Kendala Pengembangan
Sebelum krisis ekonomi terjadi di tahun 1998, pemerintah Orde Baru sangat bersemangat untuk mengembangkan proyek mobil nasional (Mobnas). Meski menimbulkan berbagai pro dan kontra, namun pemerintah ketika itu tetap bersikeras untuk melanjutkan program tersebut. Kontroversi tersebut terutama muncul sebagai akibat adanya program kerjasama dengan pihak industri otomotif Korea Selatan untuk mendatangkan mobil secara utuh (built-up) tanpa dikenai bea masuk.
Sebagian besar pabrikan mobil terutama dari Jepang yang sebelumnya telah ada dan menguasai pangsa pasar mobil di Indonesia, merasa terancam dan menilai bahwa kebijakan tersebut sangat diskriminatif. Akibatnya, mereka juga sekaligus mengajukan gugatan ke organisasi perdagangan dunia (WTO).
Satu hal yang patut dicatat, bahwa salah satu hal yang membedakan dengan impor mobil yang ada selama ini adalah program mobil nasional saat itu, tidak hanya sekedar mendatangkan mobil tapi mereka sekaligus juga telah membeli cetak biru (blue print) atas rancangan mobil yang mereka datangkan.
Hal inilah yang sempat memperkuat alasan mereka untuk terus mengembangkan program mobil nasional hingga akhirnya terhenti akibat terjadinya krisis moneter dan ekonomi yang berujung pada berakhirnya kekuasaan Orde Baru.
Terlepas dari berbagai persoalan tersebut, pengembangan mobil nasional pada dasarnya juga masih harus menghadapi berbagai kendala. Terutama dalam soal kesiapan industri komponen dan bahan baku. Pada industri komponen, hai ini terkait dengan kesiapan penerapan sistem produksi yang efisien serta efektif. Dengan demikian dapat menghasilkan produk secara tepat jumlah, tepat kualitas, dan tepat waktu.
Di dalam industri otomotif yang ada di dunia saat ini, untuk menjamin terciptanya proses produksi yang efisien dan efektif tersebut para pabrikan otomotif kemudian menerapkan sebuah sistem yang dikenal dengan sistem Just In Time (JIT).
Menurut Fahmi Nasution (2004) sistem JIT merupakan filosofi pemanufakturan yang memiliki implikasi penting dalam manajemen biaya. Ide dasar sistem ini adalah produksi hanya ada apabila terdapat permintaan (full system) atau sesuai permintaan. Dengan demikian output yang dihasilkannya juga hanya sebesar kuantitas yang diminta.
Penerapan sistem seperti ini dalam industri otomotif sebenarnya pada awalnya dipelopori Toyota. Namun kini pada perkembangan selanjutnya, hal tersebut diikuti hampir seluruh produsen otomotif dunia saat ini. Salah satu konsekuensi penerapan sistem ini adalah industri komponen dalam industri otomotif menjadi semakin penting.
Sayangnya di Indonesia sebagian besar dari industri komponen otomotif masih banyak yang bersifat sebagai industri rumah tangga (home industry). Masih kurangnya pembinaan dari pemerintah serta prinsipal merek-merek otomotif besar yang ada selama ini mengakibatkan industri komponen tersebut kondisinya masih jauh dari sentuhan pengembangan kemajuan teknologi dan praktek manajemen modern.
Persoalan lainnya lagi adalah bahwa dalam struktur biaya produksi komponen kendaraan nasional sekarang, kenaikan harga mobil lebih dipengaruhi instrumen pajak yang diterapkan pemerintah. Jika sebuah produk otomotif dikenakan pajak barang mewah atau bea masuk, dan struktur pajaknya naik, maka harga mobil juga akan mengalami kenaikan.
Salah satu langkah yang dilakukan saat ini adalah dengan memberikan insentif pajak seperti yang tertuang dalam revisi PP No 1/2007. PP tersebut mengatur tentang pemberian fasilitas pajak penghasilan (PPh) untuk investasi baru dan perluasan usaha dari beberapa industri tertentu di daerah tertentu yang berlaku hingga satu tahun, dimana industri komponen kendaraan bermotor dan mobil merupakan salah satu sektor yang mendapat keringanan tersebut.
Dalam pengambangan selanjutnya, pada setiap investasi yang masuk ke sektor industri komponen dan mobil akan mendapatkan fasilitas pengurangan PPh 30% selama 6 tahun. Dengan masuknya sektor komponen otomotif ke dalam revisi PP No. 1/2007, maka diharapkan akan mendorong masuknya investasi baru di sektor komponen berteknologi tinggi.
Kendala lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu masalah ketersediaan bahan baku. Dalam mengembangkan produksi komponen kendaraan bermotor juga membutuhkan berbagai jenis bahan baku seperti baja aluminium, perunggu, tembaga, resin pencetak, karet dan senyawa karet, serta produk busa dan kertas dengan aneka kepadatan dan komposisi.
Jika dicermati kembali, hampir seluruh negara produsen otomotif dunia telah terlebih dahulu memiliki industri dasar sebagai penyedia bahan baku. Sementara di Indonesia, pengembangan industri tersebut nampaknya belum menunjukan hasil yang cukup maksimal. Akibatnya, sebagian besar bahan-bahan itu ada yang masih harus diimpor dari Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Cina.
Dilihat dari komposisi seluruh biaya produksi komponen, sebanyak 30% atau terbesar untuk pengadaan bahan baku, lalu biaya pabrikan 28%, biaya pedagang eceran 23%, dan biaya pedagang grosiran 19%.
Di sisi lain, struktur pasar untuk beberapa jenis industri dasar seperti industri besi-baja, plastik, lembaran timah, tembaga, kaca, karet, dan industri kimia hingga saat ini masih berbentuk monopoli atau oligopoli. Dengan demikian, tidak tercipta sebuah iklim kompetisi yang baik dan mampu menghasilkan produk-produk yang berkualitas serta dengan harga yang kompetitif.
Padahal produk-produk dari industri dasar merupakan kebutuhan yang tidak terpisahkan dari strategi pengembangan industri komponen dan otomotif. Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah dimasukannya komponen biaya tersebut ke dalam harga mobil. Karenanya pula disaat minyak mentah yang semakin tinggi ini, secara tidak langsung juga akan berpengaruh pada kenaikan harga mobil.
Ekspor
Sejak tahun 2007, sektor otomotif merupakan salah satu sektor komoditas dari 6 sektor komodtas ekspor unggulan Indonesia untuk pasar ASEAN. Secara umum, untuk nilai ekspor kendaraan bermotor serta komponen kendaraan bermotor Indonesia semenjak tahun 2001 hingga 2007 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 29,2%. Secara keseluruhan jumlah ekspor kendaraan bermotor tahun 2007 dalam bentuk CBU mencapai 60.267 unit, CKD 105.642 set dan komponen 290.475 pieces.
Sebagian besar ekspor produk-produk sektor ini ditujukan untuk pasar Jepang. Nilai ekspor kendaraan dan komponen kendaraan bermotor (HS 87) ke negara tersebut mencapai hampir US$ 250 juta pada 2006 dan US$ 273,7 juta di tahun 2007. Ekspor terbesar merupakan komponen dan asesoris kendaraan bermotor (HS 8708). Komposisi ekspor produk ini mencapai 84% dari total nilai ekspor kendaraan bermotor dan dan komponennya ke Jepang.
Dalam persaingan dengan industri otomotif negara ASEAN lainnya, hingga tahun 2003 Thailand mendominasi dengan dukungan industri komponen sebanyak 1.500 unit. Pengembangan industri komponen di beberapa negara kawasan Asia lain seperti India dan China juga terus mengalami peningkatan.
Thailand sendiri memang memiliki bangun industri otomotif yang relatif lengkap. Mereka tak hanya memiliki industri perakitan, tetapi juga masuk ke sektor manufaktur, termasuk industri komponen. Keberhasilan Thailand ini tak lepas dari dukungan kebijakan dan perbankan. Kondisi inilah yang mendorong beberapa pabrikan mobil menjadikan Thailand sebagai basis produksinya untuk Asia.
Dalam soal persaingan teknologi produk sudah lagi bukan menjadi masalah utama. Sebab secara umum teknologinya sudah dimiliki dan dikuasai, hanya, penerapannya yang dibatasi. Hal ini penting sebagai langkah untuk memberikan jaminan kepastian dan kesinambungan kualitas produk.
Satu hal yang harus dipahami dan dicermati lagi adalah bagaimana produk-produk Indonesia memilik daya saing dengan produk-produk serupa di pasar internasional. Salah satu cara untuk mengetahuinya adalah dengan menghitung nilai indeks dari Reavealed Comparative Advantage (RCA). Berdasarkan hasil perhitungan RCA tersebut, sebuah komoditas atau produk dinilai memiliki daya saing di pasar dunia apabila nilai indeks yang dihasilkan bernilai 1,0 atau lebih dan sebaliknya
Hasil perhitungan RCA tentang komoditas-komoditas ekspor penting Indonesia yang dilakukan oleh penulis tahun 2007-2008, memperlihatkan bahwa sampai dengan tahun 2006 Indonesia memiliki 33 jenis komoditas yang unggulan. Namun pada kenyataannya, khusus kelompok komoditas yang menyangkut kendaraan bermotor, komponen serta asesorisnya (HS 87 dan turunannya), memang bukan termasuk kelompok komoditas yang memiliki daya saing (tidak kompetitif) di pasar dunia.
Dengan lemahnya daya saing produk-produk otomotif, komponen dan asesorisnya tersebut, artinya pengembangan industri tersebut di Indonesia memerlukan peningkatan efisiensi dan efektifitas agar terus mampu bersaing dengan produk-produk serupa dari negara-negara tetangga.
Caranya tiada lain tentu dengan menyelesaikan berbagai kendala dan persoalan sebagaimana disampaikan di atas. Tentunya disertai dengan penyelesaian ekonomi biaya tinggi yang sudah menjadi persoalan klasik di negeri ini (Nugroho Pratomo/ Peneliti INRISE dan Litbang Media Group)