutnya dalam studi awal ini juga dibangun sebuah persamaan simultan yang mencoba melihat beberapa aspek yang dinilai dapat mempengaruhi impor kedelai Indonesia. Beberapa variabel yang dimasukan dalam model persamaan simultan ini adalah harga internasional atas komoditas kedelai itu sendiri, pendapatan perkapita dengan memperhitungkan kemampuan daya beli (purchasing power parity/PPP) Indonesia, harga komoditas jagung yang dinilai menjadi substitusi kedelai, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, serta kinerja impor tahun sebelumnya. Sebagai tambahan, model ini juga memperhitungkan kesepakatan LoI sebagai variabel boneka (dummy variable) yang diperhitungkan sejak 1998-2006 dimana Indonesia telah keluar secara penuh dari program IMF.

Sebelum menjelaskan mengenai hasil estimasi yang dihasilkan, penulis ingin sedikit kembali mengingatkan mengenai metodologi yang digunakan dalam studi ini. Sebagai sebuah studi yang dilakukan dengan mengembangkan studi serupa yang dilakukan sebelumnya oleh Dewi Sahara dan Endang S Gunawati untuk mengestimasi tingkat permintaan kedelai di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah, studi ini dilakukan dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS), yaitu membangun model-model estimasi persamaan simultan yang dikembangkan dari model analisis dinamis dengan analisis regresi berganda dalam logaritma natural yang berangkat dari model estimasi parsial Nerlove. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk bisa melihat tingkat elastisitas atas tiap-tiap variabel penjelas terhadap variabel terikat. Data yang digunakan dalam studi ini juga merupakan jenis data runtun waktu (time series) antara tahun 1981-2006.

Pengujian validitas model atau asumsi klasik, dilakukan untuk memastikan tidak terjadinya autokorelasi yaitu adanya hubungan antara kesalahan-kesalahan dan multikolinearitas atau adanya hubungan antara variabel penjelas. Dengan demikian diharapkan akan dapat memenuhi syarat adanya Best Liniear Unbiased Estimator (BLUE). Pengujian model ini dilakukan dengan membandingkan hasil uji Durbin-Watson dengan tabel yang ada untuk memastikan tidak adanya autokorelasi. Sementara pengujian multikolineritas dilakukan dengan melihat nilai toleransi (tolerance) yang diharapkan tidak kurang dari 0,1 dan variation inflation factor (VIF) yang nilainya tidak lebih dari 10,0 (Gujarati, Basic Econometric, 2003).

Hasil estimasi

Pada pengujian estimasi awal yang dilakukan menunjukan bahwa model yang dibangun dalam kurun waktu tersebut, menunjukan adanya penyimpangan atas asumsi klasik. Secara teknis, penyimpangan ini juga mengakibatkan diperlukannya waktu jeda (lag time) dalam model estimasi yang dibangun selanjutnya. Karenanya, dibangun model yang estimasi dengan periode waktu masing-masing antara 1981-1990 dan 1991-2006.

Hasil estimasi dari kedua model ini menunjukan bahwa variabel harga internasional komoditas kedelai merupakan aspek penting yang mepengaruhi impor kedelai Indonesia. Dalam model estimasi I (1981-1990) memperlihatkan bahwa koefisien regresi yang dihasilkan atas variabel tersebut sebesar 1,039. Hasil ini memperlihatkan bahwa pada setiap kenaikan 1% harga kedelai di pasar dunia, maka besaran potensi kenaikan impor kedelai mencapai 103,9%. Variabel lain yang penting dalam model ini adalah kinerja impor tahun-tahun sebelumnya. Koefisien yang dihasilkan dari variabel ini mencapai 13,805. Hasil ini memperlihatkan bahwa pada setiap kenaikan 1% impor kedelai pada tahun sebelumnya akan mendorong potensi kenaikan impor kedelai sebesar 1380,5%. Model ini sendiri memiliki kemampuan untuk menjelaskan varibel impor kedelai hingga 84,9%, yaitu dengan melihat besaran R square yang dihasilkannya pada tingkat kepercayaan 95%.

Sebelum menjelaskan hasil dari model estimasi II yaitu untuk periode 1991-2006, satu faktor yang perlu diingatkan penulis adalah terjadinya krisis ekonomi yang pada akhirnya membawa Indonesia kepada kesepakatan dengan IMF. Faktor menyebabkan dimasukannya variabel dummy LoI dalam model estimasi yang dibangun. Namun dari hasil estimasi post-mortem yang dilakukan memperlihatkan terjadinya multikolinearitas. Karenanya studi ini mencoba membuat dua kombinasi model estimasi masing-masing dengan menggunakan variabel harga internasional dan dummy LoI serta kinerja impor dan dummy LoI.

Hasil estimasi model kombinasi pertama menunjukan bahwa koefisien yang dihasilkan untuk variabel harga internasional kedelai adalah -0,045. Sementara nilai koefisien yang dihasilkan untuk dummy LoI sebesar 0,433. Dari hasil ini memperlihatkan bahwa pada setiap kenaikan 1% harga kedelai di pasar internasional akan berakibat turunnya impor kedelai sebesar -4,5%. Sedangkan melalui kesepakatan LoI dengan IMF, akan berdampak pada kenaikan impor kedelai hingga 43,3%. Model estimasi ini sendiri menghasilkan nilai R square sebesar 0,412 pada tingkat kepercayaan masing-masing 90% untuk harga internasional dan 95% untuk dummy LoI.

Rendahnya nilai R square tersebut menunjukan bahwa secara umum kedua variabel ini tidak bisa menjelaskan persoalan impor kedelai selama kurun waktu tersebut. Inilah sebabnya model estimasi kombinasi kedua menjadi penting untuk memahami lebih lanjut persoalan impor kedelai Indonesia. Hasil estimasi pada model ini menunjukan bahwa nilai koefisien untuk kinerja impor tahun sebelumnya sebesar 0,235. Nilai ini memperlihatkan bahwa pada setiap kenaikan 1% impor di tahun sebelumnya akan mengakibatkan kenaikan impor kedelai sebesar 23,5%. Sedangkan untuk dummy LoI nilai koefisien yang dihasilkan sebesar 0,314. Sehingga dapat dikatakan adanya LoI akan berdampak pada naiknya impor kedelai sebesar 31,4%. Model ini memiliki nilai R square sebesar 0,423 pada tingkat kepercayaan 90%.

Berbagai hasil estimasi tersebut di atas, sebenarnya menunjukan kepada kita bahwa setidaknya dalam jangka pendek akan sangat sulit bagi kita untuk terlalu tergantung pada mekanisme impor untuk memenuhi kebutuhan kedelai dometik. Hal ini disebabkan tidak lain karena fluktuasi harga kedelai di pasar dunia yang bahkan di tahun 2007 kenaikannya hampir mencapai 50%. Keluarnya Indonesia dari program IMF sebenarnya merupakan jalan bagi kembalinya otonomi relatif yang dimiliki negara untuk bisa mengatur kebijakan pertanian maupun perdagangannya. Sayangnya itu semua gagal dimanfaatkan secara optimal karena ketidakmampuan pemerintah membaca dan mengantisipasi berbagai perubahan yang cepat ats kondisi energi global, dimana pada akhirnya turut menarik masyarakat dunia pada masalah krisis pangan. (Nugroho Pratomo; Peneliti Inrise & Litbang Media Group)

Selasa, 04 Maret 2008

LAPORAN STUDI AWAL KONSUMSI KEDELAI : INEFISIENSI IMPOR KEDELAI

Analisis Media Indonesia: 3 Maret 2008

Hingga hari ini nampaknya kenaikan berbagai bahan kebutuhan pangan seperti kedelai masih belum akan meunjukan adanya trend ke arah penurunan. Kondisi ini tentu secara umum juga masih akan memberikan dampak yang tidak sedikit bagi masyarakat. Apalagi bahan kebutuhan seperti kedelai merupakan salah satu bahan pangan yang banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan makanan seperti tempe dan tahu.

Sebagaimana telah berulang kali disampaikan dalam analisis Media Indonesia, ketergantungan yang besar terhadap produk kedelai impor merupakan salah satu persoalan utama yang juga menyebabkan kelangkaan dan mahalnya kedelai. Sementara pada saat yang bersamaan, Amerika Serikat sebagai produsen sekaligus eksportir kedelai utama dunia sudah sejak tahun 2005 sedang giat mengembangkan bahan bakar nabati (biofuel) berbahan baku jagung.

Bahkan di beberapa negara bagian, peningkatan produksi jagung ini didukung oleh subsidi hingga milyaran dolar. Sebagai konsekuensinya, banyak dari petani kedelai di AS yang kemudian mengalihkan sebagian lahan kedelainynya untuk ikut menanam jagung. Padahal data Comtrade juga menunjukan bahwa lebih dari 93% impor kedelai Indonesia berasal dari negara ini (lihat grafik).

Studi awal

Berangkat dari berbagai argumentasi yang telah disampaikan tersebut, maka dalam analisis kali ini penulis akan mencoba menyampaikan sejumlah hasil dari studi awal (preliminary studies) atas dugaan keterkaitan antara pengembangan biofuel dari jagung di AS dengan kelangkaan kedelai di Indonesia. Studi ini dilakukan dengan menggunakan data dari neraca bahan pangan BPS, Comtrade dan data dari Departemen Pertanian AS. Sebagai sebuah studi awal, tentu masih banyak kekurangan yang terdapat dari penelitian ini. Karenanya, hasil sementara ini juga masih terus didiskusikan hingga ditemukan hasil yang paling maksimal.

Secara metodologi, studi ini dilakukan dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS), yaitu membangun model-model estimasi persamaan simultan (simultaneous equation) yang dikembangkan dari model analisis dinamis dengan analisis regresi berganda dalam logaritma natural. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk bisa melihat tingkat elastisitas atas tiap-tiap variabel penjelas terhadap variabel terikat.

Model analisis dinamis yang digunakan ini pada dasarnya merupakan model estimasi parsial Nerlove. Model estimasi parsial Nerlove ini merupakan salah satu model estimasi yang juga banyak digunakan terutama untuk melihat kasus-kasus yang terkait dengan permintaan atas produk-produk pertanian, Salah satu keunggulan dari model estimasi ini adalah kemampuannya untuk memperhitungkan kesenjangan (lag) waktu antara saat adanya permintaan dengan ketersediaan produk-produk pertanian tersebut. Hal ini menjadi penting sebab disadari bahwa seringkali peningkatan permintaan tidak terjadi pada waktu yang bersamaan dengan saat panen. Akibatnya, ada dinamika perbedaan antara permintaan jangka pendek (short term) dengan jangka panjang (long term).

Pada dasarnya, model estimasi yang digunakan dalam studi ini juga merupakan pengembangan dari model estimasi serupa juga pernah digunakan oleh Dewi Sahara dan Endang S Gunawati untuk mengestimasi tingkat permintaan kedelai di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Baik studi yang dilakukan oleh keduanya maupun studi ini menggunakan jenis data berupa deret waktu (time series). Dalam studi ini jangka waktu yang digunakan adalah pada periode 1981-2006.

Mengingat jenis data yang digunakan, maka adalah penting untuk menguji validitas model terutama untuk memastikan tidak terjadinya autokorelasi dan multikolinearitas. Dengan demikian diharapkan akan dapat memenuhi syarat adanya Best Liniear Unbiased Estimator (BLUE). Pengujian model ini dilakukan dengan membandingkan hasil uji Durbin-Watson dengan tabel yang ada untuk memastikan tidak adanya autokorelasi. Sementara pengujian multikolineritas atau adanya hubungan antara variabel penjelas dilakukan dengan melihat nilai toleransi (tolerance) yang diharapkan tidak kurang dari 0,1 dan variation inflation factor (VIF) yang nilainya tidak lebih dari 10,0 (Gujarati, Basic Econometric, 2003).

Penjelasan variabel

Berangkat dari berbagai teori ekonomi yang ada, dalam pembangunan model estimasi permintaan kedelai secara umum tingkat permintaan permintaan kedelai akan dipengaruhi oleh tingkat pendapatan dan harga. Mengingat data yang ada menunjukan besarnya ketergantungan terhadap impor, maka variabel penjelas lain yang juga diestimasikan adalah impor kedelai.

Selanjutnya secara simultan juga dilakukan estimasi untuk melihat dinamika perubahan harga terhadap impor kedelai. Harga yang dimaksudkan di sini merujuk pada harga kedelai dalam hal ini adalah harga internasional kedelai serta harga atas komoditas yang menjadi komplemen atau pengganti kedelai. Karenanya, salah satu persamaan yang dibangun adalah untuk melihat pengaruh atas perubahan berbagai harga baik itu harga internasional dari kedelai maupun beberapa komoditas lainnya. Harga komoditas lain yang dicoba untuk diujikan disini adalah harga jagung, minyak sawit mentah (CPO) dan tebu.

Pemilihan atas sejumlah jenis komoditas ini pada dasarnya dengan mempertimbangkan bahwa jenis-jenis komoditas inilah yang saat ini banyak digunakan oleh sejumlah negara dalam pengembangan bahan bakar nabati di negaranya. Termasuk diantaranya adalah AS yang mengembangkan penggunaan jagung dan Brazil yang kini lebih banyak menggunakan tebu. Semantara, seperti telah banyak diketahui, Indonesia sendiri saat ini juga mulai mengembangkan BBN salah satunya dengan berbasiskan pada minyak sawit.

Sebagai negara penghasil dan pengekspor minyak sawit terbesar di dunia, fluktuasi atas harga minyak sawit mentah dunia tentu menjadi aspek yang penting dipertimbangkan. Sebab belajar dari pengalam beberapa waktu lalu, kenaikan harga minyak sawit mentah telah mendorong para pemilik perkebunan sawit di Indonesia untuk lebih cenderung melakukan ekspor tanpa memperhitungkan tingginya kebutuhan domestik.

Terkait dengan kedelai selain fungsinya sebagai salah satu bahan makanan, minyak sawit ini juga banyak dibutuhkan dalam industri pakan ternak. Secara umum, sebagai zat pengikat, penggunaan minyak sawit ini juga bisa digantikan salah satunya oleh minyak kedelai. Meski penggunaannya di Indonesia belum terlalu banyak, namun dengan kenaikan harga mintak sawit yang pada akhirnya mendorong kecenderungan untuk melakukan ekspor sementara di sisi lain kedelai masih menjadi komoditas impor, maka tentunya hal tersebut bisa menjadi salah satu ancaman bagi ketahanan pangan secara lebih luas.

Hasil estimasi

Dari hasil estimasi model yang dilakukan menunjukan bahwa konsumsi kedelai Indonesia sepanjang kurun waktu yang diujikan menunjukan bahwa terdapat 2 variabel penjelas yang memiliki sigfikansi terhadap konsumsi kedelai, yaitu variabel impor dan konsumsi tahun sebelumnya. Keduanya signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Sementara kemampuan model untuk mampu menjelaskan tingkat permintaan kedelai ditandai dengan besar R square sebesar 0,799. Hasil ini menunjukan bahwa model yang dibangun mempu menjelaskan konsumsi kedelai hingga 79,9%.

Variabel impor kedelai menghasilkan nilai koefisien sebesar -0,263. Hasil ini menunjukan bahwa setiap kenaikan 1% impor kedelai justru akan berakibat turunnya konsumsi kedelai sebesar 26,3%. Sementara variabel yang signifikan lainnya yaitu tingkat konsumsi tahun sebelumnya. Nilai koefisien regresi yang dihasilkan adalah 0,325. Hasil ini memperlihatkan bahwa setiap kenaikan 1% konsumsi tahun sebelumnya, akan berakibat pada naiknya konsumsi kedelai sebesar 32,5%.

Hasil ini sebenarnya menunjukan kepada kita setidaknya dalam jangka pendek, bagaimana sebenarnya kerentanan konsumsi kedelai kita pada ketersediaan kedelai di pasar dunia. Karena meski impor kedelai tetap dilakukan atau bahkan ditambah, kemampuan masyarakat untuk mengkonsumsi kedelai justru kian menurun. Hal ini tidak lain karena keterbatasan daya beli yang tidak memungkinkan mereka membeli kedelai yang telah diimpor tanpa adanya bantuan subsidi dari pemerintah sebagaimana dilakukan oleh pemerintah saat ini.

Jadi, melalui hasil estimasi yang telah didapatkan tersebut pada dasarnya juga menunjukan bahwa pada dasarnya hukum mekanisme pasar (supply-demand) dalam permintaan kedelai domestik saat ini sesungguhnya tidak lagi berlaku. Pemenuhan pasokan kedelai domestik melalui mekanisme impor, pada saat ini sebenarnya sangat tidak efektif . Hal ini dengan sangat mudah dibuktikan dari besaran subsidi yang harus kembali dikeluarkan oleh pemerintah melalui APBN P 2008 yang nilainya mencapai Rp 0,5 triliun.

Sebagaimana disampaikan dalam Media Indonesia online (9/2) subsidi tersebut direncanakan akan diberikan kepada para pengerajin tahu dan tempe dimana pada setiap 1 kilogram pemerintah akan memberikan subsidi sebera Rp 1000. Selain yang telah tergabung di dalam induk koperasi pengerajian tahu dan tempe Indonesia (Inkopti), sekitar 115 ribu pengerajin serupa diharapkan juga akan mendapatkan subsidi tersebut. Kalau sudah begini masihkah kita terus mengimpor kedelai di masa depan?(Nugroho Pratomo: Peneliti Inrise & Litbang Media Group)