Mungkin hampir tidak ada satupun negara di dunia ini yang akan bisa terlepas sepenuhnya dari persolan kemiskinan. Satu hal yang paling mungkin dilakukan tentunya adalah bagaimana menciptakan agar kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin tidak terlalu jauh. Namun untuk mencapainya diperlukan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang lebih komprehensif.
Kebutuhan dasar
Perubahan paradigma pembangunan dunia sejak awal dekade 1990an, memang telah memaknai pembangunan lebih dari sekedar tingkat pertumbuhan ekonomi. Sebab pada kenyataannya pembangunan yang semata didasarkan pada berbagai indikator ekonomi (economic development) justru lebih sering menimbulkan banyak distorsi.
Begitu pula dengan perhitungan laju pertumbuhan ekonomi yang seringkali tidak cukup mampu menunjukan pembangunan kondisi sosial ekonomi secara lebih riil. Akibatnya, di tengah tingginya pertumbuhan ekonomi, persoalan kemiskinan lebih sering menjadi persoalan yang bersifat laten. Terutama bagi negara-negara berkembang.
Menilik kembali pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia, kondisi yang terjadi selama Orde Baru telah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Ketika itu semua orang tahu bahwa pada puncaknya di tahun 1995-1996 pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 7% per tahun.
Melalui tingkat pertumbuhan tersebut jumlah orang miskin di Indonesia dapat ditekan menjadi 34 juta atau 17,7% dari total penduduk. Jika dibandingkan tahun 1976, kondisi tersebut jelas jauh lebih baik, Sebab dengan jumlah mencapai 54 juta, persentase orang miskin terhadap jumlah penduduk saat itu sebesar 40%.
Namun demikian, data Human Development Report tahun 1998 menunjukan bahwa untuk kondisi tahun 1995, dengan tingkat pendapatan perkapita (PPP) yang mencapai hampir US$ 4000, nilai HDI Indonesia justru hanya 0,679. Laporan HDR 2007/2008 menunjukan bahwa untuk tahun 2005 HDI Indonesia adalah 0,728 dengantingkat pendapatan perkapita (PPP) US$ 3843 (lihat tabel).
Tabel Trend Indeks Pembangunan Manusia Negara-negara ASEAN
Negara | 1975 | 1980 | 1985 | 1990 | 1995 | 2000 | 2005 |
Singapura | 0.729 | 0.762 | 0.789 | 0.827 | 0.865 | .. | 0.922 |
Malaysia | 0.619 | 0.662 | 0.696 | 0.725 | 0.763 | 0.790 | 0.811 |
Thailand | 0.615 | 0.654 | 0.679 | 0.712 | 0.745 | 0.761 | 0.781 |
Filipina | 0.655 | 0.688 | 0.692 | 0.721 | 0.739 | 0.758 | 0.771 |
Indonesia | 0.471 | 0.533 | 0.585 | 0.626 | 0.670 | 0.692 | 0.728 |
Vietnam | .. | .. | 0.590 | 0.620 | 0.672 | 0.711 | 0.733 |
Sumber: UNDP, Human Development Report 2007/2008
Apabila dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya yaitu Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand, posisi HDI mereka berada di atas Indonesia. Hal mengartikan pula bahwa pembangunan yang sekedar menekankan kepada pertumbuhan ekonomi tidak cukup untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Mencermati berbagai indikator yang menjadi penilaian HDI, maka satu aspek yang patut menjadi perhatian adalah soal pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs). Jika mau kembali kepada definisi kemiskinan, maka ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar ini biasa disebut dengan kemiskinan absolut.
Jeffrey D. Sachs dalam bukunya The End of Poverty(2005) mengistilahkan bentuk kemiskinan ini sebagai the extreme poverty. Menurutnya, bentuk kemiskinan dalam konteks ini merupakan ketidakmampuan seseorang, suatu keluarga atau sekelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Baik itu dalam soal pangan maupun nonpangan.
Dalam soal non pangan ini menyangkut pula di dalamnya adalah pendidikan dasar, kesehatan, perumahan, serta kebutuhan transportasi. Pertanyaannya sekarang ialah bagaimana sebenarnya upaya pemenuhan kebutuhan dasar ini selama ini di Indonesia?
Kemiskinan relatif
Pasca krisis ekonomi, persoalan kebutuhan dasar tersebut memang banyak kembali mengemuka. Terlepas dari ketertutupan informasi selama Orde Baru, namun fakta yang ada akhir-akhir ini menunjukan masih terjadi kasus-kasus seperti kekurangan gizi di beberapa daerah dan tingginya angka putus sekolah. Munculnya masalah-masalah seperti ini memang tidaklah terlalu mengejutkan. Karena seperti telah banyak diduga sebelumnya, ancaman paling menakutkan dari krisis ekonomi adalah terjadinya generasi yang hilang (the lost generation).
Begitu pula ketika seperti saat ini ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) atau penyaluran Raskin. Banyak perdebatan muncul ketika pemerintah dalam pencairan BLT tahap pertama 2008 masih memanfaatkan data kemiskinan tahun 2005. Akibatnya, beberapa kepala desa dari berbagai daerah di Indonesia kemudian berbondong-bondong melakukan protes. Meski mengaku tidak menolak pengucuran dana BLT, namun mereka menilai bahwa bentuk bantuan seperti itu bukan sebuah hal yang mendidik masyarakat.
Munculnya perdebatan seperti tersebut di atas, pada dasarnya adalah adanya penggunaan berbagai ukuran atau indikator yang lebih menunjukan kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif ini diukur dari berbagai indikator seperti ketimpangan tingkat pendapatan, bentuk rumah atau hal-hal yang lebih bersifat fisik lainnya.
Jika kemudian hal tersebut hendak dikaitkan dengan keberagaman sosial budaya yang ada di Indonesia. Tentunya dalam menentukan standar kemiskinan fisik di tiap daerah menjadi berbeda-beda. Oleh karenanya jika mau mengukur kemiskinan relatif tersebut, maka tiap daerah harus bisa menentukan berbagai indikator khusus yang memang menjadi spesifikasi daerahnya.
Indikator-indikator inilah yang nantinya menjadi ukuran-ukuran tambahan atau pelengkap dalam menilai apakah seseorang atau keluarga masuk ke dalam kelompok miskin di suatu daerah.
Di satu sisi disadari bahwa berbagai indikator fisik yang selama ini digunakan merupakan indikator yang relatif paling mudah terlacak dan dapat dibuktikan secara kasat mata. Tapi di sisi lain, juga semakin disadari bahwa apa yang ditunjukan secara fisik tersebut hanyalah merupakan representasi atau penggambaran atas kegagalan pembangunan kualitas manusia itu sendiri.
Artinya, kemiskinan relatif yang ditunjukan oleh berbagai indikator fisik tersebut hanyalah hasil akhir ketika sebuah seseorang atau keluarga tidak lagi mampu memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar dan kesehariannya. Tapi hal itu tidak cukup mampu menunjukan sejauhmana seseorang atau keluarga terjebak dalam kemiskinan dan apakah mereka mampu keluar dari kemiskinan itu sendiri.
Keluar dari kemiskinan
Terkait dengan hal tersebut, Sachs kemudian dalam buku terbarunya, Common Wealth: Economics for a Crowded Planet (2008) mencoba menyampaikan empat tipe invetasi dasar sebagai upaya untuk keluar dari kemiskinan tersebut (escape from extreme poverty).
Pertama adalah dorongan untuk peningkatan produktivitas pendapatan/ mata pencaharian di sektor pertanian. Argumentasi ini tentunya menjadi sangat relevan dalam kasus Indonesia. Sebab seperti pernah disampaikan dalam analisis Media Indonesia (26/5), mengutip data BPS nampak bahwa sebagian besar penduduk miskin di Indonesia memang tinggal di pedesaan dengan pekerjaan utama di sektor pertanian.
Meski selama periode Maret 2006-Maret 2007, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,20 juta dan di daerah perkotaan berkurang 0,93 juta orang, namun pada dasarnya persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Sampai bulan Maret 2007, sekitar 63,52% penduduk miskin berada di daerah pedesaan.
Kedua, adalah peningkatan taraf kesehatan termasuk pengendalian terhadap berbagai penyakit pembunuh utama. Ketiga, ialah peningkatan pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan dan memastikan bahwa setiap penduduk atau keluarga yang ada memiliki keahlian yang dibutuhkan untuk menjalankan dan mengembangkan perekonomian lokal. Keempat adalah, peningkatan sarana dan prasarana infrastruktur seperti jalan, sanitasi, listrik hingga air minum yang layak dan bahkan internet.
Persoalannya, seperti juga terjadi di sebagian besar negara berkembang persoalan keterbatasan anggaran menjadi hambatan utama. Di satu sisi di sinilah sebenarnya letak pentingnya aktualisasi sebuah data statistik sebagai upaya agar pemerintah dapat benar-benar menggunakan dana secara lebih terarah sesuai dengan prioritas.
Di sisi lain, fakta yang terjadi menunjukan bahwa ada beberapa daerah yang sudah mampu memberikan pelayanan sekolah gratis terutama pada tingkatan SD. Kondisi ini sekaligus memberikan sebuah kenyataan yang menunjukan bahwa sebenarnya ada kemampuan untuk mampu melaksanakan pembangunan manusia.
Begitu pula dengan pelayanan kesehatan gratis pada kelas tiga di rumah sakit. Artinya, meski masih dalam bentuk-bentuk yang terbatas, pemenuhan kebutuhan dasar secara gratis sebagai bagian dari pembangunan manusia masih dimungkinkan untuk dilakukan. Hal ini tentunya dengan berbagai prasyarat adanya keinginan politik serta koordinasi kerja dengan diikuti penegakan hukum yang lebih baik dari pemerintah di pusat dan daerah.
Terkait dengan konteks inilah, maka alokasi anggaran menjadi faktor kunci yang harus menjadi perhatian. Pemberian subsidi secara tidak terarah untuk sektor-sektor diluar kebutuhan dasar (termasuk BBM) adalah sebuah kesalahan besar dalam sebuah program pembangunan manusia.
Sebaliknya, dengan melakukan efisiensi anggaran, pemerintah bisa menghindari dari apa yang oleh Sach disebut dengan jebakan fiskal (fiscal trap), yaitu salah satu aspek yang menjadi penyebab kegagalan pemerintah untuk bisa meningkatkan pelayanan barang dan jasa publik.
Sayangnya hal inilah yang seharusnya lebih bisa dipahami oleh masyarakat dalam menilai kebijakan kenaikan harga BBM bulan Mei 2008. Realokasi anggaran subsidi BBM sebagai upaya untuk tetap menjaga pemenuhan kebutuhan dasar memang menyeret perekonomian dan masyarakat kepada lonjakan harga-harga untuk sementara waktu. Tapi untuk sementara waktu pula, BLT berfungsi sebagai mendorong kembali tingkat permintaan hingga tercapai keseimbangan harga baru.
Meski pada beberapa waktu tersebut juga tidak mudah menghitung harga ekonomi dan sosial yang ditimbulkannya, tapi inilah yang sebenarnya seringkali dikatakan oleh pemerintah sebagai penyelamatan anggaran. Sebuah penggunaan instrumen fiskal sebagai cara agar kebutuhan dasar (pendidikan dan kesehatan) masyarakat tetap terpenuhi.
Sesuai dengan namanya, maka segala sesuatu yang terkait di dalamnya jelas merupakan kebutuhan bagi setiap orang. Terpenuhinya kebutuhan dasar bagaimanapun juga akan membawa efek multiplier yang lebih luas. Melalui pendidikan yang baik misalnya, diharapkan setiap orang akan dapat lebih mudah memperoleh akses kepada pekerjaan dan tingkat pendapatan yang lebih baik pula.
Dengan demikian, mungkin “tidak terlalu relevan” lagi apakah masih banyak orang yang tinggal di rumah dengan dinding bambu serta berlantaikan tanah. Bahkan lebih luas lagi ada berapakah sebenarnya jumlah penduduk miskin di suatu daerah serta peningkatannya sebagai akibat penerapan sebuah kebijakan. Sebab pada akhirnya selama pemerintah baik pusat dan daerah belum bisa memberikan akses pemenuhan kebutuhan dasar kepada setiap anggota masyarakat, maka itu artinya dalam konteks pembangunan manusia persoalan kemiskinan masih akan terus membayangi. (Nugroho Pratomo/ Peneliti INRISE & Litbang Media Group)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar