Sabtu, 23 Februari 2008

MENJADIKAN GANDUM SEBAGAI PENGGANTI BERAS: PELUANG YANG MASIH TERBUKA

Analisis Media Indonesia 22 Februari 2008

Peningkatan produksi dan produktivitas hasil-hasil pertanian di Indonesia nampanya sudah menjadi kebijakan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Seiring terus bertambahnya jumlah penduduk, disadari atau tidak produksi dan produktivitas produk-produk pertanian Indonesia ternyata masih terbilang sangat kecil dan rendah. Karenanya, jika dalam beberapa waktu terakhir ini, masyarakat harus merasakan kelangkaan dan mahalnya sejumlah barang kebutuhan pokok, tentu menjadi kenyataan yang tidak terhindarkan.

Apalagi jika kemudian hal ini dikaitkan dengan rencana pengembangan BBN yang tentunya akan lebih banyak lagi membutuhkan berbagai hasil-hasil pertanian yang sebelumnya lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pakan ternak.

Pangan Indonesia-India

Mencermati soal pemenuhan kebutuhan pangan domestik dengan memperbandingkan kemampuan produksi serta produktivitas yang ada saat ini memang cukup menyedihkan. Sebab, meski untuk beberapa jenis produk kemampuan produksinya relatif mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun yang jelas adanya kebijakan impor yang di satu sisi juga bisa dinilai sebagai sebuah pertanda bahwa produksi domestik belum bisa secara penuh memenuhi kebutuhan yang ada.

Apalagi jika kemudian kenyataan tersebut dibandingkan dengan negara-negara lain. India misalnya. Data dari Departemen Pertanian negara tersebut menunjukan bahwa kemampuan produksi untuk berbagai bahan pangan, telah jauh melampaui produksi Indonesia. Bahkan termasuk diantaranya adalah beras. Dibandingkan dengan Indonesia, kebutuhan konsumsi beras India juga memang lebih besar. Data dari Departemen Pertanian AS menyebutkan bahwa konsumsi beras India pada tahun 2005 mencapai 85 juta ton dibandingkan dengan Indonesia yang hanya sebesar 36 juta ton. Tingkat konsumsi beras pada tahun 2006 diperkirakan konsumsi beras India akan meningkat menjadi 87,7 juta ton sementara konsumsi Indonesia justru akan turun menjadi 35,6 juta ton.

Penurunan konsumsi beras ini terutama juga terkait dengan perubahan pola konsumsi masyarakat yang cenderung mengurangi kebutuhan karbohidrat dan mengganti variasi jenis makanan yang dikonsumsi.

Meski demikian, tentunya ada banyak aspek lain yang bisa dilihat dari produksi-konsumsi pangan ini. Hal ini terutama juga terkait dengan soal kebijakan pangan yang pernah ditempuh pemerintah di masa-masa sebelumnya. Memahami hal ini, pada dasarnya apa yang terjadi tersebut tidak terlepas dari kegagalan pemerintahan lalu dalam menjalankan program diversifikasi pangannya. Program diversifikasi konsumsi pangan yang dicanangkan sejak tahun 1974 diharapkan dapat mengurangi ketergantungan penduduk pada beras. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan konsumsi pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian.

Namun demikian, data dari Departemen Pertanian menunjukan bahwa beras hingga saat ini masih menjadi produk bahan pangan utama di sebagian besar masyarakat. Sebagai perbandingan, untuk komoditas jagung lebih dari 40% dari total konsumsi jagung Indonesia ternyata digunakan untuk pakan dan konsentrat pakan ternak.

Begitu pula untuk komoditas pangan pengganti beras lainnya seperti gandum, dengan tingkat ketergantungan yang relatif besar terhadap impor, konsumsi gandum Indonesia relatif masih sangat terbatas. Di India, laporan World Agricultural Supply and Demand Estimates yang dipublikasikan oleh Departemen Pertanian AS tanggal 8 Februari 2008 menunjukan bahwa total konsumsi gandum India tahun 2005 telah mencapai 70 juta ton dengan produksi domestik sebesar 68,64 juta ton dan impor 0,03 juta ton. Tahun 2006, diperkirakan konsumsinya meningkat menjadi 73,4 juta ton dengan produksi sebanyak 69,4 juta ton serta impor 6,7 juta ton.

Satu hal yang patut untuk dipahami, bahwa kebijakan impor gandum ini pada dasarnya tidak terlepas dari kebijakan pangan yang ditempuh pada masa-masa awal pemerintahan Orde Baru. Sebelum mulai beroperasinya pabrik tepung terigu swasta pada tahun 1971, Indonesia memang melakukan impor langsung dalam bentuk tepung.

Mears dan Moeljono(Booth&McCawley:1982) dan Mewa Ariani(PSE) mendeskripsikan dengan sangat baik bagaimana peran yang dimainkan oleh AS dalam penentuan kebijakan pangan pada masa awal Orde Baru. Ketika itu AS memang sangat berperan dengan memberikan bantuan dan hutang lunak untuk impor terigu. Selain itu, Amerika Serikat juga mengirim ahli pangan ke Indonesia untuk mempengaruhi para pengambil keputusan di lembaga pemerintah.

Diawali dengan musim kering yang panjang pada September 1967 yang melanda sebagian besar kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, melalui program Bimas pemerintah saat itu merencanakan bahwa luas panenan untuk musim kering kurang lebih seluas 15 ribu hektar. Namun pada kenyataannya, yang terealisasi hanyalah sekitar 11 ribu hektar.

Akibatnya, terjadi penurunan jumlah produksi beras yang diikuti dengan peningkatan harga yang cukup tinggi. Saat itulah kemudian pemerintah AS selain mendatangkan sekitar 100 ribu ton beras, mereka juga memasok sejumlah besar tepung terigu dan bulgur. Pada periode 1968/1969 sampai dengan 1972/ 1973, total impor tepung gandum mencapai 3,3 juta ton atau 61% pangsa pasar domestik. Dari jumlah tersebut sekitar 89% diantaranya dijual melalui konsensi.

Dalam penyalurannya, pemerintah juga memberikan subsidi gandum yang cukup tinggi melalui subsidi impor dan penyaluran. Pada tahun 1976/1977, subsidi yang diberikan telah mencapai Rp 3 miliar. Jumlahnya terus meningkat hingga tahun 1978/1979 nilainya telah mencapai Rp17 miliar. Kebijakan ini berlanjut bahkan selama dekade 1990-an, pemerintah memberikan subsidi kepada para produsen mi instan hingga sebesar Rp760 miliar setiap tahunnya.

Kebijakan lain yang juga ditempuh ialah dengan menjual terigu dengan harga murah atau sekitar 50% lebih rendah dari harga internasional. Kondisi tersebut ternyata berlanjut dengan terjadinya monopoli dalam pengolahan dan tata niaga terigu oleh pihak tertentu. Sebagai catatan, hingga Januari tahun 2008 terdapat 4 importir terbesar gandum yaitu PT Indofood Sukses Makmur-Bogasari Flour Mills, PT Eastern Pearl Flour, PT Sri Boga Raturaya, dan PT Panganmas, PT Prakarsa Alam Segar yang keseluruhannya merupakan pabrik tepung.

Mulai beroperasinya pabrik tepung swasta Bogasari Flour Mill di Jakarta pada September 1971 serta dilanjutkan dengan pembukaan dua pabrik tambahan di Surabaya tahun berikutnya serta pabrik Prima Mills milik Singapura di Sulawesi, juga mendorong peningkatan jumlah impor gandum dan tepung gandum.

Magiera(BIES:1981) menggambarkan bahwa pada tahun 1970 jumlah impor tepung gandum baru sebesar 557 ribu ton. Tahun 1971 jumlah tersebut naik menjadi 620 ribu ton yang terdiri dari 532 ribu ton tepung gandum dan 88 ribu ton gandum. Jumlah impor terutama gandum terus mengalami peningkatan yang cukup tajam setiap tahunnya. Tingkat konsumsi gandum Indonesia hingga tahun 2005 mencapai 4,5 juta ton. Dengan tingkat kebutuhan tersebut, total impor gandum Indonesia tahun 2005 mencapai 4,43 juta ton dengan nilai hampir mencapai US$ 8 juta.

Selanjutnya di tahun 2006, keseluruhan impor gandum Indonesia telah mencapai 4,48 juta ton dan impor tepung terigu sebesar 0,54 juta ton.

Dalam penggunaannya, berdasarkan data statistik industri besar dan sedang 2005 ysmh dipublikasikan BPS menyebutkan bahwa jumlah pabrik tepung terigu di Indonesia sampai dengan tahun 2005 mencapai 9 unit dengan kebutuhan gandum sebagai bahan baku sebesar 1,95 juta ton. Market share terbesar pada industri tepung terigu dikuasai oleh PT Bogasari Flour yang mencapai 69%. Sementara untuk konsumen tepung terigu, data Aptindo tahun 2001 menyebutkan bahwa kelompok UKM yang bergerak di bidang indutri roti dan kue (bakery) menggunakan tepung terigu hingga mencapai 150 ribu ton. Jumlah tersebut adalah 60% dari total konsumsi tepung terigu nasional. Sedangkan berdasarkan data statistik industri besar dan sedang 2005, penggunaan tepung terigu untuk industri roti dan sejenisnya sudah mencapai 1,34 juta ton.

Kepekaan

Berangkat dari berbagai persoalan di atas, yang menjadi pertanyaannya saat ini adalah bagaimana sebenarnya kemampuan pola konsumsi masyarakat dalam merespon berbagai kebutuhan pangan yang ternyata masih harus diimpor. Salah satu respon yang diharapkan tentu adalah adanya perubahan atas produk/ komoditas yang dikonsumsi. Hal ini secara umum bisa diukur dari tingkat elastisitas atau kepekaan atas permintaan suatu produk atau komoditas bahan pangan.

Hasil estimasi atas pola konsumsi beras di Indonesia selama periode 1975-2005 yang dilakukan penulis menunjukan bahwa tingkat konsumsi beras di Indonesia memiliki elastisitas negatif terhadap variabel harga beras internasional (-2,3%) dan konsumsi gandum nasional (-4,7%). Hasil elastistas positif ditunjukan terhadap variabel pendapatan perkapita PPP dengan tingkat elastisitasnya mencapai 2,5% serta jumlah impor beras sebesar 0,44%.

Dari berbagai hasil ini menunjukan bahwa sebenarnya gandum memiliki potensi yang besar sebagai bahan makanan pengganti beras. Sebab hasil estimasi tersebut sekaligus menunjukan bahwa pada setiap kenaikan 1 % konsumsi gandum nasional akan mengurangi konsumsi beras hingga mencapai hampir 5%. Hal sebenarnya terutama juga ditunjukan dari tingkat kebutuhan atas berbagai produk-produk turunan yang berbahan baku gandum. Selain itu, dari sisi kesehatan produk-produk dari gandum seperti roti (terutama roti coklat/ roti gandum) memiliki kandungan serat dan gizi yang lebih baik ketimbang nasi atau mie. Karenanya, mungkin yang kini diperlukan adalah bagaimana dengan teknologi pangan dan rekayasa genetika yang terus berkembang mampu menjadikan gandum sebagai salah satu komoditas pangan yang tidak lagi harus banyak tergantung pada pasokan impor.(Nugroho Pratomo: Peneliti Inrise & Litbang Media Group)