Analisis Media Indonesia; 5 September 2008
Setelah sejak tahun 2007 pemerintah membuka kesempatan melakukan impor gula, maka mulai tahun 2009 kebijakan tersebut akan mulai dihentikan. Kebijakan ini dimulai dengan membatalkan kembali realisasi impor gula sebesar 500 ribu ton, yang terdiri gula mentah dan gula rafinasi.
Awalnya, pada 2007, pemerintah berenncana melakukan impor gula mentah (raw sugar) mencapai 1,6 juta ton dan impor gula rafinasi sebanyak 600 ribu ton dari keseluruhan jumlah kebutuhan gula rafinasi 800 ribu ton. Sedangkan sisa kebutuhan gula rafinasi akan dipenuhi oleh produsen dalam negeri yang kemampuan produksinya telah mencapai 1,2 juta ton.
Pembatalan ini dilakukan seiring dengan perkiraan akan terjadi kelebihan produksi gula putih sampai 850 ribu ton dari petani dan produsen gula domestik yang terjadi sejak awal tahun 2008. Selain itu, kebijakan seperti ini juga sejalan dengan proses revitalisasi sejumlah pabrik gula yang masih terus berjalan.
Dari sisi harga, mulai terjadinya kelebihan produksi tersebut diindikasikan dengan rendahnya harga gula lokal pada tingkat produsen hanya berkisar Rp4.910 hingga Rp4.935 per kilogram. Harga ini sebenarnya lebih rendah dibandingkan dengan harga pokok penyanggaan yang sebelumnya telah ditetapkan pemerintah, yaitu sebesar Rp5.000 per kilogramnya.
Menilik jumlah impor gula yang dilakukan, sebenarnya sudah sejak tahun 2003 lalu jumlahnya sudah mengalami penurunan. Dari data izin impor gula yang diberikan oleh Departemen perdagangan, pada tahun 2003 jumlah impor gula mencapai 810,5 ribu ton. Jumlah tersebut menurun di tahun 2004 menjadi 630,5 ribu ton dan 500 ribu ton untuk tahun 2005. Sedangkan pada tahun 2007 sebagai importirnya, izinnya masih tetap diberikan kepada 5 perusahaan sebagai importir terdaftar.
Dalam konteks industrialisasi penerapan tata niaga gula seringkali dinilai justru tidak memberikan dampak yang signifkan terhadap pengembangan dan revitalisasi industri gula domestik. Pasca krisis dan kerjasama dengan IMF, pemerintah praktis tidak lagi terlalu banyak bisa berperan dalam perdagangan dan pengambangan sektor-sektor komoditas termasuk gula.
Namun pada saat yang bersamaan, pemerintah nampaknya juga tetap bersikeras untuk bisa memainkan perannya sebagai upaya pemberian “perlindungan” terhadap industri gula domestik dan kepada para petani tebu khususnya. Akibatnya, bentuk koordinasi yang dapat dilakukan juga semakin terbatas.
Meski demikian, pembukaan akses pasar yang lebih luas bagi gula impor seharusnya juga harus pula mulai dipahami sebagai sebuah bentuk tantangan bagi pengembangan industri gula domestik. Pengembangan industri gula di luar Jawa dengan menggunakan sistem tebu yang dimiliki pabrik disertai penggunaan sistem sewa tanah (hak guna tanah) harus tetap dilakukan sebagai bentuk peningkatan investasi serta pengembangan industri dalam negeri.
Sayangnya, dalam pelaksanaannya lagi-lagi hal ini terbentur dengan keterbatasan infratruktur yang tersedia. Sementara bagi industri gula di pulau Jawa, nampaknya seiring dengan perubahan sistem politik dan ekonomi yang lebih memberikan keleluasaan pada daerah (desentralisasi), masuknya gula impor tersebut mau tidak mau harus diikuti dengan sebuah perubahan kebijakan sistem perkebunan tebu yang mampu meningkatkan kualitas rendemen tebu. Karenanya, bukan hal yang tidak mustahil apabila sistem sebagaimana berlaku di luar Jawa saat ini menjadi salah satu alternatif pemikiran kebijakan revitalisasi gula di Jawa.
Tebu
Mencermati kondisi perkebunan tebu nasional memang merupakan salah satu bagian dari sejarah panjang keberadaan industri gula di Indonesia yang telah ada sejak jaman kolonial. Industri gula ketika itu mengalami masa kejayaan di tahun 1930-an. Tingkat produksi pada masa itu bisa mencapai 3,1 juta ton, dimana sebagian besar atau sekitar 2,4 juta ton merupakan komoditas ekspor.
Tingginya produksi gula tersebut didukung oleh luas areal perkebunan tebu dan tingkat produksi yang relatif masih sangat tinggi. Namun pada perkembangannya, luas areal tanaman tebu Indonesia sampai dengan tahun 2006 mencapai 384 ribu hektar dengan kontribusi utama adalah Jawa Timur, yaitu sebesar 44,4% atau 170,5 ribu hektar, Jawa Tengah seluas 41 ribu atau 10,7% dan Jawa Barat sebesar 5,9% atau mencapai 22,5 hektar.
Sementara untuk pekebunan tebu terluas di luar pulau Jawa, terdapat di Lampung. Luas perkebunan tebu di propinsi tersebut sampai dengan tahun 2006 mencapai 103,84 ribu hektar. Luas ini merupakan 27% dari total perkebunan tebu di Indonesia.
Sampai dengan tahun 2004, areal tebu Indonesia secara keseluruhan mengalami stagnasi pada kisaran sekitar 340 ribu hektar dan kembali naik di tahun 2005-2006. Jika dilihat pada sepuluh tahun terakhir, luas areal tebu Indonesia secara umum mengalami penurunan rata-rata sekitar minus 1% per tahun dengan luas areal tertinggi dicapai tahun 1996 dengan luas mencapai 446 ribu ha, walaupun pada tahun 2004 mulai terjadi peningkatan.
Dalam soal produksi, menunjukan bahwa pada sepuluh tahun terakhir hingga tahun 2006 mengalami mengalami pertumbuhan yang relatif sangat rendah. Laju pertumbuhan produksi tersebut hanya mencapai 0,3% per tahun. Namun demikian, semenjak tahun 2004-2006, produksi gula mulai menunjukan laju pertumbuhan yang cukup menggembirakan.
Setelah pada tahun 1994, produksi tebu nasional mencapai 2,4 juta ton dan tahun 2004 hanya 2,1 juta ton, maka selama periode 2004-2006, laju pertumbuhan rata-rata produksi nasional mencapai 11,6% per tahun.
Pada saat terjadi krisis ekonomi, produksi tebu juga mengalami masa tersulit. Produksi terendah terjadi pada tahun 1998 dengan volume produksi 1,494 juta ton. Berbagai kebijakan pemerintah seperti kebijakan tata niaga impor sebagai bagian dari program akselerasi peningkatan produktivitas tebu. Berbagai kebijakan inilah yang berdampak positif pada meningkatnya kembali produksi gula nasional, semenjak tahun 2004.
Di samping penurunan areal, penurunan produktivitas merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi. Jika pada tahun 1990-an tingkat produktivitas tebu per hektar rata-rata mencapai 76,9 per hektar, maka pada tahun 2000-an hanya mencapai sekitar 62,7 ton per hektar.
Salah satu indikator untuk menilai produktivitas terubu tersebut juga dapat dilihat dari kualitas rendemen. Tingkat rendemen mengalami penurunan dengan laju sekitar minus 1,3% per tahun pada dekade terakhir. Pada tahun 1998, rendemen mencapai titik terendah yaitu mencapai 5,49%. Selanjutnya, tingkat rendemen mulai meningkat dan pada tahun 2004 hingga menjadi 7,67 % .
Dalam proses pemulihan produksi tebu tersebut keterlibatan swasta memang tidak bisa diabaikan lagi. Melalui pembukaan lahan-lahan perkebunan baru tersebut yang sebagain besar berada di luar Jawa, maka jumlah produksi gula Indonesia pada tahun 2009 mendatang diperkirakan akan mencapai 3,3 juta ton.
Sebagai upaya pencapaian target tersebut, diperlukan tambahan areal perkebunan tebu hingga mencapai 462.851 hektare pada 2009. Tambahan tebu giling juga mesti diangkat 6,86 juta ton, dari 30,31 juta ton menjadi 37,17 juta ton. Sementara dari kualitas rendemen harus naik 0,46%, dari 7,77% pada 2007 menjadi 8,23% pada 2009.
Namun dalam implementasinya hal ini memang tidak mudah. Sebab sebagaimana sampai saat ini, sebagian besar perbankan sendiri masih enggan mengucurkan kreditnya, terutama dalam jumlah yang besar.
Pada saat yang bersamaan, tahun 2007 ini saja diperkirakan defisit gula domestik jumlahnya akan mencapai 1,9 juta ton. Jumlah tersebut ialah kekurangan dari kemampuan kapasitas produksi nasional yang sampai dengan tahun 2007 ini baru sebesar 2,35 juta ton. Padahal kebutuhan gula nasional sudah mencapai 4,2 juta ton setiap tahunnya. Artinya, dengan jumlah kemampuan produksi tersebut di tahun 2009, maka nampaknya Indonesia masih terancam akan terus mengimpor gula untuk kebutuhan domestiknya.
Pengembangan perkebunan tebu secara mandiri oleh pabrik gula pada dasarnya dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan pabrik gula itu sendiri. Adalah satu yang patut dipertimbangkan adalah bahwa program revitalisasi pabrik gula atau bahkan pembangunan pabrik gula baru memang memerlukan dana yang tidak sedikit.
Seiring dengan rencana pemerintah mengembangkan energi alternatif, hal tersebut seharusnya memberikan kesempatan bagi para pabrik gula untuk bisa melakukan diversifikasi produknya. Salah satunya adalah dengan melakukan pengembangan industri etanol sebagaimana telah banyak dilakukan di Brazil.
Dengan demikian, tentunya pabrik gula akan mendapatkan tambahan hasil produksi. Bahkan jika hal ini bisa dikelola dengan maksimal dengan bekerjasama dengan pihak pemda, bukannya tidak mungkin proyek energi alternatif yang dilakukan oleh pabrik-pabrik gula tersebut bisa melibatkan secara aktif masyarakat setempat terutama dalam hal ini adalah para petani tebu. (Nugroho Pratomo/Peneliti Inrise & Litbang Media Group)
Sabtu, 06 September 2008
Langganan:
Postingan (Atom)