Senin, 18 Agustus 2014

nugroho purnomo is still waiting for you to join Twitter...

 
Top corners image
     
 
   
 
 
 

nugroho purnomo is still waiting for you to join Twitter...

 
 
Accept invitation
 
     

Rabu, 13 Agustus 2014

nugroho purnomo sent you an invitation

 
Top corners image
     
 
   
 
 
 

nugroho purnomo has invited you to join Twitter!

 
 
Accept invitation
 
     

nugroho purnomo sent you an invitation

 
Top corners image
     
 
   
 
 
 

nugroho purnomo has invited you to join Twitter!

 
 
Accept invitation
 
     

Selasa, 20 Mei 2014

TINJAUAN KEBIJAKAN EKONOMI 10 SBY DAN HARAPAN PEMILU 2014


Oleh: NUGROHO PRATOMO*)
Dimuat di Majalah Esquire Indonesia, April 2014
 
Pemilu legislatif tinggal menghitung hari. Disusul dengan pemilu presiden di bulan Oktober. Berbagai isu terkait dengan pencalegan dan pencapresan semakin banyak mencuat. Termasuk lagi-lagi soal ekonomi dan kesejahteraan yang selalu seksi menjadi bahan komoditas politik. Berangkat dari 10 tahun pemerintahan SBY, tentunya banyak hal yang perlu kembali kita evaluasi sebagai bahan pemerintahan berikutnya.

Terkait dengan persoalan ekonomi dan kesejahteraan ini, tentunya kebijakan dibidang energi khususnya harga BBM adalah persoalan yang selalu akan diingat oleh banyak kalangan. Terhitung semenjak awal pelantikan periode pertama kekuasaannya 20 Oktober 2004 hingga menjelang akhir periode keduanya ini, SBY telah mengeluarkan kebijakan menaikan harga BBM 4 kali dan menurunkan harga sebanyak 3 kali. Kenaikan pertama 1 Maret 2005, yang dilanjutkan pada 1 Oktober 2005 dan yang ketiga terjadi 24 Mei 2008. Menjelang pemilu tahun 2009, pemerintah kemudian menurunkan harga BBM sebanyak 2 kali di bulan Desember 2008.  Penurunan harga berikutnya terjadi pada 15 Januari, yang menjadikan harga premium dan solar menjadi Rp 4500 per liter. Terakhir pada 21 Juni 2013, pemerintahan SBY kembali menaikan harga BBM yang menjadikan harga premium menjadi Rp 6500 per liter dan solar Rp 5500 per liter.

Kebijakan energi khususnya harga BBM adalah kebijakan yang selalu menghantui dalam setiap pemerintahan. Sebab kenaikan harga BBM selalu terkait dengan inflasi. Kebijakan subsidi harga energi selama ini memang merupakan persoalan dilematis. Di satu sisi, seiring dengan posisi Indonesia sebagai net importir minyak mentah telah menyebabkan beban anggaran semakin besar. Sementara di sisi lain, kebutuhan energi tiap tahun juga semakin meningkat.

Terkait dengan kebijakan energi ini, pada dasarnya pemerintahan SBY sendiri telah mengeluarkan sebuah kebijakan energi nasional yang tercantum dalam Perpres No.5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, dan kemudian diturunkan dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025. Dalam kebijakan tersebut sebenarnya juga telah diatur rencana pengembangan bauran energi (energy mix), yang salah satunya mengatur mengenai pengembangan berbagai energi alternatif di luar minyak. Namun pada kenyataannya, masih rendahnya pemanfaatan energi baru terbarukan yaitu antara 5-6 persen dalam bauran energi hingga tahun 2013, menunjukan masih ada inkonsistensi dalam implementasi kebijakan energi nasional yang dijalankan. Sebagai dampaknya, hingga saat ini ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar minyak masih cukup besar. Sehingga membawa pemerintahan SBY tenggelam dalam “hantu” popularitas politik.

Persoalan kedua yang menarik untuk dicermati adalah investasi. Seiring dengan disahkannya UU nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal, peningkatan investasi asing memang masih merupakan andalan sumber pendapatan maupun penyerapan tenaga kerja. Tetapi keinginan tersebut tidak serta merta didukung oleh pemerintah daerah. Pelaksanaan otonomi daerah selama ini justru telah menimbulkan berbagai persoalan yang seringkali menghambat investasi. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri dari tahun 2010-2013 terdapat 886 perda yang dinilai berpotensi menghambat investasi. Tahun 2009 jumlahnya bahkan mencapai 1800 perda. Kemunculan berbagai perda yang dinilai berpotensi menghambat investasi ini, pada dasarnya merupakan bukti lemahnya koordinasi dan kontrol pemerintah pusat terhadap daerah. 

Ketiga adalah soal pertumbuhan ekonomi. Turunnya tingkat laju pertumbuhan ekonomi dalam 3 tahun terakhir ini memang merupakan masalah tersendiri dalam perekonomian Indonesia. Tahun 2013 laju pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 5,78%. Lebih rendah dibandingkan tahun 2012 yaitu sebesar 6,23% dan 2011 yang mencapai 6,5%. Terlepas dari dampak krisis global, namun hal tersebut menunjukan bahwa persoalan fundamental ekonomi Indonesia masih berkutat pada hal yang sama. Pasca krisis ekonomi 1998, ekonomi Indonesia masih banyak tergantung dari konsumsi domestik dan belanja pemerintah. Kondisi ini sekali lagi menunjukan bahwa, investasi yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi memang masih jauh dari harapan. Berbagai masalah birokrasi yang menciptakan ekonomi biaya tinggi adalah pekerjaan rumah bagi setiap pemerintahan yang berkuasa.    

Terlepas dari hal tersebut, yang patut disimak adalah bagaimana kondisi kualitas pembangunan manusia. Terjadinya kelaparan di Yahukimo pada tahun 2006 dan kasus gizi buruk di beberapa daerah, menjadi sebuah peringatan bahwa pembangunan ekonomi bukan semata menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Lebih dari itu, pembangunan adalah bagaimana menciptakan manusia berkualitas sebagai modal utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Kebutuhan seperi inilah yang sebenarnya diharapkan dapat dihasilkan dari kebijakan 20% anggaran pendidikan dan implementasi jaminan sosial kesehatan. Namun demikian, hal tersebut tentunya tidak semudah membalikan telapak tangan. Perdebatan data kemiskinan dan keterbatasan akses informasi dari sebagian besar masyarakat khususnya kelas menengah bawah, adalah beberapa masalah yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Sehingga jangan sampai terjadi kesalahan subsidi seperti yang selama ini terjadi pada subsidi BBM.           

Berangkat dari sekelumit evaluasi ekonomi selama 10 tahun terakhir tersebut di atas, lantas apa yang bisa kita harapkan dari hasil pemilu 2014 ini? Mencermati harapan perbaikan ekonomi pasca pemilu, tentunya bisa kita telisik dari keberadaan partai-partai politik yang bertarung dalam pemilu. Jika diperhatikan dan ditanyakan mengenai visi, misi dan program ekonomi mereka, maka dengan bersemangat “ekonomi kerakyatan” dengan segala bentuk variannya adalah jawaban yang hampir pasti muncul dari partai-partai peserta pemilu tersebut. Permasalahannya, sejauh mana berbagai jargon tersebut mampu menjadi kenyataan .

Pada dasarnya apa yang disebut dengan ekonomi kerakyatan atau ekonomi pancasila menurut almarhum Prof Mubyarto sistem ekonomi dengan berasaskan kekeluargaan, berdaulat dan berpihak pada kepentingan rakyat. Hal ini dapat diterjemahkan dengan mengembangkan berbagai produksi yang berbasiskan pada usaha mandiri masyarakat. Secara sederhana, UMKM adalah pengejawantahan nyata dari apa yang disebut dengan ekonomi kerakyatan. Pertanyaannya, seberapa besar dampak yang diharapkan dari UMKM tersebut terhadap perekonomian? Selama ini masih banyak  UMKM dengan segala keterbatasannya, ternyata lebih banyak muncul sebagai bentuk usaha yang relatif memiliki daya saing cukup kuat. Jika UMKM ini hendak menjadi kekuatan ekonomi ke depan, maka integrasi dengan investasi industri besar merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintahan berikutnya. Sebagai prasyaratnya, kemampuan posisi tawar pemerintah terhadap kekuatan modal global adalah hal yang tidak bisa ditawar. Jaminan seperti inilah yang harus diberikan oleh parpol jika benar ingin konsisten dengan jargon ekonomi yang dijanjikannya. Jika tidak, maka pemilu hanya tinggal menjadi ritual demokrasi yang tidak memberikan arti pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan.
*) Peneliti pada Institut Riset Sosial dan Ekonomi (Inrise).                      

Sabtu, 06 September 2008

INDUSTRI GULA NASIONAL : TAK LAGI SEMANIS GULA

Analisis Media Indonesia; 5 September 2008

Setelah sejak tahun 2007 pemerintah membuka kesempatan melakukan impor gula, maka mulai tahun 2009 kebijakan tersebut akan mulai dihentikan. Kebijakan ini dimulai dengan membatalkan kembali realisasi impor gula sebesar 500 ribu ton, yang terdiri gula mentah dan gula rafinasi.
Awalnya, pada 2007, pemerintah berenncana melakukan impor gula mentah (raw sugar) mencapai 1,6 juta ton dan impor gula rafinasi sebanyak 600 ribu ton dari keseluruhan jumlah kebutuhan gula rafinasi 800 ribu ton. Sedangkan sisa kebutuhan gula rafinasi akan dipenuhi oleh produsen dalam negeri yang kemampuan produksinya telah mencapai 1,2 juta ton.
Pembatalan ini dilakukan seiring dengan perkiraan akan terjadi kelebihan produksi gula putih sampai 850 ribu ton dari petani dan produsen gula domestik yang terjadi sejak awal tahun 2008. Selain itu, kebijakan seperti ini juga sejalan dengan proses revitalisasi sejumlah pabrik gula yang masih terus berjalan.
Dari sisi harga, mulai terjadinya kelebihan produksi tersebut diindikasikan dengan rendahnya harga gula lokal pada tingkat produsen hanya berkisar Rp4.910 hingga Rp4.935 per kilogram. Harga ini sebenarnya lebih rendah dibandingkan dengan harga pokok penyanggaan yang sebelumnya telah ditetapkan pemerintah, yaitu sebesar Rp5.000 per kilogramnya.
Menilik jumlah impor gula yang dilakukan, sebenarnya sudah sejak tahun 2003 lalu jumlahnya sudah mengalami penurunan. Dari data izin impor gula yang diberikan oleh Departemen perdagangan, pada tahun 2003 jumlah impor gula mencapai 810,5 ribu ton. Jumlah tersebut menurun di tahun 2004 menjadi 630,5 ribu ton dan 500 ribu ton untuk tahun 2005. Sedangkan pada tahun 2007 sebagai importirnya, izinnya masih tetap diberikan kepada 5 perusahaan sebagai importir terdaftar.
Dalam konteks industrialisasi penerapan tata niaga gula seringkali dinilai justru tidak memberikan dampak yang signifkan terhadap pengembangan dan revitalisasi industri gula domestik. Pasca krisis dan kerjasama dengan IMF, pemerintah praktis tidak lagi terlalu banyak bisa berperan dalam perdagangan dan pengambangan sektor-sektor komoditas termasuk gula.
Namun pada saat yang bersamaan, pemerintah nampaknya juga tetap bersikeras untuk bisa memainkan perannya sebagai upaya pemberian “perlindungan” terhadap industri gula domestik dan kepada para petani tebu khususnya. Akibatnya, bentuk koordinasi yang dapat dilakukan juga semakin terbatas.
Meski demikian, pembukaan akses pasar yang lebih luas bagi gula impor seharusnya juga harus pula mulai dipahami sebagai sebuah bentuk tantangan bagi pengembangan industri gula domestik. Pengembangan industri gula di luar Jawa dengan menggunakan sistem tebu yang dimiliki pabrik disertai penggunaan sistem sewa tanah (hak guna tanah) harus tetap dilakukan sebagai bentuk peningkatan investasi serta pengembangan industri dalam negeri.
Sayangnya, dalam pelaksanaannya lagi-lagi hal ini terbentur dengan keterbatasan infratruktur yang tersedia. Sementara bagi industri gula di pulau Jawa, nampaknya seiring dengan perubahan sistem politik dan ekonomi yang lebih memberikan keleluasaan pada daerah (desentralisasi), masuknya gula impor tersebut mau tidak mau harus diikuti dengan sebuah perubahan kebijakan sistem perkebunan tebu yang mampu meningkatkan kualitas rendemen tebu. Karenanya, bukan hal yang tidak mustahil apabila sistem sebagaimana berlaku di luar Jawa saat ini menjadi salah satu alternatif pemikiran kebijakan revitalisasi gula di Jawa.

Tebu
Mencermati kondisi perkebunan tebu nasional memang merupakan salah satu bagian dari sejarah panjang keberadaan industri gula di Indonesia yang telah ada sejak jaman kolonial. Industri gula ketika itu mengalami masa kejayaan di tahun 1930-an. Tingkat produksi pada masa itu bisa mencapai 3,1 juta ton, dimana sebagian besar atau sekitar 2,4 juta ton merupakan komoditas ekspor.
Tingginya produksi gula tersebut didukung oleh luas areal perkebunan tebu dan tingkat produksi yang relatif masih sangat tinggi. Namun pada perkembangannya, luas areal tanaman tebu Indonesia sampai dengan tahun 2006 mencapai 384 ribu hektar dengan kontribusi utama adalah Jawa Timur, yaitu sebesar 44,4% atau 170,5 ribu hektar, Jawa Tengah seluas 41 ribu atau 10,7% dan Jawa Barat sebesar 5,9% atau mencapai 22,5 hektar.
Sementara untuk pekebunan tebu terluas di luar pulau Jawa, terdapat di Lampung. Luas perkebunan tebu di propinsi tersebut sampai dengan tahun 2006 mencapai 103,84 ribu hektar. Luas ini merupakan 27% dari total perkebunan tebu di Indonesia.
Sampai dengan tahun 2004, areal tebu Indonesia secara keseluruhan mengalami stagnasi pada kisaran sekitar 340 ribu hektar dan kembali naik di tahun 2005-2006. Jika dilihat pada sepuluh tahun terakhir, luas areal tebu Indonesia secara umum mengalami penurunan rata-rata sekitar minus 1% per tahun dengan luas areal tertinggi dicapai tahun 1996 dengan luas mencapai 446 ribu ha, walaupun pada tahun 2004 mulai terjadi peningkatan.
Dalam soal produksi, menunjukan bahwa pada sepuluh tahun terakhir hingga tahun 2006 mengalami mengalami pertumbuhan yang relatif sangat rendah. Laju pertumbuhan produksi tersebut hanya mencapai 0,3% per tahun. Namun demikian, semenjak tahun 2004-2006, produksi gula mulai menunjukan laju pertumbuhan yang cukup menggembirakan.
Setelah pada tahun 1994, produksi tebu nasional mencapai 2,4 juta ton dan tahun 2004 hanya 2,1 juta ton, maka selama periode 2004-2006, laju pertumbuhan rata-rata produksi nasional mencapai 11,6% per tahun.
Pada saat terjadi krisis ekonomi, produksi tebu juga mengalami masa tersulit. Produksi terendah terjadi pada tahun 1998 dengan volume produksi 1,494 juta ton. Berbagai kebijakan pemerintah seperti kebijakan tata niaga impor sebagai bagian dari program akselerasi peningkatan produktivitas tebu. Berbagai kebijakan inilah yang berdampak positif pada meningkatnya kembali produksi gula nasional, semenjak tahun 2004.
Di samping penurunan areal, penurunan produktivitas merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi. Jika pada tahun 1990-an tingkat produktivitas tebu per hektar rata-rata mencapai 76,9 per hektar, maka pada tahun 2000-an hanya mencapai sekitar 62,7 ton per hektar.
Salah satu indikator untuk menilai produktivitas terubu tersebut juga dapat dilihat dari kualitas rendemen. Tingkat rendemen mengalami penurunan dengan laju sekitar minus 1,3% per tahun pada dekade terakhir. Pada tahun 1998, rendemen mencapai titik terendah yaitu mencapai 5,49%. Selanjutnya, tingkat rendemen mulai meningkat dan pada tahun 2004 hingga menjadi 7,67 % .
Dalam proses pemulihan produksi tebu tersebut keterlibatan swasta memang tidak bisa diabaikan lagi. Melalui pembukaan lahan-lahan perkebunan baru tersebut yang sebagain besar berada di luar Jawa, maka jumlah produksi gula Indonesia pada tahun 2009 mendatang diperkirakan akan mencapai 3,3 juta ton.
Sebagai upaya pencapaian target tersebut, diperlukan tambahan areal perkebunan tebu hingga mencapai 462.851 hektare pada 2009. Tambahan tebu giling juga mesti diangkat 6,86 juta ton, dari 30,31 juta ton menjadi 37,17 juta ton. Sementara dari kualitas rendemen harus naik 0,46%, dari 7,77% pada 2007 menjadi 8,23% pada 2009.
Namun dalam implementasinya hal ini memang tidak mudah. Sebab sebagaimana sampai saat ini, sebagian besar perbankan sendiri masih enggan mengucurkan kreditnya, terutama dalam jumlah yang besar.
Pada saat yang bersamaan, tahun 2007 ini saja diperkirakan defisit gula domestik jumlahnya akan mencapai 1,9 juta ton. Jumlah tersebut ialah kekurangan dari kemampuan kapasitas produksi nasional yang sampai dengan tahun 2007 ini baru sebesar 2,35 juta ton. Padahal kebutuhan gula nasional sudah mencapai 4,2 juta ton setiap tahunnya. Artinya, dengan jumlah kemampuan produksi tersebut di tahun 2009, maka nampaknya Indonesia masih terancam akan terus mengimpor gula untuk kebutuhan domestiknya.
Pengembangan perkebunan tebu secara mandiri oleh pabrik gula pada dasarnya dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan pabrik gula itu sendiri. Adalah satu yang patut dipertimbangkan adalah bahwa program revitalisasi pabrik gula atau bahkan pembangunan pabrik gula baru memang memerlukan dana yang tidak sedikit.
Seiring dengan rencana pemerintah mengembangkan energi alternatif, hal tersebut seharusnya memberikan kesempatan bagi para pabrik gula untuk bisa melakukan diversifikasi produknya. Salah satunya adalah dengan melakukan pengembangan industri etanol sebagaimana telah banyak dilakukan di Brazil.
Dengan demikian, tentunya pabrik gula akan mendapatkan tambahan hasil produksi. Bahkan jika hal ini bisa dikelola dengan maksimal dengan bekerjasama dengan pihak pemda, bukannya tidak mungkin proyek energi alternatif yang dilakukan oleh pabrik-pabrik gula tersebut bisa melibatkan secara aktif masyarakat setempat terutama dalam hal ini adalah para petani tebu. (Nugroho Pratomo/Peneliti Inrise & Litbang Media Group)



Rabu, 06 Agustus 2008

SECERCAH HARAPAN DARI INDUSTRI KOMPONEN KENDARAAN BERMOTOR

Analisis Media Indonesia, Senin 4 Agustus 2008

Dalam analisa (21/7) 2008 telah disampaikan bagaimana kondisi produk-produk industri otomotif domestik yang ternyata masih kalah bersaing dengan produk-produk serupa yang dihasilkan oleh negara-negara ASEAN lain.

Pada intinya, aspek terpenting dalam mencermati perkembangan industri otomotif nasional kembali pada bagaimana industri otomotif nasional yang telah ada hingga saat ini telah menjadi sebuah industri yang mampu berkembang secara efisien.

Harus disadari bahwa persoalan efisiensi adalah salah satu ukuran pokok yang dapat digunakan untuk memahami mengapa produk-produk otomotif Indonesia masih kurang kompetitif di pasar dunia. Bahkan pasar ASEAN sekalipun. Dalam konteks ini pula sebenarnya masalah produktivitas (tenaga kerja dan modal) menjadi bagian utama dalam mencermati keberadaan industri otomotif Indonesia saat ini.

Meski demikan, harapan akan pengembangan industri otomotif nasional bukannya telah tertutup. Diantara sektor yang masih cukup menjanjikan adalah industri komponen untuk kendaraan bermotor (HS 870870) dan radiator untuk kendaraan bermotor (HS870891). Produk-produk industri ini memang masih menjadi salah satu komoditas yang memiliki daya saing.

Berangkat dari kondisi dan kenyataan tersebut, maka dalam analisis kali ini akan disampaikan sebuah hasil penelitian awal mengenai salah satu bagian dari industri otomotif nasional, yaitu industri komponen kendaraan bermotor roda empat yang diantara produk-produk dihasilkannya termasuk keduanya. Dalam statistik industri besar dan sedang yang dipublikasikan oleh BPS, kode klasifikasi industri (KKI) 5 digit untuk jenis industri ini adalah 34300.

Model estimasi

Berangkat dari fungsi produksi Cobb – Douglas dalam studi-studi ekonomi mikro, studi ini menggunakan beberapa cara digunakan untuk menilai produktivitas tersebut, yaitu produktivitas marginal (marginal productivity). Produktivitas ini terdiri dari produk marginal dari tenaga kerja (marginal productivity of labor) yang gunanya untuk menunjukkan perubahan tingkat produktivitas tenaga kerja.

Selain itu juga dilihat produk marginal dari modal (marginal productivity of capital). Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menunjukkan perubahan produktivitas faktor modal dalam sistem proses produksi. Tingkat subtitusi teknis marginal (MRTS) yang secara teknis bisa menunjukan berapa modal dan buruh dapat saling diubah agar bisa diperoleh tingkat output yang sama.

Melalui model estimasi yang dibangun, studi ini juga bertujuan untuk melihat tingkat elastisitas dan skala ouput (return to scale) dari industri terkait. Melalui elastisitas atau tingkat kepekaan dapat menunjukan kepada kita bagaimana hubungan sebab akibat atau aksi reaksi apabila terjadi perubahan sebesar satu persen pada sebuah variabel terhadap variabel lain.

Dalam hal ini ialah seberapa besar perubahan yang terjadi pada ouput produksi apabila variabel tenaga kerja atau stok modal berubah sebesar 1%. Sementara skala output yang diukur melalui penjumlahan nilai koefisien elastisitas output dari modal dengan elastisitas output dari tenaga kerja memberikan gambaran kepada kita seberap besar output berubah bila jumlah faktor produksi terus ditambah atau dilipatgandakan.

Data yang digunakan dalam studi ini adalah data yang berasal dari statistik industri besar dan sedang yang dipublikasikan oleh BPS. Data yang digunakan juga berupa data deret waktu (time series) antara tahun 1991-2005 atau jumlah observasi sebanyak 15.

Modeling ini juga memasukan variabel boneka (dummy variable) krisis sejak tahun 1997. Hal ini terutama untuk melihat seberapa besar pengaruh krisis ekonomi 1997 terhadap perkembangan industri komponen kendaraan bermotor nasional.

Terkait dengan masalah ketenaga kerjaan, maka diharapkan melalui model estimasi ini dapat pula dilihat bagaimana tingkat pengeluaran untuk pekerja dari industri komponen tersebut berpengaruh pada tingkat output yang dihasilkan oleh industri tersebut.

Dalam statistik industri besar dan sedang, data pengeluaran untuk tenaga kerja terdiri dari beberapa komponen. Komponen-komponen tersebut adalah upah dan gaji serta beberapa bentuk insentif lainnya seperti upah lembur, asuransi dan sebagainya.

Meski dalam data statistik ini juga dibedakan antara pekerja di sektor produksi dan non produksi, namun dalam studi ini digunakan data total jumlah pengeluaran dalam satu tahun. Hal ini dimaksudkan untuk melihat secara lebih luas apakah pendapatan yang diterima oleh masing-masing pekerja di seluruh bagian merupakan faktor penting dalam peningkatan ouput produksi.

Studi ini dilakukan dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS), yaitu membangun model-model estimasi persamaan simultan yang ditransformasi ke dalam logaritma natural.

Selain itu studi ini juga melakukan sejumlah pengujian validitas model yang umumnya seringkali terjadi pada penggunaan data deret waktu. Pengujian validitas model atau asumsi klasik, dilakukan untuk memastikan tidak terjadinya autokorelasi yaitu adanya hubungan antara kesalahan-kesalahan dan multikolinearitas atau adanya hubungan antara variabel penjelas. Dengan demikian diharapkan akan dapat memenuhi syarat adanya Best Liniear Unbiased Estimator (BLUE).

Pengujian model ini dilakukan dengan membandingkan hasil uji Durbin-Watson dengan tabel yang ada untuk memastikan tidak adanya autokorelasi. Sementara pengujian multikolineritas dilakukan dengan melihat nilai toleransi (tolerance) yang diharapkan tidak kurang dari 0,1 dan variation inflation factor (VIF) yang nilainya tidak lebih dari 10,0 (Gujarati, Basic Econometric, 2003).

Hasil studi

Hasil estimasi yang ditunjukan dari model regresi yang dilakukan memperlihatkan bahwa variabel pengeluaran untuk tenaga kerja dan stok modal merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi output yang dihasilkan dalam industri komponen dan perlengkapan kendaraan roda empat.

Hasil estimasi memperlihatkan bahwa koefisien regresi yang dihasilkan variabel pengeluaran untuk tenaga kerja tersebut sebesar 0.473. Hasil ini memperlihatkan bahwa tingkat elastisitas pada setiap penambahan 1% pengeluaran biaya tenaga kerja, akan menaikan output sebesar 47,3%.

Sedangkan untuk variabel stok modal hasil koefisien regresinya adalah sebesar 0,008, sehingga dapat dinyatakan bahwa pada setiap kenaikan 1% stok modal akan meningkatkan output sebesar 0,8%.

Melalui hasil estimasi model tersebut juga memperlihatkan bahwa krisis yang terjadi di sejak tahun 1997 ternyata tidak berpengaruh pada industri ini. Hasil estimasi model ini juga menunjukan bahwa terjadi skala hasil yang naik (increasing return of scale) pada industri ini, dimana pada setiap penambahan 1% faktor produksi menyebabkan output bertambah sebesar 48,1%.

Secara umum model ini sendiri memiliki kemampuan untuk menjelaskan varibel output yang dihasilkan dalam industri kendaraan roda empat hingga 82,8% yang ditunjukan dari hasil uji koefisien diterminasi (Adjusted R-Square). Sehingga dapat dikatakan bahwa 82,8% perubahan nilai output dipengaruhi oleh variabel tenaga kerja dan stok modal, sedangkan sisanya yaitu sebesar 17,2% oleh faktor lainnya.

Sedangkan hasil uji F yang menunjukan bahw tingkat signifikasi model adalah 0% (0,000) atau masih berada dibawah batas pengujian 5% pada tingkat kepercayaan 95 persen. Dilihat dari hasil uji Durbin-Watson dengan dan membandingkan dengan tabel yang ada untuk memastikan tidak adanya autokorelasi. Hasil uji DW memperlihatkan sebesar 2,048. Tingkat ini masih berada di atas batas tabel durbin-watson pada tingkat signifikasi 0,05.

Begitu pula dengan hasil pengujian multikolineritas dengan melihat nilai toleransi (tolerance) dan variation inflation factor (VIF), pada masing masing variabel juga memperlihatkan bahwa tidak terdapat pelanggaran asumsi terhadap model estimasi yang digunakan.

Harapan

Berangkat dari hasil studi tersebut, sebenanrnya dapat dikatakan bahwa di tengah kondisi sektor industri manufaktur yang kini terus terancam akibat berbagai masalah seperti kekurangan pasokan listrik dan tingginya harga BBM, sektor industri komponen kendaraan bermotor masih memberikan harapan baru bagi Indonesia.

Persoalan perburuhan yang selama ini seringkali dinilai sebagai salah satu faktor yang menghambat masuknya investasi ternyata tidak berlaku di dalam industri komponen kendaraan bermotor nasional. Faktor biaya produksi untuk tenaga kerja terbukti bukan menjadi aspek penghambat peningkatan produktivitas dan output industri ini. Sebaliknya, dengan statusnya yang lebih cenderung pada industri pada karya, peningkatan pendapatan bagi pekerja ustru mampu menjadi pemicu meningkatnya output produksi.

Tinggal kini bagaimana industri-industri ini mampu mempertahankan dan meningkatkan terus kinerjanya dan menjadikannya salah satu produk unggulan ekspor Indonesia. Sedangkan bagi pemerintah hal tersebut merupakan sebuah tantangan untuk bisa terus menghapus ekonmi biaya tinggi yang bukan tidak mungkin menjadi salah satu penghalang industri ini dalam mengembangkan dirinya. (Nugroho Pratomo/ Peneliti Litbang Media Group, INRISE dan staf pengajar tidak tetap Departemen Ilmu Politik Fisip UI)

Sabtu, 05 Juli 2008

INDUSTRI OTOMOTIF INDONESIA: DITEKAN DI DALAM KALAH DI LUAR

Pengembangan industri memang telah lama menjadi perhatian banyak kalangan di Indonesia. Perkembangan industri otomotif di semua negara ketiga termasuk Indonesia, ketergantungannya pada negara maju masih sangat tinggi, bukan hanya tergantung teknologinya tapi juga tergantung pada kompetensi dan keuangannya.

Kendala Pengembangan

Sebelum krisis ekonomi terjadi di tahun 1998, pemerintah Orde Baru sangat bersemangat untuk mengembangkan proyek mobil nasional (Mobnas). Meski menimbulkan berbagai pro dan kontra, namun pemerintah ketika itu tetap bersikeras untuk melanjutkan program tersebut. Kontroversi tersebut terutama muncul sebagai akibat adanya program kerjasama dengan pihak industri otomotif Korea Selatan untuk mendatangkan mobil secara utuh (built-up) tanpa dikenai bea masuk.

Sebagian besar pabrikan mobil terutama dari Jepang yang sebelumnya telah ada dan menguasai pangsa pasar mobil di Indonesia, merasa terancam dan menilai bahwa kebijakan tersebut sangat diskriminatif. Akibatnya, mereka juga sekaligus mengajukan gugatan ke organisasi perdagangan dunia (WTO).

Satu hal yang patut dicatat, bahwa salah satu hal yang membedakan dengan impor mobil yang ada selama ini adalah program mobil nasional saat itu, tidak hanya sekedar mendatangkan mobil tapi mereka sekaligus juga telah membeli cetak biru (blue print) atas rancangan mobil yang mereka datangkan.

Hal inilah yang sempat memperkuat alasan mereka untuk terus mengembangkan program mobil nasional hingga akhirnya terhenti akibat terjadinya krisis moneter dan ekonomi yang berujung pada berakhirnya kekuasaan Orde Baru.

Terlepas dari berbagai persoalan tersebut, pengembangan mobil nasional pada dasarnya juga masih harus menghadapi berbagai kendala. Terutama dalam soal kesiapan industri komponen dan bahan baku. Pada industri komponen, hai ini terkait dengan kesiapan penerapan sistem produksi yang efisien serta efektif. Dengan demikian dapat menghasilkan produk secara tepat jumlah, tepat kualitas, dan tepat waktu.

Di dalam industri otomotif yang ada di dunia saat ini, untuk menjamin terciptanya proses produksi yang efisien dan efektif tersebut para pabrikan otomotif kemudian menerapkan sebuah sistem yang dikenal dengan sistem Just In Time (JIT).

Menurut Fahmi Nasution (2004) sistem JIT merupakan filosofi pemanufakturan yang memiliki implikasi penting dalam manajemen biaya. Ide dasar sistem ini adalah produksi hanya ada apabila terdapat permintaan (full system) atau sesuai permintaan. Dengan demikian output yang dihasilkannya juga hanya sebesar kuantitas yang diminta.

Penerapan sistem seperti ini dalam industri otomotif sebenarnya pada awalnya dipelopori Toyota. Namun kini pada perkembangan selanjutnya, hal tersebut diikuti hampir seluruh produsen otomotif dunia saat ini. Salah satu konsekuensi penerapan sistem ini adalah industri komponen dalam industri otomotif menjadi semakin penting.

Sayangnya di Indonesia sebagian besar dari industri komponen otomotif masih banyak yang bersifat sebagai industri rumah tangga (home industry). Masih kurangnya pembinaan dari pemerintah serta prinsipal merek-merek otomotif besar yang ada selama ini mengakibatkan industri komponen tersebut kondisinya masih jauh dari sentuhan pengembangan kemajuan teknologi dan praktek manajemen modern.

Persoalan lainnya lagi adalah bahwa dalam struktur biaya produksi komponen kendaraan nasional sekarang, kenaikan harga mobil lebih dipengaruhi instrumen pajak yang diterapkan pemerintah. Jika sebuah produk otomotif dikenakan pajak barang mewah atau bea masuk, dan struktur pajaknya naik, maka harga mobil juga akan mengalami kenaikan.

Salah satu langkah yang dilakukan saat ini adalah dengan memberikan insentif pajak seperti yang tertuang dalam revisi PP No 1/2007. PP tersebut mengatur tentang pemberian fasilitas pajak penghasilan (PPh) untuk investasi baru dan perluasan usaha dari beberapa industri tertentu di daerah tertentu yang berlaku hingga satu tahun, dimana industri komponen kendaraan bermotor dan mobil merupakan salah satu sektor yang mendapat keringanan tersebut.

Dalam pengambangan selanjutnya, pada setiap investasi yang masuk ke sektor industri komponen dan mobil akan mendapatkan fasilitas pengurangan PPh 30% selama 6 tahun. Dengan masuknya sektor komponen otomotif ke dalam revisi PP No. 1/2007, maka diharapkan akan mendorong masuknya investasi baru di sektor komponen berteknologi tinggi.

Kendala lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu masalah ketersediaan bahan baku. Dalam mengembangkan produksi komponen kendaraan bermotor juga membutuhkan berbagai jenis bahan baku seperti baja aluminium, perunggu, tembaga, resin pencetak, karet dan senyawa karet, serta produk busa dan kertas dengan aneka kepadatan dan komposisi.

Jika dicermati kembali, hampir seluruh negara produsen otomotif dunia telah terlebih dahulu memiliki industri dasar sebagai penyedia bahan baku. Sementara di Indonesia, pengembangan industri tersebut nampaknya belum menunjukan hasil yang cukup maksimal. Akibatnya, sebagian besar bahan-bahan itu ada yang masih harus diimpor dari Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Cina.

Dilihat dari komposisi seluruh biaya produksi komponen, sebanyak 30% atau terbesar untuk pengadaan bahan baku, lalu biaya pabrikan 28%, biaya pedagang eceran 23%, dan biaya pedagang grosiran 19%.

Di sisi lain, struktur pasar untuk beberapa jenis industri dasar seperti industri besi-baja, plastik, lembaran timah, tembaga, kaca, karet, dan industri kimia hingga saat ini masih berbentuk monopoli atau oligopoli. Dengan demikian, tidak tercipta sebuah iklim kompetisi yang baik dan mampu menghasilkan produk-produk yang berkualitas serta dengan harga yang kompetitif.

Padahal produk-produk dari industri dasar merupakan kebutuhan yang tidak terpisahkan dari strategi pengembangan industri komponen dan otomotif. Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah dimasukannya komponen biaya tersebut ke dalam harga mobil. Karenanya pula disaat minyak mentah yang semakin tinggi ini, secara tidak langsung juga akan berpengaruh pada kenaikan harga mobil.

Ekspor

Sejak tahun 2007, sektor otomotif merupakan salah satu sektor komoditas dari 6 sektor komodtas ekspor unggulan Indonesia untuk pasar ASEAN. Secara umum, untuk nilai ekspor kendaraan bermotor serta komponen kendaraan bermotor Indonesia semenjak tahun 2001 hingga 2007 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 29,2%. Secara keseluruhan jumlah ekspor kendaraan bermotor tahun 2007 dalam bentuk CBU mencapai 60.267 unit, CKD 105.642 set dan komponen 290.475 pieces.

Sebagian besar ekspor produk-produk sektor ini ditujukan untuk pasar Jepang. Nilai ekspor kendaraan dan komponen kendaraan bermotor (HS 87) ke negara tersebut mencapai hampir US$ 250 juta pada 2006 dan US$ 273,7 juta di tahun 2007. Ekspor terbesar merupakan komponen dan asesoris kendaraan bermotor (HS 8708). Komposisi ekspor produk ini mencapai 84% dari total nilai ekspor kendaraan bermotor dan dan komponennya ke Jepang.

Dalam persaingan dengan industri otomotif negara ASEAN lainnya, hingga tahun 2003 Thailand mendominasi dengan dukungan industri komponen sebanyak 1.500 unit. Pengembangan industri komponen di beberapa negara kawasan Asia lain seperti India dan China juga terus mengalami peningkatan.

Thailand sendiri memang memiliki bangun industri otomotif yang relatif lengkap. Mereka tak hanya memiliki industri perakitan, tetapi juga masuk ke sektor manufaktur, termasuk industri komponen. Keberhasilan Thailand ini tak lepas dari dukungan kebijakan dan perbankan. Kondisi inilah yang mendorong beberapa pabrikan mobil menjadikan Thailand sebagai basis produksinya untuk Asia.

Dalam soal persaingan teknologi produk sudah lagi bukan menjadi masalah utama. Sebab secara umum teknologinya sudah dimiliki dan dikuasai, hanya, penerapannya yang dibatasi. Hal ini penting sebagai langkah untuk memberikan jaminan kepastian dan kesinambungan kualitas produk.

Satu hal yang harus dipahami dan dicermati lagi adalah bagaimana produk-produk Indonesia memilik daya saing dengan produk-produk serupa di pasar internasional. Salah satu cara untuk mengetahuinya adalah dengan menghitung nilai indeks dari Reavealed Comparative Advantage (RCA). Berdasarkan hasil perhitungan RCA tersebut, sebuah komoditas atau produk dinilai memiliki daya saing di pasar dunia apabila nilai indeks yang dihasilkan bernilai 1,0 atau lebih dan sebaliknya

Hasil perhitungan RCA tentang komoditas-komoditas ekspor penting Indonesia yang dilakukan oleh penulis tahun 2007-2008, memperlihatkan bahwa sampai dengan tahun 2006 Indonesia memiliki 33 jenis komoditas yang unggulan. Namun pada kenyataannya, khusus kelompok komoditas yang menyangkut kendaraan bermotor, komponen serta asesorisnya (HS 87 dan turunannya), memang bukan termasuk kelompok komoditas yang memiliki daya saing (tidak kompetitif) di pasar dunia.

Dengan lemahnya daya saing produk-produk otomotif, komponen dan asesorisnya tersebut, artinya pengembangan industri tersebut di Indonesia memerlukan peningkatan efisiensi dan efektifitas agar terus mampu bersaing dengan produk-produk serupa dari negara-negara tetangga.

Caranya tiada lain tentu dengan menyelesaikan berbagai kendala dan persoalan sebagaimana disampaikan di atas. Tentunya disertai dengan penyelesaian ekonomi biaya tinggi yang sudah menjadi persoalan klasik di negeri ini (Nugroho Pratomo/ Peneliti INRISE dan Litbang Media Group)

Senin, 09 Juni 2008

PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR: UPAYA MELEPASKAN DIRI DARI KEMISKINAN

Mungkin hampir tidak ada satupun negara di dunia ini yang akan bisa terlepas sepenuhnya dari persolan kemiskinan. Satu hal yang paling mungkin dilakukan tentunya adalah bagaimana menciptakan agar kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin tidak terlalu jauh. Namun untuk mencapainya diperlukan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang lebih komprehensif.

Kebutuhan dasar

Perubahan paradigma pembangunan dunia sejak awal dekade 1990an, memang telah memaknai pembangunan lebih dari sekedar tingkat pertumbuhan ekonomi. Sebab pada kenyataannya pembangunan yang semata didasarkan pada berbagai indikator ekonomi (economic development) justru lebih sering menimbulkan banyak distorsi.

Begitu pula dengan perhitungan laju pertumbuhan ekonomi yang seringkali tidak cukup mampu menunjukan pembangunan kondisi sosial ekonomi secara lebih riil. Akibatnya, di tengah tingginya pertumbuhan ekonomi, persoalan kemiskinan lebih sering menjadi persoalan yang bersifat laten. Terutama bagi negara-negara berkembang.

Menilik kembali pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia, kondisi yang terjadi selama Orde Baru telah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Ketika itu semua orang tahu bahwa pada puncaknya di tahun 1995-1996 pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 7% per tahun.

Melalui tingkat pertumbuhan tersebut jumlah orang miskin di Indonesia dapat ditekan menjadi 34 juta atau 17,7% dari total penduduk. Jika dibandingkan tahun 1976, kondisi tersebut jelas jauh lebih baik, Sebab dengan jumlah mencapai 54 juta, persentase orang miskin terhadap jumlah penduduk saat itu sebesar 40%.

Namun demikian, data Human Development Report tahun 1998 menunjukan bahwa untuk kondisi tahun 1995, dengan tingkat pendapatan perkapita (PPP) yang mencapai hampir US$ 4000, nilai HDI Indonesia justru hanya 0,679. Laporan HDR 2007/2008 menunjukan bahwa untuk tahun 2005 HDI Indonesia adalah 0,728 dengantingkat pendapatan perkapita (PPP) US$ 3843 (lihat tabel).

Tabel Trend Indeks Pembangunan Manusia Negara-negara ASEAN

Negara

1975

1980

1985

1990

1995

2000

2005

Singapura

0.729

0.762

0.789

0.827

0.865

..

0.922

Malaysia

0.619

0.662

0.696

0.725

0.763

0.790

0.811

Thailand

0.615

0.654

0.679

0.712

0.745

0.761

0.781

Filipina

0.655

0.688

0.692

0.721

0.739

0.758

0.771

Indonesia

0.471

0.533

0.585

0.626

0.670

0.692

0.728

Vietnam

..

..

0.590

0.620

0.672

0.711

0.733

Sumber: UNDP, Human Development Report 2007/2008


Apabila dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya yaitu Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand, posisi HDI mereka berada di atas Indonesia. Hal mengartikan pula bahwa pembangunan yang sekedar menekankan kepada pertumbuhan ekonomi tidak cukup untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Mencermati berbagai indikator yang menjadi penilaian HDI, maka satu aspek yang patut menjadi perhatian adalah soal pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs). Jika mau kembali kepada definisi kemiskinan, maka ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar ini biasa disebut dengan kemiskinan absolut.

Jeffrey D. Sachs dalam bukunya The End of Poverty(2005) mengistilahkan bentuk kemiskinan ini sebagai the extreme poverty. Menurutnya, bentuk kemiskinan dalam konteks ini merupakan ketidakmampuan seseorang, suatu keluarga atau sekelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Baik itu dalam soal pangan maupun nonpangan.

Dalam soal non pangan ini menyangkut pula di dalamnya adalah pendidikan dasar, kesehatan, perumahan, serta kebutuhan transportasi. Pertanyaannya sekarang ialah bagaimana sebenarnya upaya pemenuhan kebutuhan dasar ini selama ini di Indonesia?

Kemiskinan relatif

Pasca krisis ekonomi, persoalan kebutuhan dasar tersebut memang banyak kembali mengemuka. Terlepas dari ketertutupan informasi selama Orde Baru, namun fakta yang ada akhir-akhir ini menunjukan masih terjadi kasus-kasus seperti kekurangan gizi di beberapa daerah dan tingginya angka putus sekolah. Munculnya masalah-masalah seperti ini memang tidaklah terlalu mengejutkan. Karena seperti telah banyak diduga sebelumnya, ancaman paling menakutkan dari krisis ekonomi adalah terjadinya generasi yang hilang (the lost generation).

Begitu pula ketika seperti saat ini ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) atau penyaluran Raskin. Banyak perdebatan muncul ketika pemerintah dalam pencairan BLT tahap pertama 2008 masih memanfaatkan data kemiskinan tahun 2005. Akibatnya, beberapa kepala desa dari berbagai daerah di Indonesia kemudian berbondong-bondong melakukan protes. Meski mengaku tidak menolak pengucuran dana BLT, namun mereka menilai bahwa bentuk bantuan seperti itu bukan sebuah hal yang mendidik masyarakat.

Munculnya perdebatan seperti tersebut di atas, pada dasarnya adalah adanya penggunaan berbagai ukuran atau indikator yang lebih menunjukan kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif ini diukur dari berbagai indikator seperti ketimpangan tingkat pendapatan, bentuk rumah atau hal-hal yang lebih bersifat fisik lainnya.

Jika kemudian hal tersebut hendak dikaitkan dengan keberagaman sosial budaya yang ada di Indonesia. Tentunya dalam menentukan standar kemiskinan fisik di tiap daerah menjadi berbeda-beda. Oleh karenanya jika mau mengukur kemiskinan relatif tersebut, maka tiap daerah harus bisa menentukan berbagai indikator khusus yang memang menjadi spesifikasi daerahnya.

Indikator-indikator inilah yang nantinya menjadi ukuran-ukuran tambahan atau pelengkap dalam menilai apakah seseorang atau keluarga masuk ke dalam kelompok miskin di suatu daerah.

Di satu sisi disadari bahwa berbagai indikator fisik yang selama ini digunakan merupakan indikator yang relatif paling mudah terlacak dan dapat dibuktikan secara kasat mata. Tapi di sisi lain, juga semakin disadari bahwa apa yang ditunjukan secara fisik tersebut hanyalah merupakan representasi atau penggambaran atas kegagalan pembangunan kualitas manusia itu sendiri.

Artinya, kemiskinan relatif yang ditunjukan oleh berbagai indikator fisik tersebut hanyalah hasil akhir ketika sebuah seseorang atau keluarga tidak lagi mampu memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar dan kesehariannya. Tapi hal itu tidak cukup mampu menunjukan sejauhmana seseorang atau keluarga terjebak dalam kemiskinan dan apakah mereka mampu keluar dari kemiskinan itu sendiri.

Keluar dari kemiskinan

Terkait dengan hal tersebut, Sachs kemudian dalam buku terbarunya, Common Wealth: Economics for a Crowded Planet (2008) mencoba menyampaikan empat tipe invetasi dasar sebagai upaya untuk keluar dari kemiskinan tersebut (escape from extreme poverty).

Pertama adalah dorongan untuk peningkatan produktivitas pendapatan/ mata pencaharian di sektor pertanian. Argumentasi ini tentunya menjadi sangat relevan dalam kasus Indonesia. Sebab seperti pernah disampaikan dalam analisis Media Indonesia (26/5), mengutip data BPS nampak bahwa sebagian besar penduduk miskin di Indonesia memang tinggal di pedesaan dengan pekerjaan utama di sektor pertanian.

Meski selama periode Maret 2006-Maret 2007, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,20 juta dan di daerah perkotaan berkurang 0,93 juta orang, namun pada dasarnya persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Sampai bulan Maret 2007, sekitar 63,52% penduduk miskin berada di daerah pedesaan.

Kedua, adalah peningkatan taraf kesehatan termasuk pengendalian terhadap berbagai penyakit pembunuh utama. Ketiga, ialah peningkatan pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan dan memastikan bahwa setiap penduduk atau keluarga yang ada memiliki keahlian yang dibutuhkan untuk menjalankan dan mengembangkan perekonomian lokal. Keempat adalah, peningkatan sarana dan prasarana infrastruktur seperti jalan, sanitasi, listrik hingga air minum yang layak dan bahkan internet.

Persoalannya, seperti juga terjadi di sebagian besar negara berkembang persoalan keterbatasan anggaran menjadi hambatan utama. Di satu sisi di sinilah sebenarnya letak pentingnya aktualisasi sebuah data statistik sebagai upaya agar pemerintah dapat benar-benar menggunakan dana secara lebih terarah sesuai dengan prioritas.

Di sisi lain, fakta yang terjadi menunjukan bahwa ada beberapa daerah yang sudah mampu memberikan pelayanan sekolah gratis terutama pada tingkatan SD. Kondisi ini sekaligus memberikan sebuah kenyataan yang menunjukan bahwa sebenarnya ada kemampuan untuk mampu melaksanakan pembangunan manusia.

Begitu pula dengan pelayanan kesehatan gratis pada kelas tiga di rumah sakit. Artinya, meski masih dalam bentuk-bentuk yang terbatas, pemenuhan kebutuhan dasar secara gratis sebagai bagian dari pembangunan manusia masih dimungkinkan untuk dilakukan. Hal ini tentunya dengan berbagai prasyarat adanya keinginan politik serta koordinasi kerja dengan diikuti penegakan hukum yang lebih baik dari pemerintah di pusat dan daerah.

Terkait dengan konteks inilah, maka alokasi anggaran menjadi faktor kunci yang harus menjadi perhatian. Pemberian subsidi secara tidak terarah untuk sektor-sektor diluar kebutuhan dasar (termasuk BBM) adalah sebuah kesalahan besar dalam sebuah program pembangunan manusia.

Sebaliknya, dengan melakukan efisiensi anggaran, pemerintah bisa menghindari dari apa yang oleh Sach disebut dengan jebakan fiskal (fiscal trap), yaitu salah satu aspek yang menjadi penyebab kegagalan pemerintah untuk bisa meningkatkan pelayanan barang dan jasa publik.

Sayangnya hal inilah yang seharusnya lebih bisa dipahami oleh masyarakat dalam menilai kebijakan kenaikan harga BBM bulan Mei 2008. Realokasi anggaran subsidi BBM sebagai upaya untuk tetap menjaga pemenuhan kebutuhan dasar memang menyeret perekonomian dan masyarakat kepada lonjakan harga-harga untuk sementara waktu. Tapi untuk sementara waktu pula, BLT berfungsi sebagai mendorong kembali tingkat permintaan hingga tercapai keseimbangan harga baru.

Meski pada beberapa waktu tersebut juga tidak mudah menghitung harga ekonomi dan sosial yang ditimbulkannya, tapi inilah yang sebenarnya seringkali dikatakan oleh pemerintah sebagai penyelamatan anggaran. Sebuah penggunaan instrumen fiskal sebagai cara agar kebutuhan dasar (pendidikan dan kesehatan) masyarakat tetap terpenuhi.

Sesuai dengan namanya, maka segala sesuatu yang terkait di dalamnya jelas merupakan kebutuhan bagi setiap orang. Terpenuhinya kebutuhan dasar bagaimanapun juga akan membawa efek multiplier yang lebih luas. Melalui pendidikan yang baik misalnya, diharapkan setiap orang akan dapat lebih mudah memperoleh akses kepada pekerjaan dan tingkat pendapatan yang lebih baik pula.

Dengan demikian, mungkin “tidak terlalu relevan” lagi apakah masih banyak orang yang tinggal di rumah dengan dinding bambu serta berlantaikan tanah. Bahkan lebih luas lagi ada berapakah sebenarnya jumlah penduduk miskin di suatu daerah serta peningkatannya sebagai akibat penerapan sebuah kebijakan. Sebab pada akhirnya selama pemerintah baik pusat dan daerah belum bisa memberikan akses pemenuhan kebutuhan dasar kepada setiap anggota masyarakat, maka itu artinya dalam konteks pembangunan manusia persoalan kemiskinan masih akan terus membayangi. (Nugroho Pratomo/ Peneliti INRISE & Litbang Media Group)