Selasa, 20 Mei 2014

TINJAUAN KEBIJAKAN EKONOMI 10 SBY DAN HARAPAN PEMILU 2014


Oleh: NUGROHO PRATOMO*)
Dimuat di Majalah Esquire Indonesia, April 2014
 
Pemilu legislatif tinggal menghitung hari. Disusul dengan pemilu presiden di bulan Oktober. Berbagai isu terkait dengan pencalegan dan pencapresan semakin banyak mencuat. Termasuk lagi-lagi soal ekonomi dan kesejahteraan yang selalu seksi menjadi bahan komoditas politik. Berangkat dari 10 tahun pemerintahan SBY, tentunya banyak hal yang perlu kembali kita evaluasi sebagai bahan pemerintahan berikutnya.

Terkait dengan persoalan ekonomi dan kesejahteraan ini, tentunya kebijakan dibidang energi khususnya harga BBM adalah persoalan yang selalu akan diingat oleh banyak kalangan. Terhitung semenjak awal pelantikan periode pertama kekuasaannya 20 Oktober 2004 hingga menjelang akhir periode keduanya ini, SBY telah mengeluarkan kebijakan menaikan harga BBM 4 kali dan menurunkan harga sebanyak 3 kali. Kenaikan pertama 1 Maret 2005, yang dilanjutkan pada 1 Oktober 2005 dan yang ketiga terjadi 24 Mei 2008. Menjelang pemilu tahun 2009, pemerintah kemudian menurunkan harga BBM sebanyak 2 kali di bulan Desember 2008.  Penurunan harga berikutnya terjadi pada 15 Januari, yang menjadikan harga premium dan solar menjadi Rp 4500 per liter. Terakhir pada 21 Juni 2013, pemerintahan SBY kembali menaikan harga BBM yang menjadikan harga premium menjadi Rp 6500 per liter dan solar Rp 5500 per liter.

Kebijakan energi khususnya harga BBM adalah kebijakan yang selalu menghantui dalam setiap pemerintahan. Sebab kenaikan harga BBM selalu terkait dengan inflasi. Kebijakan subsidi harga energi selama ini memang merupakan persoalan dilematis. Di satu sisi, seiring dengan posisi Indonesia sebagai net importir minyak mentah telah menyebabkan beban anggaran semakin besar. Sementara di sisi lain, kebutuhan energi tiap tahun juga semakin meningkat.

Terkait dengan kebijakan energi ini, pada dasarnya pemerintahan SBY sendiri telah mengeluarkan sebuah kebijakan energi nasional yang tercantum dalam Perpres No.5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, dan kemudian diturunkan dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025. Dalam kebijakan tersebut sebenarnya juga telah diatur rencana pengembangan bauran energi (energy mix), yang salah satunya mengatur mengenai pengembangan berbagai energi alternatif di luar minyak. Namun pada kenyataannya, masih rendahnya pemanfaatan energi baru terbarukan yaitu antara 5-6 persen dalam bauran energi hingga tahun 2013, menunjukan masih ada inkonsistensi dalam implementasi kebijakan energi nasional yang dijalankan. Sebagai dampaknya, hingga saat ini ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar minyak masih cukup besar. Sehingga membawa pemerintahan SBY tenggelam dalam “hantu” popularitas politik.

Persoalan kedua yang menarik untuk dicermati adalah investasi. Seiring dengan disahkannya UU nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal, peningkatan investasi asing memang masih merupakan andalan sumber pendapatan maupun penyerapan tenaga kerja. Tetapi keinginan tersebut tidak serta merta didukung oleh pemerintah daerah. Pelaksanaan otonomi daerah selama ini justru telah menimbulkan berbagai persoalan yang seringkali menghambat investasi. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri dari tahun 2010-2013 terdapat 886 perda yang dinilai berpotensi menghambat investasi. Tahun 2009 jumlahnya bahkan mencapai 1800 perda. Kemunculan berbagai perda yang dinilai berpotensi menghambat investasi ini, pada dasarnya merupakan bukti lemahnya koordinasi dan kontrol pemerintah pusat terhadap daerah. 

Ketiga adalah soal pertumbuhan ekonomi. Turunnya tingkat laju pertumbuhan ekonomi dalam 3 tahun terakhir ini memang merupakan masalah tersendiri dalam perekonomian Indonesia. Tahun 2013 laju pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 5,78%. Lebih rendah dibandingkan tahun 2012 yaitu sebesar 6,23% dan 2011 yang mencapai 6,5%. Terlepas dari dampak krisis global, namun hal tersebut menunjukan bahwa persoalan fundamental ekonomi Indonesia masih berkutat pada hal yang sama. Pasca krisis ekonomi 1998, ekonomi Indonesia masih banyak tergantung dari konsumsi domestik dan belanja pemerintah. Kondisi ini sekali lagi menunjukan bahwa, investasi yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi memang masih jauh dari harapan. Berbagai masalah birokrasi yang menciptakan ekonomi biaya tinggi adalah pekerjaan rumah bagi setiap pemerintahan yang berkuasa.    

Terlepas dari hal tersebut, yang patut disimak adalah bagaimana kondisi kualitas pembangunan manusia. Terjadinya kelaparan di Yahukimo pada tahun 2006 dan kasus gizi buruk di beberapa daerah, menjadi sebuah peringatan bahwa pembangunan ekonomi bukan semata menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Lebih dari itu, pembangunan adalah bagaimana menciptakan manusia berkualitas sebagai modal utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Kebutuhan seperi inilah yang sebenarnya diharapkan dapat dihasilkan dari kebijakan 20% anggaran pendidikan dan implementasi jaminan sosial kesehatan. Namun demikian, hal tersebut tentunya tidak semudah membalikan telapak tangan. Perdebatan data kemiskinan dan keterbatasan akses informasi dari sebagian besar masyarakat khususnya kelas menengah bawah, adalah beberapa masalah yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Sehingga jangan sampai terjadi kesalahan subsidi seperti yang selama ini terjadi pada subsidi BBM.           

Berangkat dari sekelumit evaluasi ekonomi selama 10 tahun terakhir tersebut di atas, lantas apa yang bisa kita harapkan dari hasil pemilu 2014 ini? Mencermati harapan perbaikan ekonomi pasca pemilu, tentunya bisa kita telisik dari keberadaan partai-partai politik yang bertarung dalam pemilu. Jika diperhatikan dan ditanyakan mengenai visi, misi dan program ekonomi mereka, maka dengan bersemangat “ekonomi kerakyatan” dengan segala bentuk variannya adalah jawaban yang hampir pasti muncul dari partai-partai peserta pemilu tersebut. Permasalahannya, sejauh mana berbagai jargon tersebut mampu menjadi kenyataan .

Pada dasarnya apa yang disebut dengan ekonomi kerakyatan atau ekonomi pancasila menurut almarhum Prof Mubyarto sistem ekonomi dengan berasaskan kekeluargaan, berdaulat dan berpihak pada kepentingan rakyat. Hal ini dapat diterjemahkan dengan mengembangkan berbagai produksi yang berbasiskan pada usaha mandiri masyarakat. Secara sederhana, UMKM adalah pengejawantahan nyata dari apa yang disebut dengan ekonomi kerakyatan. Pertanyaannya, seberapa besar dampak yang diharapkan dari UMKM tersebut terhadap perekonomian? Selama ini masih banyak  UMKM dengan segala keterbatasannya, ternyata lebih banyak muncul sebagai bentuk usaha yang relatif memiliki daya saing cukup kuat. Jika UMKM ini hendak menjadi kekuatan ekonomi ke depan, maka integrasi dengan investasi industri besar merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintahan berikutnya. Sebagai prasyaratnya, kemampuan posisi tawar pemerintah terhadap kekuatan modal global adalah hal yang tidak bisa ditawar. Jaminan seperti inilah yang harus diberikan oleh parpol jika benar ingin konsisten dengan jargon ekonomi yang dijanjikannya. Jika tidak, maka pemilu hanya tinggal menjadi ritual demokrasi yang tidak memberikan arti pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan.
*) Peneliti pada Institut Riset Sosial dan Ekonomi (Inrise).