Senin, 09 Juni 2008

PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR: UPAYA MELEPASKAN DIRI DARI KEMISKINAN

Mungkin hampir tidak ada satupun negara di dunia ini yang akan bisa terlepas sepenuhnya dari persolan kemiskinan. Satu hal yang paling mungkin dilakukan tentunya adalah bagaimana menciptakan agar kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin tidak terlalu jauh. Namun untuk mencapainya diperlukan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang lebih komprehensif.

Kebutuhan dasar

Perubahan paradigma pembangunan dunia sejak awal dekade 1990an, memang telah memaknai pembangunan lebih dari sekedar tingkat pertumbuhan ekonomi. Sebab pada kenyataannya pembangunan yang semata didasarkan pada berbagai indikator ekonomi (economic development) justru lebih sering menimbulkan banyak distorsi.

Begitu pula dengan perhitungan laju pertumbuhan ekonomi yang seringkali tidak cukup mampu menunjukan pembangunan kondisi sosial ekonomi secara lebih riil. Akibatnya, di tengah tingginya pertumbuhan ekonomi, persoalan kemiskinan lebih sering menjadi persoalan yang bersifat laten. Terutama bagi negara-negara berkembang.

Menilik kembali pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia, kondisi yang terjadi selama Orde Baru telah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Ketika itu semua orang tahu bahwa pada puncaknya di tahun 1995-1996 pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 7% per tahun.

Melalui tingkat pertumbuhan tersebut jumlah orang miskin di Indonesia dapat ditekan menjadi 34 juta atau 17,7% dari total penduduk. Jika dibandingkan tahun 1976, kondisi tersebut jelas jauh lebih baik, Sebab dengan jumlah mencapai 54 juta, persentase orang miskin terhadap jumlah penduduk saat itu sebesar 40%.

Namun demikian, data Human Development Report tahun 1998 menunjukan bahwa untuk kondisi tahun 1995, dengan tingkat pendapatan perkapita (PPP) yang mencapai hampir US$ 4000, nilai HDI Indonesia justru hanya 0,679. Laporan HDR 2007/2008 menunjukan bahwa untuk tahun 2005 HDI Indonesia adalah 0,728 dengantingkat pendapatan perkapita (PPP) US$ 3843 (lihat tabel).

Tabel Trend Indeks Pembangunan Manusia Negara-negara ASEAN

Negara

1975

1980

1985

1990

1995

2000

2005

Singapura

0.729

0.762

0.789

0.827

0.865

..

0.922

Malaysia

0.619

0.662

0.696

0.725

0.763

0.790

0.811

Thailand

0.615

0.654

0.679

0.712

0.745

0.761

0.781

Filipina

0.655

0.688

0.692

0.721

0.739

0.758

0.771

Indonesia

0.471

0.533

0.585

0.626

0.670

0.692

0.728

Vietnam

..

..

0.590

0.620

0.672

0.711

0.733

Sumber: UNDP, Human Development Report 2007/2008


Apabila dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya yaitu Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand, posisi HDI mereka berada di atas Indonesia. Hal mengartikan pula bahwa pembangunan yang sekedar menekankan kepada pertumbuhan ekonomi tidak cukup untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Mencermati berbagai indikator yang menjadi penilaian HDI, maka satu aspek yang patut menjadi perhatian adalah soal pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs). Jika mau kembali kepada definisi kemiskinan, maka ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar ini biasa disebut dengan kemiskinan absolut.

Jeffrey D. Sachs dalam bukunya The End of Poverty(2005) mengistilahkan bentuk kemiskinan ini sebagai the extreme poverty. Menurutnya, bentuk kemiskinan dalam konteks ini merupakan ketidakmampuan seseorang, suatu keluarga atau sekelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Baik itu dalam soal pangan maupun nonpangan.

Dalam soal non pangan ini menyangkut pula di dalamnya adalah pendidikan dasar, kesehatan, perumahan, serta kebutuhan transportasi. Pertanyaannya sekarang ialah bagaimana sebenarnya upaya pemenuhan kebutuhan dasar ini selama ini di Indonesia?

Kemiskinan relatif

Pasca krisis ekonomi, persoalan kebutuhan dasar tersebut memang banyak kembali mengemuka. Terlepas dari ketertutupan informasi selama Orde Baru, namun fakta yang ada akhir-akhir ini menunjukan masih terjadi kasus-kasus seperti kekurangan gizi di beberapa daerah dan tingginya angka putus sekolah. Munculnya masalah-masalah seperti ini memang tidaklah terlalu mengejutkan. Karena seperti telah banyak diduga sebelumnya, ancaman paling menakutkan dari krisis ekonomi adalah terjadinya generasi yang hilang (the lost generation).

Begitu pula ketika seperti saat ini ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) atau penyaluran Raskin. Banyak perdebatan muncul ketika pemerintah dalam pencairan BLT tahap pertama 2008 masih memanfaatkan data kemiskinan tahun 2005. Akibatnya, beberapa kepala desa dari berbagai daerah di Indonesia kemudian berbondong-bondong melakukan protes. Meski mengaku tidak menolak pengucuran dana BLT, namun mereka menilai bahwa bentuk bantuan seperti itu bukan sebuah hal yang mendidik masyarakat.

Munculnya perdebatan seperti tersebut di atas, pada dasarnya adalah adanya penggunaan berbagai ukuran atau indikator yang lebih menunjukan kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif ini diukur dari berbagai indikator seperti ketimpangan tingkat pendapatan, bentuk rumah atau hal-hal yang lebih bersifat fisik lainnya.

Jika kemudian hal tersebut hendak dikaitkan dengan keberagaman sosial budaya yang ada di Indonesia. Tentunya dalam menentukan standar kemiskinan fisik di tiap daerah menjadi berbeda-beda. Oleh karenanya jika mau mengukur kemiskinan relatif tersebut, maka tiap daerah harus bisa menentukan berbagai indikator khusus yang memang menjadi spesifikasi daerahnya.

Indikator-indikator inilah yang nantinya menjadi ukuran-ukuran tambahan atau pelengkap dalam menilai apakah seseorang atau keluarga masuk ke dalam kelompok miskin di suatu daerah.

Di satu sisi disadari bahwa berbagai indikator fisik yang selama ini digunakan merupakan indikator yang relatif paling mudah terlacak dan dapat dibuktikan secara kasat mata. Tapi di sisi lain, juga semakin disadari bahwa apa yang ditunjukan secara fisik tersebut hanyalah merupakan representasi atau penggambaran atas kegagalan pembangunan kualitas manusia itu sendiri.

Artinya, kemiskinan relatif yang ditunjukan oleh berbagai indikator fisik tersebut hanyalah hasil akhir ketika sebuah seseorang atau keluarga tidak lagi mampu memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar dan kesehariannya. Tapi hal itu tidak cukup mampu menunjukan sejauhmana seseorang atau keluarga terjebak dalam kemiskinan dan apakah mereka mampu keluar dari kemiskinan itu sendiri.

Keluar dari kemiskinan

Terkait dengan hal tersebut, Sachs kemudian dalam buku terbarunya, Common Wealth: Economics for a Crowded Planet (2008) mencoba menyampaikan empat tipe invetasi dasar sebagai upaya untuk keluar dari kemiskinan tersebut (escape from extreme poverty).

Pertama adalah dorongan untuk peningkatan produktivitas pendapatan/ mata pencaharian di sektor pertanian. Argumentasi ini tentunya menjadi sangat relevan dalam kasus Indonesia. Sebab seperti pernah disampaikan dalam analisis Media Indonesia (26/5), mengutip data BPS nampak bahwa sebagian besar penduduk miskin di Indonesia memang tinggal di pedesaan dengan pekerjaan utama di sektor pertanian.

Meski selama periode Maret 2006-Maret 2007, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,20 juta dan di daerah perkotaan berkurang 0,93 juta orang, namun pada dasarnya persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Sampai bulan Maret 2007, sekitar 63,52% penduduk miskin berada di daerah pedesaan.

Kedua, adalah peningkatan taraf kesehatan termasuk pengendalian terhadap berbagai penyakit pembunuh utama. Ketiga, ialah peningkatan pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan dan memastikan bahwa setiap penduduk atau keluarga yang ada memiliki keahlian yang dibutuhkan untuk menjalankan dan mengembangkan perekonomian lokal. Keempat adalah, peningkatan sarana dan prasarana infrastruktur seperti jalan, sanitasi, listrik hingga air minum yang layak dan bahkan internet.

Persoalannya, seperti juga terjadi di sebagian besar negara berkembang persoalan keterbatasan anggaran menjadi hambatan utama. Di satu sisi di sinilah sebenarnya letak pentingnya aktualisasi sebuah data statistik sebagai upaya agar pemerintah dapat benar-benar menggunakan dana secara lebih terarah sesuai dengan prioritas.

Di sisi lain, fakta yang terjadi menunjukan bahwa ada beberapa daerah yang sudah mampu memberikan pelayanan sekolah gratis terutama pada tingkatan SD. Kondisi ini sekaligus memberikan sebuah kenyataan yang menunjukan bahwa sebenarnya ada kemampuan untuk mampu melaksanakan pembangunan manusia.

Begitu pula dengan pelayanan kesehatan gratis pada kelas tiga di rumah sakit. Artinya, meski masih dalam bentuk-bentuk yang terbatas, pemenuhan kebutuhan dasar secara gratis sebagai bagian dari pembangunan manusia masih dimungkinkan untuk dilakukan. Hal ini tentunya dengan berbagai prasyarat adanya keinginan politik serta koordinasi kerja dengan diikuti penegakan hukum yang lebih baik dari pemerintah di pusat dan daerah.

Terkait dengan konteks inilah, maka alokasi anggaran menjadi faktor kunci yang harus menjadi perhatian. Pemberian subsidi secara tidak terarah untuk sektor-sektor diluar kebutuhan dasar (termasuk BBM) adalah sebuah kesalahan besar dalam sebuah program pembangunan manusia.

Sebaliknya, dengan melakukan efisiensi anggaran, pemerintah bisa menghindari dari apa yang oleh Sach disebut dengan jebakan fiskal (fiscal trap), yaitu salah satu aspek yang menjadi penyebab kegagalan pemerintah untuk bisa meningkatkan pelayanan barang dan jasa publik.

Sayangnya hal inilah yang seharusnya lebih bisa dipahami oleh masyarakat dalam menilai kebijakan kenaikan harga BBM bulan Mei 2008. Realokasi anggaran subsidi BBM sebagai upaya untuk tetap menjaga pemenuhan kebutuhan dasar memang menyeret perekonomian dan masyarakat kepada lonjakan harga-harga untuk sementara waktu. Tapi untuk sementara waktu pula, BLT berfungsi sebagai mendorong kembali tingkat permintaan hingga tercapai keseimbangan harga baru.

Meski pada beberapa waktu tersebut juga tidak mudah menghitung harga ekonomi dan sosial yang ditimbulkannya, tapi inilah yang sebenarnya seringkali dikatakan oleh pemerintah sebagai penyelamatan anggaran. Sebuah penggunaan instrumen fiskal sebagai cara agar kebutuhan dasar (pendidikan dan kesehatan) masyarakat tetap terpenuhi.

Sesuai dengan namanya, maka segala sesuatu yang terkait di dalamnya jelas merupakan kebutuhan bagi setiap orang. Terpenuhinya kebutuhan dasar bagaimanapun juga akan membawa efek multiplier yang lebih luas. Melalui pendidikan yang baik misalnya, diharapkan setiap orang akan dapat lebih mudah memperoleh akses kepada pekerjaan dan tingkat pendapatan yang lebih baik pula.

Dengan demikian, mungkin “tidak terlalu relevan” lagi apakah masih banyak orang yang tinggal di rumah dengan dinding bambu serta berlantaikan tanah. Bahkan lebih luas lagi ada berapakah sebenarnya jumlah penduduk miskin di suatu daerah serta peningkatannya sebagai akibat penerapan sebuah kebijakan. Sebab pada akhirnya selama pemerintah baik pusat dan daerah belum bisa memberikan akses pemenuhan kebutuhan dasar kepada setiap anggota masyarakat, maka itu artinya dalam konteks pembangunan manusia persoalan kemiskinan masih akan terus membayangi. (Nugroho Pratomo/ Peneliti INRISE & Litbang Media Group)

Jumat, 06 Juni 2008

POTENSI INDUSTRI OTOMOTIF NASIONAL PASCA KENAIKAN HARGA BBM

Pemain industri otomotif

Besarnya potensi pasar otomotif di Indonesia memang telah lama menarik perhatian para produsen otomotif dunia. Namun pada kenyataannya, sebagian besar pangsa pasar otomotif nasional terutama mobil masih dikuasai oleh produsen-produsen dari Jepang. Sampai dengan tahun 2007 lalu, Toyota masih merupakan produsen mobil yang berhasil memegang pangsa pasar terbesar hingga 35%. Diikuti oleh Mitsubishi, Suzuki dan Daihatsu. Meski beberapa pabrikan lain juga terus bermunculan terutama yang berasal dari Korea Selatan disamping sejumlah mobil Eropa yang telah ada sebelumnya, namun dominasi produk-produk mobil Jepang tetap belum bisa tersaingi secara signifikan.

Berdasarkan data dari Gaikindo, diantara berbagai merek yang ada atau yang baru muncul dan kini beredar di masyarakat konsumen, sejak tahun 2006-2007, Toyota Avanza memang telah menjadi merek mobil yang paling laris. Penjualannya sendiri telah mengalahkan merek Toyota Kijang Innova. Pada tahun 2006, penjualan Toyota Avanza telah mencapai lebih dari 52 ribu, kemudian naik menjadi 62 ribu unit di tahun 2007. Sebaliknya, Kijang Innova sendiri di tahun 2006 volume penjualannya hanya sebesar 46,6 ribu unit dan turun menjadi 40,17 ribu di tahun 2007.

Diluar Toyota, beberapa pabrikan lain yang berhasil meningkatkan penjualannya adalah Daihatsu Xenia. Hal ini sebenarnya tidak terlalu mengherankan sebab merek ini diproduksi sebagai “kembaran” dari Toyota Avanza. Dengan menerapkan strategi pemasaran harga yang lebih rendah namun dengan kualitas kompenen yang sama, maka Daihatsu Xenia juga telah berhasil meningkatkan penjualannya dari 23,6 ribu di tahun 2006 menjadi 28,9 ribu unit di tahun berikutnya.

Prestasi penjualan yang dicapai oleh Xenia dan Avanza memang berpengaruh besar pada komposisi penjualan kendaraan menurut kategorinya. Jika dilihat berdasarkan kategorinya, maka setidaknya selama tahun 2006-2007 penjualan terbesar untuk kelompok kendaraan penumpang memang pada jenis MPV. Karenanya, tidak terlalu mengherankan pula apabila penjualan kendaraan kategori ini mengalami peningkatan penjualan yang cukup pesat seiring dengan peningkatan penjualan kedua merek tersebut.

Ketika di tahun 2007 lalu diadakan The 15th Indonesia International Motor Show (IIMS), data penjualan dari Gaikindo menyebutkan bahwa hingga triwulan ketiga 2007, penjualan mobil untuk kelas Multi Purpose Vehicle (MPV/serba guna), masih mendominasi pangsa pasar mobil nasional. Total pasar mobil kelas MPV mencapai 209.767 unit. Sedangkan untuk penjualan kendaraan Low Sport Utility Vehicle (L-SUV) dan mobil untuk segala medan (Sport Utility Vehicle/SUV) masing masing sebesar 24.133 unit dan 23.403 unit. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, maka untuk jenis SUV jumlahnya meningkat sekitar 15%.

Dampak kenaikan harga BBM

Seiring dengan semakin mahalnya harga minyak mentah di pasar dunia, di berbagai negara ancaman inflasi yang tinggi masih akan terus membayangi. Tingginya inflasi ini tentu akan banyak berpengaruh pada berbagai sektor industri, dimana termasuk di dalamnya adalah industri otomotif. Hal ini terutama terkait dengan semakin mahalnya ongkos bahan baku dan juga distribusi. Khusus dalam industri otomotif hal tersebut tidak hanya akan terjadi pada impor mobil utuh, tapi industri otomotif luar negeri yang memproduksi mobil dalam bentuk terurai (completely knock down/CKD) juga akan mengalami kenaikan ongkos produksinya. Karenanya produk otomotif impor dalam bentuk terurai sebagian besar didatangkan dari Jepang juga akan mengalami kenaikan harga. Di Jepang sendiri, industri otomotifnya akan mengalami peningkatan biaya produksi sebagai akibat biaya produksi baja di negara tersebut yang terpengaruh langsung kenaikan minyak mentah. Jadi bagi para ATPM kemungkinan akan ada penurunan margin keuntungan.

Meski demikian, setelah pemerintah menaikan harga BBM sebesar 28,7% secara umum penjualan otomotif di Indonesia tidak akan banyak terpengaruh. Sebab selama kenaikan BBM di bawah 30%, hal tersebut tidak akan mempengaruhi pertumbuhan otomotif. Sebab struktur industri otomotif nasional saat ini dinilai relatif kuat menghadapi kenaikan harga minyak mentah dunia. Selain karena makin banyak industri otomotif yang menerapkan standar Euro2 untuk meningkatkan efisiensi penggunaan BBM bagi produk-produknya, industri perakitan nasional hanya memproduksi kendaraan berkapasitas mesin 1.500 cc ke bawah, kenaikan harga bahan bakar hanya akan berpengaruh signifikan terhadap kendaraan jenis 3.000 cc ke atas. Satu hal yang patut diingat hanyalah bahwa meskipun produk-produk otomotif kini banyak yang berlabel hemat BBM, akan tetapi dengan jumlah unit yang terjual juga semakin meningkat sehingga akan menaikkan pula jumlah konsumsi bahan bakarnya.

Dalam struktur biaya produksi otomotif nasional sekarang, kenaikan harga mobil lebih dipengaruhi instrumen pajak yang diterapkan pemerintah. Jika sebuah produk otomotif dikenakan pajak barang mewah atau bea masuk, dan struktur pajaknya naik, maka harga mobil juga akan mengalami kenaikan.

Perkembangan Industri Otomotif

Dari sisi produksi, pengembangan industri otomotif memang telah lama menjadi perhatian banyak kalangan di Indonesia. Perkembangan industri otomotif di semua negara ketiga termasuk Indonesia, ketergantungannya pada negara maju masih sangat tinggi, bukan hanya tergantung teknologinya tapi juga tergantung pada kompetensi dan keuangannya. Sebagai contoh, sampai saat ini kita tidak hanya tergantung untuk membeli mobil Jepang saja, tapi uangnya juga kita pinjam. Kemudian uang tersebut digunakan supaya kita bisa beli mobilnya.

Kita tentunya masih ingat bahwa sebelum krisis ekonomi terjadi di tahun 1998, pemerintah Orde Baru sangat bersemangat untuk mengembangkan proyek mobil nasional (Mobnas). Meski menimbulkan berbagai pro dan kontra, namun pemerintah ketika itu tetap bersikeras untuk melanjutkan program tersebut. Kontraversi tersebut terutama muncul sebagai akibat adanya program kerjasama dengan pihak industri otomotif Korea Selatan untuk mendatangkan mobil secara utuh (built-up) tanpa dikenai bea masuk. Sebagian besar pabrikan mobil terutama dari Jepang yang sebelumnya telah ada dan menguasai pangsa pasar mobil di Indonesia, merasa terancam dan menilai bahwa kebijakan tersebut sangat diskriminatif. Akibatnya, mereka juga sekaligus mengajukan gugatan ke organisasi perdagangan dunia (WTO).

Namun satu hal yang patut dicatat, bahwa salah satu hal yang membedakan dengan impor mobil yang ada selama ini adalah program mobil nasional saat itu, tidak hanya sekedar mendatangkan mobil tapi mereka sekaligus juga telah membeli cetak biru (blue print) atas rancangan mobil yang mereka datangkan. Hal inilah yang sempat memperkuat alasan mereka untuk terus mengembangkan program mobil nasional hingga akhirnya terhenti akibat terjadinya krisis moneter dan ekonomi yang berujung pada berakhirnya kekuasaan Orde Baru.

Terlepas dari berbagai persoalan tersebut, pengembangan mobil nasional pada dasarnya juga masih harus menghadapi berbagai kendala. Terutama dalam soal kesiapan industri komponen dan bahan baku. Pada industri komponen, hai ini terkait dengan kesiapan penerapan sistem produksi yang berasaskan prinsip menghasilkan produk secara tepat jumlah, tepat kualitas, dan tepat waktu. Secara umum, pelaksanaan sistem produksi ini mensyaratkan fluktuasi produksi yang tidak terlalu besar dan dukungan pemasok komponen yang baik.

Salah satu langkah awal agar dapat menjamin kehandalan pasokan ini yang harus ditempuh adalah dengan menciptakan dan mengembangkan industri komponen yang berkualitas dan berkesinambungan. Sebab jika dilihat dari karateristik industrinya, maka pada dasarnya kontribusi yang diberikan oleh industri komponen dalam nilai tambah yang dihasilkan dalam industri otomotif justru relatif lebih besar ketimbang kendaraan yang dihasilkan pada aktivitas perakitan akhir(John F Krafcik, 1988).

Di dunia industri otomotif yang berkembang saat ini, salah satu sistem yang banyak diterapkan untuk bisa meningkatkan efisiensi produksi adalah sistem produksi just-in time (JIT). Sistem seperti ini sebenarnya pada awalnya dipelopori Toyota. Namun kini pada perkembangan selanjutnya, hal tersebut diikuti hampir seluruh produsen otomotif dunia saat ini. Sistem prodiksi ini sebenarnya juga semakin mengkokohkan peranan industri komponen dalam industri otomotif.

Sistem just-in time pada dasarnya adalah sebuah sistem produksi yang berasaskan prinsip bagaimana menghasilkan produk secara tepat jumlah, tepat kualitas, dan tepat waktu. Dalam pelaksanaannya sistem produksi ini juga mensyaratkan fluktuasi produksi yang tidak terlalu besar dan dukungan pemasok komponen yang baik. Karenanya, salah satu prasyarat penting yang ditempuh adalah dengan menciptakan jumlah industri komponen yang mencukupi.

Sayangnya di Indonesia sebagian besar dari industri tersebut masih bersifat sebagai industri rumah tangga (home industry). Masih kurangnya pembinaan dari pemerintah serta prinsipal merek-merek otomotif besar yang ada selama ini di Indonesia mengakibatkan industri yang telah ada kondisinya masih jauh dari sentuhan pengembangan kemajuan teknologi dan praktek manajemen modern. Sebaliknya, beberapa industri komponen yang ada dan berada satu atap dengan agen tunggal pemegang merek (ATPM) justru hanya memperpanjang rantai produksi. Sebagai dampaknya lagi, penciptaan persaingan yang fair dalam hal kualitas dan harga justru terasa semakin terjadi.

Salah satu faktor yang sering dipandang sebagai keunggulan komparatif Indonesia adalah ongkos tenaga kerja yang murah. Namun pada industri otomotif, keuntungan tersebut jelas tidak lagi terlalu relevan. Sebab terdapat faktor lain yang lebih penting, yaitu masalah ketersediaan bahan baku. Jika dicermati kembali, hampir seluruh negara produsen otomotif dunia telah terlebih dahulu memiliki industri dasar sebagai penyedia bahan baku. Sementara di Indonesia, pengembangan industri tersebut nampaknya belum menunjukan hasil yang cukup maksimal.

Struktur pasar untuk beberapa jenis industri dasar seperti industri besi-baja, plastik, lembaran timah, tembaga, kaca, karet, dan industri kimia hingga saat ini masih berbentuk monopoli atau oligopoli. Dengan demikian, tidak tercipta sebuah iklim kompetisi yang baik dan mampu menghasilkan produk-produk yang berkualitas serta dengan harga yang kompetitif. Sebagai dampaknya, pengembangan industri otomotif domestik dipaksa untuk berhadapan dengan mahalnya biaya logistik yang harus ditanggung industri otomotif. Hal ini tidak lain disebabkan oleh terbatasnya jumlah pasokan bahan baku. Padahal besarnya biaya logistik tersebut pada akhirnya akan dikompensasikan ke dalam harga mobil oleh industri otomotif.

Pada perkembangannya, berbagai kendala tersebut sedikit demi sedikit sebenarnya mulai bisa dihadapi dengan diselesaikan. Salah satu satunya adalah ketika pada beberapa tahun lalu sebuah perusahaan PT Wahana Perkasa Autojaya, anak perusahaan Group Texmaco, berhasil mempromosikan sebuah produk truk yang bernama truk “Perkasa”. Sayangnya, seiring dengan persoalan yang melanda kelompok usaha tersebut, pabrik itu akhirnya tidak bisa terus mengembangkan produksinya.

Sebenarnya, industri ini tidaklah sekedar pabrik truk semata. Namun lebih dari itu, industri yang dimiliki oleh grup usaha ini merupakan salah satu industri terintegrasi hulu hingga hilir yang mampu membuat segala perkakas mulai dari mesin-mesin tekstil dan berbagai suku cadangnya, alat-alat pertanian hingga berbagai jenis kendaraan tempur. Meski menghadapi berbagai persoalan, namun hingga beberapa tahun terakhir industri ini masih mengerjakan berbagai truk dan bus berdasarkan pesanan. Termasuk pemenuhan pesanan dari negera-negara tetangga. Sementara untuk pasar domestik, sejak diluncurkan pertengahan tahun 1998, Perkasa belum banyak tampak di jalanan. Namun akhirnya beberapa instansi seperti TNI, Polri, serta sejumlah kecil perusahaan jasa transportasi mulai banyak yang sudah menggunakan produk ini.

Dari sisi kualitas, pada dasarnya truk ini tidak kalah dengan merek lain. Truk dengan kandungan lokal lebih dari 90% tersebut, telah menggunakan berbagai jenis teknologi yang memiliki lisensi dari pabrik pembuat truk ternama di dunia. Misalnya saja mesin diesel, persneling, axle, Texmaco memperoleh lisensi dari Styer, Austria. Sementara untuk mesin, truk ini menggunakan teknologi Cummings, dari Amerika Serikat (AS). Selain itu, teknologi persneling Perkasa mengadopsi teknologi ZF dari Jerman. Salah satu merek truk yang menggunakan teknologi ini adalah MAN. MAN adalah merek truk Eropa yang terkenal kehandalannya. Begitu juga dengan axle juga menggunakan teknologi Eston, AS. Sedangkan untuk bodi dan casis, dipakai teknologi Leyland, Inggris.

Apa yang berhasil dilakukan oleh pabrik ini sebenarnya salah satu contoh bagaimana industri komponen dan bahan baku menjadi dasar yang kuat bagi pengembangan industri otomotif domestik. Sebab, berangkat dari kemampuan dalam membuat mesin tekstil yang sangat juga mengutamakan tingkat presisi, pada akhirnya mempermudah Grup Texmaco dalam membuat dan mengembangkan mesin mobil. Beberapa pabrik yang dimiliki mereka di daerah Subang dan Kaliwungu, Jawa Tengah, sebenarnya sangat memungkinkan untuk membuat berbagai pelat atau batangan logam dengan berbagai tingkat kekuatan dan bentuk.

Meski demikian, pada akhirnya kenyataan yang telah terjadi dengan industri truk ini sekali lagi menunjukan bahwa, meski memiliki industri komponen domestik potensi yang besar dalam mengembangkan industri otomotif nasional, namun pada akhirnya hal tersebut seringkali kurangnya dukungan kepercayaan tidak hanya dari pemerintah tapi juga dari masyakat konsumen. Padahal di tingkat ASEAN persaingan industri ini juga semakin ketat. Beberapa negara tetangga masih terus berusahan menunjukan produk otomotif dalam negerinya yang berkualitas.

Dalam industri otomotif ASEAN, hingga tahun 2003 saja Thailand mendominasi dengan dukungan industri komponen sebanyak 1.500 unit. Pengembangan industri komponen di beberapa negara kawasan Asia lain seperti India dan China juga terus mengalami peningkatan. Padahal dalam soal kualitas dari produk komponen lokal sebenarnya cukup bersaing. Namun yang perlu terus dilakukan adalah peningkatan dan pengawasan mutu. Sedangkan soal teknologi produk sudah lagi bukan menjadi masalah utama. Sebab secara umum teknologinya sudah dimiliki dan dikuasai, hanya, penerapannya yang dibatasi. Hal ini penting sebagai langkah untuk memberikan jaminan kepastian dan kesinambungan kualitas produk.

Seiring dengan pemberlakuan AFTA, tantangan yang dihadapi oleh industri komponen dalam negeri juga semakin besar bahkan menekan para produsen dari berbagai aspek, mulai dari kualitas hingga strategi pemasaran. Industri komponen Indonesia, saat ini memang terdiri dari OEM (Original Equipment Manufacturing) untuk Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) dan perakitan, serta produk after market, dimana di dalamnya juga termasuk OEM, Replacement parts, maupun imitasi. Namun khusus untuk ATPM, market share-nya sebesar 15% dengan harga dan kualitas yang tinggi. Sedangkan, untuk produk after market sebesar 85%. Jika dibandingkan dengan harga yang wajar dan untuk produk imitasi, jelas harganya masih relatif lebih murah. Sebab sebagian besar distribusi produk komponen lokal kita masih menggunakan jalur pemasaran tradisional.

Terlepas dari berbagai persoalan di atas, hal tersebut bukan berarti bahwa produksi otomotif Indonesia mengalami stagnasi. Jika dilihat dari data yang dikeluarkan oleh Gaikindo, maka akan nampak terlihat bahwa produksi kendaraan bermotor domestik terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006, jumlah produksi kendaraan bermotor (mobil) mencapai 296.008 unit, kemudian naik 39% di tahun 2007 menjadi 411.638 unit. Bahkan dengan tren peningkatan produksi ini, Indonesia juga terus dapat meningkatkan ekspor kendaraan bermotornya. Jumlah ekspor kendaraan bermotor tahun 2007 dalam bentuk CBU mencapai 60.267 unit, CKD 105.642 set dan komponen 290475 pieces.

Berangkat dari kenyataan dan fakta inilah sebenarnya dapat dikatakan bahwa industri otomotif di Indonesia pada umumnya tetap memiliki prospek masa depan yang cerah untuk terus dikembangkan. Meski harga BBM saat ini telah naik dan akan cenderung naik hingga sesuai dengan harga internasional, namun hal tersebut bukan berarti akan menyurutkan pula pembelian kendaraan bermotor di Indonesia. Seiring dengan perkembangan yang pesa di bidang teknologi otomotif, tentu hal tersebut juga akan menjadi jaminan bahwa produksi mobil tetap akan menjadi salah satu sektor industri yang menjanjikan. Tinggal kini bagaimana masyarakat dan juga pemerintah Indonesia mampu membaca dan memfaatkannya sebagai salah satu sumber pendapatan negara. (Nugroho Pratomo/ Peneliti INRISE & Litbang Media Group)