Rabu, 30 Januari 2008

PENTINGNYA SINGKRONISASI KEBIJAKAN ENERGI DAN PANGAN

Analisis Media Indonesia 28 Januari 2008

Seiring dengan penurunan harga minyak mentah pada beberapa hari terakhir ini, beberapa harga kebutuhan pokok masyarakat justru tengah mengalami kenaikan. Data hingga pertengahan Januari ini menunjukan bahwa harga minyak mentah dunia terus mengalami penurunan.

Minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) di New York Mercantile Exchange (NYMEX) diperdagangkan pada posisi USD 90,97/barel. Sementara di bursa London's ICE Futures Europe exchange, untuk minyak mentah jenis Brent hargnya telah mencapai US$ 89,64 per barel.

Jika pada beberapa hari lalu para pengusaha tempe dan tahu sempat melalukan demonstrasi meminta pemerintah bertindak untuk menurunkan harga kedelai, maka sekarang ini giliran industri pakan ternak yang mulai merasakan dampak kenaikan harga jagung.

Kondisi ini jelas semakin memprihatinkan. Sebab sebelum ini, beberapa pengusaha makanan dan roti juga sempat mengeluhkan naiknya harga tepung terigu. Data dari Kanzas City Board of Trade (KCBT) menunjukan bahwa harga gandum hingga Desember 2007 telah mencapai US$ 424,1 per ton.

Jagung

Kenaikan sebagian besar harga-harga kebutuhan pokok (sembako) akhir-akhir ini, juga tidak lagi hanya dirasakan oleh para pengusaha di dalam industri makanan. Namun saat ini, di beberapa daerah, para peternak juga sudah mulai merasakan naiknya harga pakan untuk ternak mereka. Bahkan kini masyarakat konsumen juga harus memenuhi kebutuhan protein sehari-harinya dengan harga yang lebih mahal. Seperti diberitakan oleh Media Indonesia Online (26/1), di Kota Padang kenaikan harga pakan ternak tersebut telah mengakibatkan kenaikan harga ayam potong dan telur.

Sebagaimana telah penulis sampaikan pada analisis Media Indonesia (21/1), krisis serupa juga pernah dialami oleh sejulah peternak di Amerika Serikat di tahun 2006. Ketika itu, Amerika Serikat sebagai produsen etanol terbesar di dunia, telah memanfaatkan 20% dari produksi etanol yang berasal dari jagung untuk keperluan bahan bakar nabati.

Hal ini berdampak pada meningkatnya permintaan jagung oleh industri etanol. Data dari departemen pertanian AS (USDA) menunjukan bahwa jumlah permintaan jagung untuk keperluan industri etanol naik dari 41 juta ton di tahun 2005 menjadi 55 juta ton pada tahun 2006.

Permintaan yang tinggi ini tentu mendong kenaikan yang cukup tajam pada harga jagung internasional. Harga rata-rata bulanan jagung kuning AS Teluk Meksiko tahun 2006 mencapai US$ 121,6 per metrik ton. Naik 24% dibandingkan harga rata-rata tahun 2005. Data terakhir menyebutkan harga rata-rata untuk bulan Januari sampai Oktober 2007 telah mencapai US$ 160,78 per metrik ton.

Berkurangnya pasokan dunia dan meningkatnya harga jagung AS ini tentu menjadi persoalan besar di beberapa negara, termasuk diantaranya adalah Jepang dan Meksiko. Sebab, Jepang merupakan importir terbesar jagung AS. Pada tahun 2006, impor jagung Jepang dari AS mencapai 16,34 juta ton.

Sedangkan untuk Meksiko banyaknya mencapai 7,6 juta ton. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa lebih dari 50% impor jagung Indonesia di tahun yang sama juga berasal dari AS. Artinya, mau tidak mau fluktuasi harga jagung internasional juga harus menjadi perhatian yang sangat penting bagi tidak hanya bagi industri pangan dan pakan ternak dalam negeri, tapi juga para peternak.

Mencermati harga pakan ternak yang terus naik ini, data statistik industri besar dan sedang yang dipublikasikan oleh BPS menunjukan bahwa, sebagian besar dari komponen biaya bahan baku dalam industri pakan ternak adalah jagung. Pada tahun 2001, kebutuhan jagung dalam industri ini baru sebesar 1,1 juta ton. Namun tahun 2005, kebutuhan tersebut meningkat mencapai hampir 7 juta ton.

Secara keseluruhan, dalam industri pangan dan pakan ternak, pada tahun 2001, total kebutuhan jagung untuk keperluan bahan baku mencapai 3,7 juta ton. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi 7,5 juta ton di tahun 2005. Dari sisi produksi, pada tahun 2001, produksi jagung nasional mencapai lebih 9,3 juta ton. Selanjutnya jumlah tersebut meningkat menjadi 12,5 juta ton di tahun 2005 namun turun menjadi 11,6 juta di tahun 2006.

Fakta ini sekaligus menunjukan bahwa Indonesia sebenarnya masih mengalami surplus untuk komoditas jagung. Besarnya surplus jagung ini tentu memberikan peluang kepada Indonesia untuk bisa meningkatkan ekspornya. Namun seiring dengan penurunan produksi tersebut, data Comtrade justru menunjukan bahwa kinerja ekspor jagung Indonesia terus mengalami penurunan. Pada tahun 2001, ekspor jagung Indonesia ke dunia sebesar 90,5 juta ton. Jumlah ini turun menjadi 54 juta ton di tahun 2005 dan 28 juta ton di tahun 2006.

Berangkat dari data ini pula, yang menjadi pertanyaannya tentu adalah bagaimana bisa Indonesia masih harus melakukan impor jagung? Sampai saat ini, industri pakan ternak yang ada selama ini di Indonesia kerap kali dituding sebagai penyebab adanya impor jagung. Beberapa industri pakan ternak bahkan dinilai telah mempersiapkan mesin-mesin mereka khusus untuk jagung impor.

Terlepas dari perdebatan tersebut, namun satu hal yang dipahami bersama bahwa persoalan mutu pakan akan sangat berpengaruh pada kualitas produk ternak yang dihasilkan. Sementara dalam sebuah usaha peternakan biaya untuk pakan dapat mencapai 70% dari total biaya produksi yang dikeluarkan peternak. Hal inilah yang sebenarnya menjadi persoalan dan sekaligus tantangan bagi pengembangan jagung di Indonesia, yaitu sejauhmana jagung lokal bisa meningkatkan dan mempertahankan kualitas agar bisa dimanfaatkan oleh industri pakan ternak domestik. Sehingga tidak ada alasan lagi untuk mengimpor jagung.

Kedelai

Pertanyaan yang tidak jauh berbeda sebenarnya juga diajukan kepada para petani kedelai. Memang harus diakui bahwa pengembangan kedelai di Indonesia sampai saat ini tidak seperti jenis tanaman lainnya. Sejak tahun 2001, jumlah produksi kedelai Indonesia kurang dari 1 juta ton. Pada tahun 2006, jumlah produksi kedelai hanya sebesar 749 ribu ton. Jumlah ini turun dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 808 ribu ton. Dengan total kebutuhan dari industri pangan dan pakan yang mencapai 1,1 juta ton, jumlah ini jelas sangat kurang.

Sebagai akibatnya, sebagian besar industri pangan dan pakan harus memenuhi kebutuhan kedelainya dengan cara mengimpor. Sebagai contoh pada industri tempe yang 95% bahan bakunya adalah kedelai, lebih dari 80% kedelai yang digunakan merupakan kedelai impor. Persoalan ini jelas menuntut adanya sebuah strategi kebijakan pangan yang tidak hanya mampu meningkatkan jumlah produksi, namun juga bagaimana dengan jumlah yang sama kualitas kedelai lokal mampu menghasilkan tempe dalam jumlah dan ukuran yang sama dengan yang dihasilkan dari penggunaan kedelai lokal.

Harus diakui bahwa apa yang tengah terjadi pada harga komoditas kedelai sekarang ini sekali lagi tidak bisa dilepaskan dari program pengembangan etanol sebagai bahan bakar nabati di AS. Dalam pengembangan industri etanol untuk bahan bakar nabati tersebut pada tahun 2006 saja, pemerintah AS telah mengeluarkan dana subsidi hingga US$ 7 milyar.

Kebijakan ini sendiri telah menimbulkan perdebatan di AS. Sebab, sejumlah besar petani kedelai di negara ini mengalihkan produk-produk pertaniannya dari kedelai untuk menanam jagung. Kondisi ini bahkan diperkirakan akan mengurangi kembali pasokan kedelai dari AS ke pasar dunia sebesar 6,5%. Sebagai akibatnya hal tersebut juga telah menaikan sejumlah harga bahan pangan di AS sendiri.

Singkronisasi kebijakan

Dari berbagai persoalan yang terjadi pada kedua komodtas di atas, satu produk yang sebelumnya banyak dimanfaatkan oleh industri pangan dan pakan dan kini juga mulai dikembangkan sebagai bahan BBN adalah minyak sawit mentah (CPO). Kelangkaan minyak goreng yang akhirnya berujung pangan pengenaan pungutan ekspor oleh pemerintah merupakan pengalaman yang sangat berharga tentang bagaimana pentingnya sebuah kebijakan energi harus dibuat dan diimplementasikan sejalan dengan kebijakan pangan dan ekonomi makro.

Salah satu ciri yang penting dari minyak sawit ini adalah keberadaannya yang tergolong ke dalam jenis makanan yang relatif bebas dari adanya rekayasa genetika (Genetically Modified Food /GM). Selain itu dari perkebunan sawit juga bisa didapatkan hasil terbesar per hektar dibandingkan dengan minyak nabati ataupun minyak asal biji-bijian lainnya. Hal inilah yang juga menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi investor untuk mau menanamkan modalnya di sektor perkebunan ini.

Penerapan pungutan ekspor bagi ekspor CPO Indonesia, dalam jangka pendek terbukti mampu membatasi dan meningkatkan pasokan CPO domestik. Begitu pula dengan kebiajakn yang ditempuh pemerintah saat ini dengan menurunkan bea masuk untuk kedelai hingga 0%. Meski belum terbukti benar, mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama, secara perlahan harga kedelai akan turun.

Namun satu hal yang perlu diingat adalah kurang lebih sampai 5 tahun ke depan, dunia masih berada pada masa transisi energi. Di tengah perubahan iklim yang akan sangat berpengaruh pada produktivitas produk-produk hasil pertanian dan perkebunan, pengembangan BBN di berbagai belahan dunia akan makin banyak lagi membutuhkan berbagai jenis komoditas tanaman pangan. Terutama yang tergolong di dalam tanaman pangan utama. Karenanya, singkronisasi kebijakan energi, pangan dan ekonomi makro menjadi salah satu langkah awal yang harus dilakukan secara lebih hati-hati lagi. (Nugroho Pratomo: Peneliti Inrise &Litbang Media Group)