Oleh: NUGROHO PRATOMO*)
Dimuat di Majalah Esquire Indonesia, April 2014
Pemilu legislatif tinggal menghitung
hari. Disusul dengan pemilu presiden di bulan Oktober. Berbagai isu terkait
dengan pencalegan dan pencapresan semakin banyak mencuat. Termasuk lagi-lagi
soal ekonomi dan kesejahteraan yang selalu seksi menjadi bahan komoditas
politik. Berangkat dari 10 tahun pemerintahan SBY, tentunya banyak hal yang
perlu kembali kita evaluasi sebagai bahan pemerintahan berikutnya.
Terkait dengan persoalan ekonomi dan
kesejahteraan ini, tentunya kebijakan dibidang energi khususnya harga BBM
adalah persoalan yang selalu akan diingat oleh banyak kalangan. Terhitung
semenjak awal pelantikan periode pertama kekuasaannya 20 Oktober 2004 hingga
menjelang akhir periode keduanya ini, SBY telah mengeluarkan kebijakan menaikan
harga BBM 4 kali dan menurunkan harga sebanyak 3 kali. Kenaikan pertama 1 Maret
2005, yang dilanjutkan pada 1 Oktober 2005 dan yang ketiga terjadi 24 Mei 2008.
Menjelang pemilu tahun 2009, pemerintah kemudian menurunkan harga BBM sebanyak
2 kali di bulan Desember 2008. Penurunan
harga berikutnya terjadi pada 15 Januari, yang menjadikan harga premium dan
solar menjadi Rp 4500 per liter. Terakhir pada 21 Juni 2013, pemerintahan SBY
kembali menaikan harga BBM yang menjadikan harga premium menjadi Rp 6500 per
liter dan solar Rp 5500 per liter.
Kebijakan energi khususnya harga BBM
adalah kebijakan yang selalu menghantui dalam setiap pemerintahan. Sebab
kenaikan harga BBM selalu terkait dengan inflasi. Kebijakan subsidi harga
energi selama ini memang merupakan persoalan dilematis. Di satu sisi, seiring
dengan posisi Indonesia sebagai net importir minyak mentah telah menyebabkan
beban anggaran semakin besar. Sementara di sisi lain, kebutuhan energi tiap
tahun juga semakin meningkat.
Terkait dengan kebijakan energi ini,
pada dasarnya pemerintahan SBY sendiri telah mengeluarkan sebuah kebijakan
energi nasional yang tercantum dalam Perpres No.5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan
Energi Nasional, dan kemudian diturunkan dalam Blueprint Pengelolaan Energi
Nasional 2006-2025. Dalam kebijakan tersebut sebenarnya juga telah diatur
rencana pengembangan bauran energi (energy mix), yang salah satunya mengatur
mengenai pengembangan berbagai energi alternatif di luar minyak. Namun pada
kenyataannya, masih rendahnya pemanfaatan energi baru terbarukan yaitu antara
5-6 persen dalam bauran energi hingga tahun 2013, menunjukan masih ada inkonsistensi
dalam implementasi kebijakan energi nasional yang dijalankan. Sebagai
dampaknya, hingga saat ini ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar minyak
masih cukup besar. Sehingga membawa pemerintahan SBY tenggelam dalam “hantu”
popularitas politik.
Persoalan kedua yang menarik untuk dicermati adalah
investasi. Seiring dengan disahkannya UU nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman
modal, peningkatan investasi asing memang masih merupakan andalan sumber
pendapatan maupun penyerapan tenaga kerja. Tetapi keinginan tersebut tidak
serta merta didukung oleh pemerintah daerah. Pelaksanaan otonomi daerah selama
ini justru telah menimbulkan berbagai persoalan yang seringkali menghambat
investasi. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri dari tahun 2010-2013
terdapat 886 perda yang dinilai berpotensi menghambat investasi. Tahun 2009
jumlahnya bahkan mencapai 1800 perda. Kemunculan berbagai perda yang dinilai
berpotensi menghambat investasi ini, pada dasarnya merupakan bukti lemahnya
koordinasi dan kontrol pemerintah pusat terhadap daerah.
Ketiga adalah soal pertumbuhan ekonomi. Turunnya tingkat laju
pertumbuhan ekonomi dalam 3 tahun terakhir ini memang merupakan masalah
tersendiri dalam perekonomian Indonesia. Tahun 2013 laju pertumbuhan ekonomi hanya
sebesar 5,78%. Lebih rendah dibandingkan tahun 2012 yaitu sebesar 6,23% dan
2011 yang mencapai 6,5%. Terlepas dari dampak krisis global, namun hal tersebut
menunjukan bahwa persoalan fundamental ekonomi Indonesia masih berkutat pada
hal yang sama. Pasca krisis ekonomi 1998, ekonomi Indonesia masih banyak
tergantung dari konsumsi domestik dan belanja pemerintah. Kondisi ini sekali
lagi menunjukan bahwa, investasi yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan
ekonomi memang masih jauh dari harapan. Berbagai masalah birokrasi yang
menciptakan ekonomi biaya tinggi adalah pekerjaan rumah bagi setiap
pemerintahan yang berkuasa.
Terlepas dari hal tersebut, yang patut disimak adalah
bagaimana kondisi kualitas pembangunan manusia. Terjadinya kelaparan di
Yahukimo pada tahun 2006 dan kasus gizi buruk di beberapa daerah, menjadi
sebuah peringatan bahwa pembangunan ekonomi bukan semata menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Lebih dari itu, pembangunan adalah bagaimana
menciptakan manusia berkualitas sebagai modal utama dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi itu sendiri. Kebutuhan seperi inilah yang sebenarnya diharapkan dapat
dihasilkan dari kebijakan 20% anggaran pendidikan dan implementasi jaminan
sosial kesehatan. Namun demikian, hal tersebut tentunya tidak semudah membalikan
telapak tangan. Perdebatan data kemiskinan dan keterbatasan akses informasi
dari sebagian besar masyarakat khususnya kelas menengah bawah, adalah beberapa
masalah yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Sehingga jangan sampai terjadi
kesalahan subsidi seperti yang selama ini terjadi pada subsidi BBM.
Berangkat dari sekelumit evaluasi ekonomi selama 10 tahun
terakhir tersebut di atas, lantas apa yang bisa kita harapkan dari hasil pemilu
2014 ini? Mencermati harapan perbaikan ekonomi pasca pemilu, tentunya bisa kita
telisik dari keberadaan partai-partai politik yang bertarung dalam pemilu. Jika
diperhatikan dan ditanyakan mengenai visi, misi dan program ekonomi mereka,
maka dengan bersemangat “ekonomi kerakyatan” dengan segala bentuk variannya
adalah jawaban yang hampir pasti muncul dari partai-partai peserta pemilu
tersebut. Permasalahannya, sejauh mana berbagai jargon tersebut mampu menjadi
kenyataan .
Pada dasarnya apa yang disebut dengan ekonomi kerakyatan atau
ekonomi pancasila menurut almarhum Prof Mubyarto sistem ekonomi dengan
berasaskan kekeluargaan, berdaulat dan berpihak pada kepentingan rakyat. Hal
ini dapat diterjemahkan dengan mengembangkan berbagai produksi yang berbasiskan
pada usaha mandiri masyarakat. Secara sederhana, UMKM adalah pengejawantahan
nyata dari apa yang disebut dengan ekonomi kerakyatan. Pertanyaannya, seberapa
besar dampak yang diharapkan dari UMKM tersebut terhadap perekonomian? Selama
ini masih banyak UMKM dengan segala
keterbatasannya, ternyata lebih banyak muncul sebagai bentuk usaha yang relatif
memiliki daya saing cukup kuat. Jika UMKM ini hendak menjadi kekuatan ekonomi
ke depan, maka integrasi dengan investasi industri besar merupakan salah satu
cara yang dapat dilakukan oleh pemerintahan berikutnya. Sebagai prasyaratnya,
kemampuan posisi tawar pemerintah terhadap kekuatan modal global adalah hal
yang tidak bisa ditawar. Jaminan seperti inilah yang harus diberikan oleh
parpol jika benar ingin konsisten dengan jargon ekonomi yang dijanjikannya.
Jika tidak, maka pemilu hanya tinggal menjadi ritual demokrasi yang tidak
memberikan arti pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan.
*) Peneliti pada Institut Riset Sosial dan Ekonomi
(Inrise).